Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Karang penyakit di gedung tinggi

Ruang nyaman di gedung tinggi belum menjamin karyawan sehat. udara perkantoran di jakarta kondisinya kurang baik.

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA anggota delegasi yang mengikuti konvensi di sebuah hotel di Philadelphia mendadak kejang. Kemudian, disusul ada yang tewas. Kasus yang terjadi 16 tahun silam itu sempat menjadi berita besar di Amerika Serikat. Ternyata, pengulahnya bakteri legionella yang hidup subur dalam ruangan, terutama di gedung jangkung. Legionella sebetulnya ada di manamana. Bakteri itu, menurut Dokter Foo Swee Cheng dari Universitas Nasional Singapura, yang selama dua tahun mempelajari kondisi kesehatan bangunan tinggi, dalam jumlah kecil sering terhirup saat kita bernapas. Dan itu tidak membahayakan. Tapi zat renik itu bagai karang es. "Kalau kecil aman, jika besar menjadi berbahaya dan bisa mematikan," kata Foo Swee Cheng, seperti dikutip kantor berita Reuters, pekan lalu. Menjamurnya hutan beton di kotakota besar tanpa disadari melahirkan masalah baru bagi penghuni dan karyawan yang bekerja di dalam. Hal itu disebabkan kondisi udara dalam ruangan terasa sesak. Apalagi kalau ventilasinya tidak menunjang udara dalam ruangan bebas keluar, atau sebaliknya udara segar dari luar juga sulit masuk. Selama ini ruangan dalam gedung lebih banyak mengandalkan sistem daur ulang. Padahal, menurut para ahli, kondisi itu bisa menciptakan lingkungan yang sempurna bagi hidupnya bakteri yang berbahaya bagi manusia. "Dan mereka yang tinggal di bangunan tinggi itu tak mampu mengontrol berapa banyak udara bersih yang dihirupnya," kata Foo Swee Cheng menambahkan. Selain menyebabkan konsentrasi bakteri dan virus makin tinggi, ternyata material bangunan modern berikut perabotnya dapat pula menambah udara dalam ruangan terasa pengap. Sehingga, kandungan COd22 (gas karbon dioksida) dan CO (gas karbon monooksida) ikut pula naik. Kondisi inilah yang kemudian mencuatkan keluhan yang tak spesifik, seperti diganggu kepala pening, pegalpegal, dan pelbagai kerisauan lain yang mengharubiru. Anehnya, dalam kondisi demikian, orang toh makin betah tinggal dalam ruangan. Di negara maju, menurut Prof. Umar Fahmi Achmadi, orang akan menghabiskan y3/4y waktunya dalam gedung, dan orang di Indonesia sudah sekitar y2/3y waktunya tinggal dalam ruangan. "Sehingga tingkat kesehatan mereka sangat dipengaruhi kondisi lingkungan kerja," kata Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu. Lingkungan, terutama di gedunggedung tinggi, merupakan faktor potensial penimbul penyakit yang dikeluhkan tadi. Sekitar tahun 1989 muncul kesadaran terhadap gedung jangkung yang memenuhi syarat kesehatan di Inggris. Setahun kemudian, yaitu sejak muncul sick building syndrome atau sindrom pencakar langit (SPL), penyakit itu merembet ke negara maju lainnya. Gejala dari sindrom ini, menurut WHO (organisasi kesehatan dunia), biasanya orangnya lesu, hidungnya tersumbat, kerongkongannya kering, sakit kepala, pedih pada mata, dan sakit punggung. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan, dari 4.373 staf yang bekerja di 46 bangunan yang memakai penyejuk ruangan (AC), sebagian besar dari mereka itu lesu (57%), hidung tersumbat (47%), kerongkongan kering (46%), sakit kepala (43%), gatal pada mata (28%), mata kering (27%), dan pilek (23%). Timbulnya sindrom akibat kerja di gedung tinggi itu, menurut Prof. Umar Fahmi, antara lain karena kualitas udara di dalam yang kurang baik. Padahal, setiap karyawan membutuhkan O2 dan mengeluarkan COd22. Jika udara dalam ruangan yang disirkulasikan itu tetap, Od22 yang ada di udara makin kurang. Sebaliknya, COd22 meningkat. Sifat COd22 adalah lebih berat dari udara sehingga terakumulasi di tempat rendah. Dan karena gas itu tidak dapat bereaksi dengan material bangunan, akibatnya gas itu harus dikeluarkan. Sementara itu, yang menjadi masalah dalam ruangan di bangunan tinggi biasanya adalah aliran udara yang lambat, hingga memberi kesempatan pada karyawan untuk menghirup kembali racun COd22. Kemudian, ditambah lagi dengan adanya beberapa sumber pencemar seperti mesin fotokopi, komputer, mesin cetak, dan arsiparsip terbuka, yang semua benda itu mengeluarkan polutan. Kondisi itu ikut menentukan kualitas udara di ruangan, sehingga karyawan akhirnya mengeluh sakit. Sindrom pencakar langit tidak hanya melanda kotakota besar di negara maju. Di Jakarta tampaknya hal ini juga mulai merambat. Ini bisa dilihat dari hasil studi kasus yang dilakukan seorang mahasiswa program master yang kini dibimbing Prof. Umar Fahmi. Ketinggian di lima gedung tinggi di Jakarta yang diteliti itu bervariasi: dari bangunan bertingkat tiga sampai 24 lantai. Sepintas ruangan di gedung pencakar langit itu terasa nyaman, bersih, dan modern. Namun, penghuni dalam bangunan tersebut padat, sibuk, dan sebagian besar merokok. Sebagian kantor yang diteliti itu mempunyai mesin fotokopi dan komputer. Dari pengukuran kualitas udara kelihatannya enak. Suhu antara 22,3 dan 25,4 derajat Celsius. Dan kelembapannya 47w56%. Namun, pergerakan udara dalam ruangan itu tertinggi cuma 0,091 meter per detik. Standarnya adalah 0,15w1,15 meter/detik. Sedangkan kadar COd22 dalam ruangan 400w888 ppm, padahal yang bisa ditoleransi hanya 100 ppm. Perkantoran itu sering dikunjungi tamu, yang datang dan keluarmasuk. Di samping itu, arsiparsip buku juga terbuka, sehingga partikel debu yang ditemukan mencapai 300w400 mikrogram/mu23. Sedangkan standar partikel debu hanya 150 mikrogram/mu23. Dan pemadaman AC di luar jam kerja bahkan memberi peluang pada mikroba untuk berkembang biak. Di ruangan yang diteliti terdapat 18 spesies jamur, misalnya jamur aspergillus dan paesilomyces, yang beterbangan di udara dan karpet yang lembap. Ditambah lagi ruangan itu dilengkapi dengan karpet, serta bahan bangunan dari kayu lapis dan vinil yang mengandung urea formaldehyda, hingga bisa mengakibatkan kanker. Studi yang dilakukan pada September 1991 itu kemudian menyimpulkan, kualitas udara dalam ruangan di gedung mentereng itu tidak memenuhi standar kesehatan. Penelitian selanjutnya, menurut Umar Fahmi, menunjukkan bahwa sebagian besar penghuni di ruangan yang diteliti itu mengalami sindrom pencakar langit. Di antara mereka itu merasakan dirinya lesu, hidungnya tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, dan sakit punggung. Demikian pula muncul gangguan pada mata dan tegang pada leher serta bahu. Penelitian itu juga menunjukkan, makin banyak karyawan yang betah di kantor, makin meningkat angka penderita. "Jadi, sudah ada indikasi kuat, sindrom penyakit gedung tinggi itu sudah menyerang Jakarta," kata Umar Fahmi. Bagaimana jalan keluarnya? Menurut Umar Fahmi, yang penting pada tiap ruangan ada ventilasi yang berguna untuk mengeluarkan gas sampah pernapasan, dan partikel yang berhambur di ruangan. Selain itu, ada celah untuk memasukkan udara segar dari luar. Tapi ia mengakui belum meneliti manfaat pertukaran udara pada AC yang digunakan di kantor, terutama dalam bangunan tinggi. Para perancang tampaknya belum memikirkan masalah kesehatan dalam ruang di gedung jangkung. "Saya akan membawa persoalan ini pada pertemuan ikatan aristektur mendatang," kata Syahrul Syarif, Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI), kepada TEMPO. "Developer kita belum terlalu memikirkan kesehatan di ruangan itu. Mereka lebih memperhatikan cara memasarkan ruangannya," katanya. Sebuah pelajaran baru yang menambah beban baru. Lingkungan kerja yang kelihatannya nyaman malah dapat menyumbang atau menambah penyakit untuk penghuni dan karyawan yang bekerja di dalam gedung tinggi itu. Gatot Triyanto dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus