Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi*)
Partai politik adalah instrumen penting demokrasi. Ironisnya, justru partailah yang sering gagal mendemokratisasi dirinya sendiri. Inilah paradoks demokrasi kita.
Ketika semua jabatan politik tak bisa lepas dari pengaruh partai, partai enggan mereformasi diri. Sejak reformasi, kita sepakat jabatan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota dibatasi dua periode. Tapi, anehnya, banyak partai kita justru dipimpin oleh ketua umum tanpa pembatasan masa jabatan sama sekali.
Reformasi mengamanatkan pemilihan langsung jabatan publik oleh rakyat, tapi justru pemilihan ketua umum partai mengalami rezim aklamasi. Reformasi juga mengamanatkan desentralisasi pemerintahan, tapi ironisnya roda organisasi partai mengalami sentralisasi kuasa. Salah satu fungsi partai adalah pelembagaan konflik, tapi justru kalangan partailah yang acap kali mempertontonkan konflik tak bermutu di hadapan publik.
Daftar paradoks demokrasi di lingkup internal partai masih bisa mengular panjang. Tapi pertanyaan utamanya adalah mengapa partai bersedia melakukan proses demokratisasi ke luar tapi enggan menerapkan prinsip demokrasi ke dalam. Ibarat anggur lama dalam botol baru, secara umum nilai dan praktek partai politik lama masih dominan, cuma wadahnya yang terlihat baru.
Akar utama dari persoalan di atas adalah problem institusionalisasi partai yang masih lemah yang kemudian berimplikasi secara lebih luas. Randall dan Svasand (2002, 12) mendefinisikan institusionalisasi sebagai proses pelembagaan partai dalam bentuk pola perilaku dan nilai serta budaya politik yang terintegasi. Randall dan Svasand menyebut kandungan utama institusionalisasi partai, yaitu aspek internal-eksternal dan struktural-kultural.
Jika kedua dimensi ini dipersilangkan, akan menghasilkan model sebagai berikut: (1) derajat kesisteman yang merupakan produk persilangan struktural-internal; (2) derajat identitas nilai hasil dari perkawinan aspek kultural-internal; (3) otonomi keputusan merupakan tarik-menarik antara aspek eksternal dan struktural; serta (4) citra opini publik, yakni proses reifikasi partai hasil dari gabungan eksternal dan kultural.
Di antara keempat dimensi pelembagaan partai itu, derajat kesistemanlah yang paling krusial dalam menentukan sehat-tidaknya partai. Derajat kesisteman diukur melalui sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan, mekanisme transparansi dalam pengambilan keputusan, dan bagaimana penyelesaian konflik internal sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Derajat kesisteman juga mengatur kepatuhan dan disiplin organisasi terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif sesuai dengan konstitusi partai sebagai aturan mainnya.
Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada tiga masalah utama yang menghalangi institusionalisasi partai, yang kemudian rentan melahirkan konflik intra-partai. Pertama, model genetik partai-partai kita secara umum lebih dipengaruhi oleh karisma figur. Panebianco menyebut model ini sebagai partai karismatik yang ditandai oleh peleburan secara total identitas partai dengan pemimpinnya (1988, 145). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah Megawati Soekarnoputri, Demokrat adalah Susilo Bambang Yudhoyono, dan Gerindra titisan Prabowo Subianto merupakan sebagian contoh betapa partai sebagai institusi publik mengalami proses personalisasi. Derajat kesisteman sulit dilahirkan dalam kehidupan partai karena partai menjadi "properti" pemimpin karismatiknya. Akibatnya, kongres hanya sekadar memilih "abdi dalem", sedangkan jabatan kunci diserahkan ke formatur tunggal.
Partai kemudian hanya bertumpu pada personal appeals, bukan institutional appeals. Keberadaan veto player semacam ini memang mengurangi potensi konflik, meski cuma sementara. Model genetik Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan yang pecah, sebagai pembanding, bukan merupakan partai karismatik. Mereka tidak memiliki pemimpin yang punya magical ability-meminjam istilah Etzioni (1961)-atau powerful aura (Willner, 1984).
Partai semacam ini diragukan punya napas panjang. Model partai karismatik ini tak ubahnya sebuah fans club. Konstitusi partai bisa disesuaikan dengan kemauan tokohnya. Loyalitas dan patronase kepada pemimpin lebih menentukan jenjang karier politik ketimbang meritokrasi.
Masalah kedua adalah ketersediaan sumber daya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi kebutuhan operasional partai (party finance) maupun pemilihan umum (campaign finance). Deinstitusionalisasi partai yang melahirkan konflik banyak disebabkan oleh perebutan sumber daya. Inilah sebab utama derajat otonomi partai dalam mengambil keputusan sering dikalahkan oleh kepentingan sponsor dana dari luar yang berkolaborasi dengan pihak internal.
Kader yang gigit jari karena tak mendapat surat rekomendasi maju dalam pemilihan kepala daerah karena partai justru mendapuk non-kader yang bisa menyetor mahar besar adalah contoh deinstitusionalisasi partai akibat sumber daya. Konflik partai yang dipicu perbedaan pendapat apakah bergabung dengan koalisi pemerintahan atau oposisi juga dipicu oleh masalah akses terhadap sumber daya.
Terakhir adalah masalah faksionalisasi. Studi menunjukkan bahwa deinstitusionalisasi partai di negara-negara demokrasi yang belum terkonsolidasi lebih banyak disebabkan oleh faksionalisasi yang mengancam kohesi dan disiplin partai. Motif terbentuknya faksionalisasi bisa beragam, entah didorong perbedaan ideologi, pertarungan dalam kepemimpinan partai, entah perebutan patronase (Belloni, 1978).
Pada umumnya faksionalisasi partai kita bukan disebabkan oleh perbedaan ideologi, melainkan didorong perebutan kepemimpinan partai. Tak selamanya faksionalisasi berujung pada perpecahan partai seperti banyak kita temui di Indonesia. Beberapa kasus faksionalisasi justru mendatangkan kompetisi internal yang positif, mendorong pelembagaan konflik yang lebih matang dan malah mendatangkan berkah elektoral, seperti kasus Liberal Democratic Party di Jepang atau Christian Democratic Party di Italia.
Namun realitas di lapangan masih jauh panggang dari api. Faksionalisasi menjadi pemandangan sehari-hari di mayoritas partai yang tak punya tokoh karismatik. Kasus Golkar dan PPP menunjukkan kegagalan mengelola persaingan antarfaksi. Selain itu, memang ada dimensi pertarungan 2019 yang turut menambah kadar konflik. Kita tahu pemilu legislatif dan presiden pada 2019 akan dilaksanakan secara serentak. Akibatnya, presidential threshold menjadi tidak relevan sehingga memicu elite untuk bertarung merebut posisi kunci ketua umum agar mendapat tiket maju pada 2019. Namun akar perpecahan partai dan faksionalisasi terletak pada kegagalan melembagakan institusi partai.
Secara kultural, iklim kepartaian kita juga belum terbentuk. Mereka gagal memaknai partai dalam arti sesungguhnya. Secara teoretis, partai adalah sekumpulan orang yang memiliki ide dan mimpi yang sama dalam rangka merebut kekuasaan. Tapi realitas menunjukkan banyak politikus kita yang tidur di ranjang partai politik yang sama tapi punya mimpi yang berbeda. Mereka belum mampu menunjukkan partai sebagai "barisan", tapi lebih sering menampilkan partai sebagai gerombolan atau kerumunan.
Jika kasus perpecahan Golkar dan PPP tak segera diselesaikan, tipe partai karismatiklah yang akan mendapat angin. Eksperimen demokratik untuk membesarkan partai tanpa bergantung pada pesona figur akan mengalami kesulitan. Sementara publik disuguhi parade konflik intra-partai, partai fans club malah mempertontonkan "soliditas" dan harmoni.
Kasus perpecahan yang dialami partai yang tidak memiliki veto player bisa menjadi disinsentif untuk membangun modernisasi partai. Figur-figur karismatik seolah-olah menemukan justifikasi bahwa melepaskan diri dari ketergantungan tokoh akan berakibat fatal pada perpecahan. Terpilihnya kembali Wiranto sebagai Ketua Umum Hanura, dan diikuti oleh Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, juga kemungkinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Demokrat, semakin menambah kepercayaan diri partai karismatik di Indonesia.
Proses pelembagaan partai politik kita masih harus melalui jalan terjal dan berliku. Meminjam karya klasik Samuel Beckett, menanti pelembagaan partai yang sehat dan manajemen partai yang modern di Indonesia ibarat menunggu Godot, penuh ketidakpastian kapan itu bisa terjadi.
*) Dosen Fisip Uin Jakarta, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo