Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu banyak dokter, begitu sedikit pengawasan. Padahal inilah profesi yang seperti mewakili Tuhan, menentukan hidup-matinya pasien. Pengawasan pun nyaris hanya berhenti di level teori. Ambil contoh Yogyakarta. Lebih dari seribu praktisi kedokteran berkarya di kota ini, baik yang buka klinik bersama, praktek di rumah sakit, maupun praktek pribadi. Tapi hanya ada tiga petugas dinas kesehatan yang mengawasi mereka semua.
"Tak mungkin pengawasan seperti itu bisa efektif," kata Adi Utarini, ahli kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Akibatnya, ada dokter yang mengobati sekaligus menjual obat kepada pasien, dokter lain melakukan terapi yang belum terjamin keselamatannya, dan ada juga dokter yang berpraktek tidak sesuai dengan kompetensinya. Kondisi serupa, dengan segala variasi, terjadi di semua daerah. Rantai pengawasan yang longgar ini pula yang antara lain turut berperan dalam ledakan kasus demam berdarah saat ini.
Ihwal perizinan juga menjadikan dunia kedokteran kian ruwet. Memang benar Departemen Kesehatan mengatur dan mengeluarkan surat izin praktek bagi mereka yang sudah merampungkan pendidikan dokter. Persoalannya, izin ini tak pernah diuji lagi kelayakannya secara periodik. Padahal, "Ilmu kedokteran selalu berkembang dan tidak semua dokter mengikuti perkembangan secara aktif," kata Fachmi Idris, Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tanpa uji ulang, bukan mustahil ada dokter yang berpraktek dengan ilmu yang ketinggalan zaman satu atau dua generasi.
Kondisi itulah yang mendorong IDI mengusulkan perlunya pembentukan lembaga "konsil kedokteran" atau general medical council. "Karena menyangkut kepentingan orang banyak, konsil harus independen dan tak boleh diintervensi, terutama oleh eksekutif," kata Fachmi.
Konsil yang sedang diusulkan melalui RUU Praktek Kedokteran ini bakal mengambil sebagian peran yang sekarang terpusat di Departemen Kesehatan. Misalnya registrasi, sertifikasi keilmuan dokter secara berkala, juga standardisasi kemampuan dokter. Standardisasi terutama dibutuhkan karena ada perbedaan mutu pendidikan fakultas kedokteran di berbagai universitas.
Satu lagi divisi konsil yang amat penting nantinya adalah peradilan khusus bagi profesi kedokteran (medical court). Tidak seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang hanya memutuskan persoalan etik, pengadilan medis berwenang menyelidiki sengketa pasien-dokter-rumah sakit. Dengan demikian, pengadilan medis bisa memutuskan apakah sebuah tindakan adalah malpraktek atau bukan.
Namun harus dicatat bahwa gagasan pembentukan konsil kedokteran ini masih jauh dari final. Dibutuhkan diskusi panjang, termasuk dengan Departemen Kesehatan, yang wewenangnya diusulkan dibagi dengan lembaga independen.
Sementara konsil kedokteran versi IDI masih berupa ide, dari Yogyakarta sebuah langkah sudah diayun. Bersama beberapa pemerhati pelayanan kesehatan, Adi Utarini membentuk lembaga berskala Yogyakarta. Format, cara kerja, dan struktur lembaga yang disebut Konsil Medik Independen ini sedang digodok serius. "Targetnya tahun ini bisa diresmikan," kata Adi Utarini.
Berbeda dengan konsil kedokteran versi IDI, lembaga yang dipelopori Adi ini tidak menyentuh bidang advokasi. Sebab, "Kami masih awam soal hukum," katanya.
Untuk sementara, lembaga ini akan berfokus pada kampanye pembenahan profesi kedokteran. Misalnya mengajak para dokter untuk terbuka pada kemungkinan adanya kesalahan medis (medical error). "Toh, kita ini manusia yang enggak mungkin sempurna," kata Adi. Dengan pikiran terbuka, bukan menyangkal dan berkeras bahwa dokter tak mungkin salah, mudah-mudahan para dokter bisa lebih waspada dan memperkecil kemungkinan bertindak salah yang merugikan pasien.
Mardiyah Chamim, Muhamad Nafi (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo