Seperti biasa, Vern's Moses Lake Meat, sebuah perusahaan pejagalan di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, menyembelih sapi-sapi yang masuk dari berbagai peternakan. Hari itu, 9 Desember 2003, giliran 20 ekor sapi yang dikirim dari peternakan Sunny Dene Ranch. Usai dipotong, pemeriksaan dilakukan terhadap daging-daging yang ada. Hasilnya, seekor sapi Holstein berumur 6,5 tahun ketahuan terkena mad cow alias sapi gila, yang dikenal para ilmuwan dengan nama bovine spongiform encephalopathy (BSE).
Kekhawatiran pun cepat menjalar. Sejumlah negara segera merespons dengan melarang untuk sementara impor daging sapi dari AS. Pada saat yang sama, AS melacak asal-muasal sapi sial itu—Kanada lalu menjadi sasaran tudingan.
Sapi gila adalah penyakit pada sapi dewasa yang menyerang otak dan bersifat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh se- jenis protein, prion, yang bisa berpindah ke individu lain, bergerak lamban, dan bisa diturunkan. Sampai kini agen yang menularkan BSE di alam belum diketahui. Teori yang paling bisa diterima sejauh ini adalah agen itu merupakan bentuk modifikasi dari komponen permukaan sel normal—menjadi tidak normal—dikenal dengan protein prion. Mengapa atau bagaimana substansi protein tak normal itu berubah menjadi produsen penyakit, tetap merupakan teka-teki para ahli.
Prion mampu mengubah jaringan sel menjadi tidak normal. Di tubuh sapi, ia beredar dalam sistem saraf, lalu ber- semayam dalam otak. Protein tak normal itu akan "membujuk" prion lainnya supaya bersarang di tempat yang sama. Lambat-laun terbentuk jamur yang merupakan gugusan prion. Kerja otak pun jadi kacau. Sapi Holstein yang terinfeksi BSE di Washington, misalnya, meng- alami kesulitan berjalan dan lebih beringas ketimbang ternak lain.
BSE menjadi perhatian dunia sejak 1986. Ketika itu untuk pertama kalinya ternak sapi di Inggris dilaporkan terkena BSE. Puncaknya terjadi pada 1993, ketika hampir seribu kasus BSE baru di-temukan setiap minggu.
Wabah yang menyengat Inggris itu ternyata dimulai dari pemberian pakan ternak. Sudah menjadi ke- laziman di kalangan peternak untuk menyuapi ternak mereka tak hanya dengan rerumputan. Untuk mempercepat proses penggemukan, pakan yang kaya protein mesti dibubuhkan, termasuk pakan olahan dari tepung tulang binatang rumi-nansia lain. Tak jarang tulang yang dijadikan tepung berasal dari sapi lain yang sudah dipenggal. Dari sinilah bencana itu berasal. Rupanya, tulang bahan baku tepung itu telah terkontaminasi prion.
Menurut Dr. Ron DeHaven dari Kantor Dinas Peternakan di Departemen Per- tanian AS, prion yang menyebabkan BSE tak ditemukan pada daging dan jaringan otot. Ia lebih banyak dijumpai pada jaringan sistem saraf pusat, tulang belakang, otak, dan usus bagian bawah.
Tak aneh kalau Kenneth Petersen, seorang pejabat di Dinas Keamanan dan Inspeksi Makanan AS, mengatakan tetap mengizinkan rumah potong hewan di negara itu memotong dan menjual daging sapi untuk dikonsumsi. Bahkan DeHaven dengan lantang berucap bahwa sapi gila hanya berbahaya bagi sapi, dan, "Belum ada bukti yang menyatakan bahwa produk susu dan daging sapi terkena mad cow bisa menyerang manusia," katanya.
Benarkah? Pada Mei 2003, terdapat 139 kasus—terutama di Inggris—orang-orang yang mengalami penyakit seperti BSE pada ternak. Dilaporkan, mereka mengalaminya setelah menyantap daging yang mengandung BSE. Para ahli memperhitungkan bahwa, di rumah potong hewan, amat besar peluang terjadinya kontaminasi silang hingga agen pem- bawa BSE berpindah ke daging.
Akibatnya, penyakit itu telah menewaskan 143 orang di Inggris pada 1986. Pada tahun itu pula, Inggris harus memusnahkan lebih dari 4 juta ekor sapi yang positif BSE. Penelitian lanjutan ternyata memperlihatkan bahwa ada bukti ilmiah kuat—baik secara epidemiologi maupun tes laboratorium—bahwa agen yang menyebabkan BSE pada ternak merupakan agen penyebab penyakit yang mirip BSE pada manusia.
Penyakit yang serupa BSE pada manusia dikenal dengan nama variant Creutzefeld Jacob disease (vCJD). Generasi se-belumnya, CJD, amat jarang terjadi pada manusia; kasusnya hanya satu dari se-juta. Selain itu, ia lebih suka menghantam orang berusia lanjut. Tapi vCJD diketahui menyerang kelompok usia muda. Seorang Inggris yang meninggal akibat CJD baru berusia 28 tahun.
Menurut organisasi kesehatan sedunia, WHO (World Health Organization), CJD—dan kini vCJD—ditandai dengan gejala menjadi pelupa, depresi, gangguan emosional, kebutaan, kebisuan. Selain itu, ada kesakitan pada saraf dan tidak mampu bergerak sampai jangka waktu enam bulan. Kematian biasanya dialami tiga bulan hingga setahun kemudian.
Masa inkubasi penyakit itu relatif lama, antara 5 tahun dan 20 tahun. Lamanya masa inkubasi ini, menurut Cheryl Herbert, Direktur Kontrol Infeksi pada Rumah Sakit Allegheny, AS, membuat penyakit itu sulit dilacak pada stadium awal. Ketika prion sudah beredar di sistem saraf, menempel di otak, dan membentuk jamur yang mengakibatkan ke-tidaknormalan otak, barulah sinar-X bisa mendeteksinya.
Maka, kecemasan tak bisa disembunyikan. Ini terlihat dengan perlakuan istime-wa atas contoh jaringan sapi terinfeksi BSE di pejagalan di Washington itu, yang dilarikan ke Inggris dengan pesawat dan pengawalan militer. Tak hanya itu. Pe- rintah pengkarantinaan rumah jagal dan peternakan sapi terinfeksi BSE, sampai ada hasil penelitian lanjutan, menunjukkan bahwa AS tak mau mengambil risiko menyebarnya penyakit itu pada manusia.
Bahkan, karena tak yakin apakah daging yang tercemar BSE itu sudah menular pada 19 sapi lain yang dipotong pada saat bersamaan, seluruh daging dengan berat total sekitar 4,5 ton itu ditarik dari pasar. Ini tak mudah. Sebab, me- nurut Dinas Keamanan dan Inspeksi Makanan Amerika Serikat, daging itu sudah beredar ke delapan negara bagian lain, termasuk Hawaii dan Pulau Guam di Pasifik. Lalu, ada sekitar 100 orang yang diketahui sudah mengkonsumsi daging itu dan dipanggil dinas pertanian setempat untuk ditelaah kesehatannya.
Dunia internasional juga tak kurang waspada. Lebih dari 30 negara lantas menutup celah pembelian daging sapi Amerika ataupun produk turunannya. Khusus buat Indonesia, daging sapi dari Amerika tiap tahunnya yang masuk berjumlah 6.500 ton. Angka ini terbilang kecil jika dibanding daging sapi yang beredar di pasaran yang mencapai 1,5 juta-1,6 juta ton tiap tahun.
Fakta itu, menurut ahli kesehatan gizi dan veterinarian Institut Pertanian Bogor, Denny Widaya Lukman, membuat Indonesia tak perlu terlalu khawatir atas penyebaran penyakit sapi gila. Selain itu, menurut Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Sofyan Sudarjat, Indonesia sudah melarang impor daging sapi asal AS dan beberapa produk turunannya sejak minggu lalu. Praktis, Indonesia hanya mengandalkan 90 persen pasokan daging sapi lokal serta sisanya merupakan impor dari Australia dan Selandia Baru.
Tak kalah gesitnya, Badan Pelaksana Pengawasan Obat dan Makanan (BP POM) meminta masyarakat agar tidak mengkonsumsi produk olahan ataupun daging sapi dari Amerika. Badan POM meminta importir, distributor, pasar swalayan, hingga pengecer supaya mengamankan sementara produk olahan yang masih tersimpan. Dari Tanjung Priok, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Edi Abdurrachman, menyebut pihaknya telah mengamankan 19 kontainer daging sapi asal Amerika Serikat.
Sementara itu, di Inggris, para ilmuwan yang bekerja sama dengan perusahaan farmasi kelas dunia, GlaxoSmith Kline, sejak dua tahun lalu serius membolak-balik otak dan jaringan sapi terinfeksi BSE. Mereka berupaya mencari rahasia prion dan cara menanggulanginya.
Sejauh ini, menurut Dr. John Collinge, Direktur Unit Prion di Imperial College School of Medicine, London, ada kemajuan berarti dalam penelitian mereka. Collinge dan timnya menemukan bahwa otak punya kemampuan membuang prion kalau jumlahnya tak terlalu ber-limpah. "Kalau kami sanggup mencegah konversi protein normal menjadi prion, otak akan sanggup mengatasi sisanya," ujar Collinge, sambil berharap dalam lima tahun ke depan sebuah obat untuk sapi gila bisa diciptakan.
Agus Hidayat dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini