Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Cara 'hijau' Menebang Pohon

Metode penebangan ramah lingkungan ini sulit dipraktekkan perusahaan pemegang konsesi karena dianggap tidak efisien.

13 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pohon meranti yang menjulang di lahan konsesi hutan itu sama sekali tak menunjukkan keistimewaan. Tanaman keras itu terlihat biasa saja, sampai akhirnya seseorang menyentuhkan gergaji mesin, lalu tampaklah tanah hitam yang memanjang vertikal di dalamnya. "Gerowongnya sampai atas pohon," kata Totok Suripto, Direktur Produksi Karya Lestari, kepada Tempo di lokasi penebangan hutan di Blok Q15 Kecamatan Kelay, Berau, Kalimantan Timur, Senin pekan lalu.

Lokasi hutan ini sekitar 140 kilometer utara Tanjung Redep, ibu kota Kabupaten Berau. Totok melarang anak buahnya menebang pohon gerowong yang bagian dalamnya menjadi jalan rayap dari bawah ke atas. Walaupun diamaternya di atas 50 sentimeter, sang pohon tetap dibiarkan berdiri. "Kayunya tidak laku dijual," katanya. Lagi pula, kalau pohon gerowong tetap ditebang, kayunya akan menjadi limbah hutan.

Di konsesi milik Karya Lestari, dari 100 pohon dalam lahan satu hektare, 25 pohon di antaranya gerowong. Pohon yang halal ditebang berdiameter minimal 50 sentimeter dan tidak gerowong. Mempertahankan pohon gerowong tetap berdiri di hutan adalah salah satu cara pembalakan hutan berkelanjutan rendah karbon yang disebut reduced impact logging carbon alias RIL-C.

Metode RIL sebenarnya sudah pernah dipraktekkan oleh beberapa perusahaan pemegang konsensi pada tahap uji coba. Tapi, menurut spesialis kehutanan dan perubahan iklim The?Nature Conservancy (TNC), Delon Marthinus, baru Nature Conservancy yang memodifikasi RIL dengan memasukkan hitungan pengurangan emisi karbon-sehingga ia dinamakan RIL-C. RIL adalah cara penebangan yang meminimalkan kerusakan.

Kegiatan RIL-C meliputi tes gerowong sebelum penebangan, meminimalkan limbah pohon setelah penebangan, mempersempit jalan angkut kayu dari lebar 35 meter menjadi 22 meter, dan menarik kayu yang ditebang dengan mesin pancang tarik atau dikenal dengan sebutan penyadaran ramah lingkungan.

Metode yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon dari degradasi hutan itu diujicobakan di hutan konsesi Karya Lestari seluas 100 hektare. Perusahaan pemegang konsesi seluas 48 ribu hektare itu mempraktekkan metode tersebut sepanjang tahun lalu. Pekan lalu metode RIL-C ini dievaluasi untuk mengetahui efektivitasnya mencegah kerusakan hutan lebih parah dan merumuskan insentif bagi para perusahaan yang memakai metode ini. "Praktek RIL-C dapat mengurangi emisi 69 persen dibanding model penebangan konvensional," kata Delon Marthinus.

Penebangan konvensional di konsesi Karya Lestari dilakukan dengan cara mengerahkan buldoser untuk mencari dan menarik kayu dari tengah hutan ke jalan utama pengangkutan kayu. Buldoser masuk ke hutan, mencari dan menebang hutan tanpa mempersiapkan dulu jalan untuk menarik kayu yang telah ditebang.

Akibatnya, pohon yang belum saatnya dipanen juga dirobohkan untuk menjadi jalan penarikan kayu. Apalagi buldoser yang masuk hutan membutuhkan jalan selebar 4-7 meter. Jalan yang dibuat dengan merobohkan pohon yang belum saatnya ditebang dan permukaan tanah yang terkelupas untuk dilalui buldoser.

Dari uji coba tersebut, menurut Delon, tampaklah bahwa penebangan konvensional menghasilkan emisi sekitar 110 ton karbon dioksida setiap hektare. Sedangkan penebangan model RIL-C hanya menghasilkan emisi 33 ton karbon dioksida per hektare.

Pemanenan kayu, menurut Delon, menyebabkan kerusakan pada tanah dan tegakan hutan. Padahal pengurangan kerusakan akibat pemanenan kayu merupakan syarat untuk pengelolaan hutan lestari. Kerusakan hutan akibat pemanenan itu mengurangi kemampuan hutan menyerap karbon dioksida sekaligus mendegradasi hutan. Dengan keberhasilan ini, TNC akan mengujicobakan RIL-C di PT Inhutani Unit 2 Malinau, Kalimantan Tengah, tahun ini.

RIL-C merupakan pemanenan yang direncanakan dengan baik dan dilakukan oleh pekerja terlatih. Teknik ini meliputi perencanaan jaringan jalan, perencanaan jalan sarad, penentuan arah rebah pohon, pemotongan liana, dan perencanaan tempat pengumpulan kayu. Penarikan kayu dari hutan ke jalan utama memakai tali kawat yang ditarik mesin dompeng. Tali dengan rentangan 100 meter ini dapat mengestafetkan kayu hasil penebangan sampai ke pinggir jalan utama. Alat ini diadopsi dari metode pembalakan ilegal.

Cara pengukuran karbon ini dilakukan melalui proses audit setelah kegiatan pembalakan selesai. Tiga orang dari TNC dilatih oleh Peter Ellis, saintis yang ahli menghitung karbon hutan dari TNC Amerika Serikat, untuk mengaudit pembalakan tersebut. Aspek yang diukur, kata dia, penebangan, penyaradan alias cara menarik kayu ke jalan utama, dan pengangkutan. "Kami ambil sampel dan mengukurnya."

Pemantauan melibatkan penelusuran jalan angkut, mengakses blok tebangan, sampling lebar jalan angkut, sampling dan pemetaan jalan sarad, sampling data kerusakan jalan sarad, serta pengambilan sampel pohon tebang. Dari pengukuran itu diperoleh hasil pengurangan emisi terbesar berasal dari menghindari kerusakan pohon akibat proses penyaradan atau penarikan dari lokasi tebangan ke jalan utama pengangkutan. Angkanya mencapai 93 persen dibanding penebangan konvensional. Meninggalkan pohon gerowong mengurangi emisi 92 persen, mempersempit jalan angkut kayu mengurang emisi 39 persen, dan meminimalkan limbah pohon mengurangi emisi 14 persen.

?Metode RIL-C ini tidak hanya mengurangi degradasi hutan. Totok Suripto mengatakan, jika dihitung, biaya pemanenan model RIL-C ini lebih murah dibanding cara konvensional. Setiap meter kubik, biaya pemanenan secara konvensional Rp 195 ribu, sedangkan dengan model RIL-C cuma Rp 135 ribu.

?Satu tim pancang dikerjakan lima orang yang setiap hari menebang empat pohon. Kendalanya, kata dia, pekerja lokal tidak ada yang mau mengoperasikan tim pancang karena pekerjaan ini lebih berat dibanding cara konvensional. Karya Lestari hanya mengerahkan dua tim pancang. "Kami datangkan pekerja dari Kalimantan Tengah." Dibanding cara konvensional, model RIL-C lebih padat karya. Satu tim yang menempuh model konvensional terdiri dari tiga orang: dua pemegang gergaji mesin, dan satu penggerak buldoser.

Menurut hitungan TNC, penebangan legal konvensional di Kalimantan Timur menyumbangkan emisi sekitar 2,8 juta ton karbon dioksida per tahun. Jumlah ini setara dengan 28 persen dari total emisi karbon berbasis lahan di Kabupaten Berau dalam rentang waktu 2000-2010.

RIL-C merupakan bagian dari cara menurunkan emisi karbon dioksida sampai 26 persen pada 2020 yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Target ini dicanangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional?Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Bila ada bantuan pendanaan dari luar negeri, angka penurunan emisi karbon direncanakan bisa mencapai 41 persen.

Model RIL-C, menurut Totok Suripto, membutuhkan perencanaan penebangan yang lebih lama ketimbang konvensional. Sebab, selain melakukan sensus pohon yang hendak ditebang, kontur tanah dipetakan untuk membuat jalan pengangkutan kayu.

Biaya survei pohon penebangan konvensional?Rp 225 ribu per hektare. Sedangkan survei dengan konturnya untuk penebangan RIL-C Rp 275 ribu per hektare. Masalahnya, kata dia, harga kayu gelondongan juga tidak naik walau memakai penebangan yang ramah lingkungan. "Kini hanya US$ 120 per meter kubik." Karena itu, tahun ini Karya Lestari akan memadukan metode konvensional dan RIL-C lantaran alasan minimnya tenaga terlatih.

Kesulitan praktek metode penebangan ini tak hanya terletak pada aspek minimnya jumlah pekerja yang mampu melaksanakan RIL-C. Masalah terbesar, menurut Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia Togu Manurung, justru pada kemauan perusahaan pemilik konsesi. "Kalau pakai RIL-C itu biayanya tidak lebih murah daripada cara sebelumnya pasti perusahaan tidak mau. Apalagi insentifnya belum jelas," katanya.

Namun yang paling menentukan adalah komitmen perusahaan. "Kalau pemilik tidak mau, ya, sulit," ujar Hamzah, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Berau Barat, Kabupaten Berau.

Ahmad Nurhasim (berau)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus