Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sambal, sudah jadi bagian dari selera lidah orang Indonesia. Tiap daerah punya variasi sambal khas masing-masing, ada yang pedas, manis, asem. Hal inilah justru jadi penanda identitas suatu daerah mulai dari sabang sampai merauke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari laman resmi Unpad, Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Fadly Rahman menjelaskan bahwa fungsi sambal sebagai penggugah selera makan telah ada sejak dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ayal, tiap sambal punya jejak cerita nusantara. Senada dengan itu Ahli arkeologi Jawa Kuna, Timbul Haryono dan H.I.R. Hinzler bahkan menemukan bukti bahwa sambal telah jadi bagian dari menu makan masyarakat Jawa jauh sebelum cabai (Capsicum) dari Benua Amerika yang dibawa orang-orang Portugis pada abad ke-16 tumbuh di Nusantara.
“Sebelum cabai masuk ke Nusantara, nenek moyang orang Jawa menggunakan cabya jawa (Piper retrofractum), lada (Piper nigrum), dan jahe (Zingiber officinale) sebagai bahan membuat sambal. Lain hal dengan di Sumatra Utara yang memiliki andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC), tanaman khas yang sejak dulu hingga kini digunakan sebagai pecitarasa pedas,” ujar Fadly.
Lebih lanjut lagi kata Fadly tokoh pergerakan nasional seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, pecinta sambal terasi dan sambal goreng tempe yang melengkapi hidangan kegemarannya seperti gudeg, sayur asam, sayur lodeh, ikan asin, dan pecel.
Begitupun Bapak Pendidikan Indonesia Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Soewardi kerap menjamu makan saudara-saudara sebangsanya dengan sambal goreng ati masa pengasingannya di Belanda (1913 – 1919).
Sukarno pun seorang pecinta sambal berdasarkan penuturan kisah Inggit Garnasih dan Fatmawati. Kedua istrinya itu kerap menyiapkan sambal sebagai pelengkap hidangan favorit sang suami seperti sayur lodeh, sayur asem, dan tempe.
Fadly mengaitkan antara rasa pedas dengan nyali perjuangan. Ada senyawa capsaicin dari setiap cabai dalam sambal yang dinikmati para tokoh bangsa pada masa lalu. Katanya bukan hanya sekadar memunculkan efek pedas, namun capsaicin juga menghasilkan suatu zat yang dinamakan endorphin. Mungkin dapat dialegorikan bahwa efek endorphin telah merasuk dalam jiwa mereka. “Dengan sensasi pedasnya, sambal telah turut serta dalam menggugah semangat kebangsaan,” tutupnya.
Tidak banyak catatan mengenai sambal. Sebuah bukti ontentik sementara dapat dianggap sebagai yang tertua ada manuskrip Serat Centhini yang dibuat pada 1814. Serat Centhini tersebut berisi pengetahuan tentang keagamaan, kesenian, ramalan, sulap hingga makanan dan minuman tradisional Jawa. Didalamnya diulas 46 jenis sambal, diantaranya ada sambal kluwak, sambal gocek, sambal trancam congor, serta sambal cempaluk dan beberapa jenis sambal lainnya.
Uniknya lagi konon beberapa resep sambal nusantara masuk buku masak masa kolonial. Beberapa di antaranya adalah sambel goreng, sambal oelek, sambel badjak, sambel brandal, sambel serdadoe, dan sambel setan.
RAUDATUL ADAWIYAH NASUTION