"HANYA orang intelek yang bisa menikmati seni." Ini pendapat Ciputra, bos Pembangunan Jaya, setelah lama berbicang-bincang tentang lukisan. Koleksinya menunjukkan, raja real estate itu sangat akrab dengan seni lukis. Dengan tekanan suara yang sama Ciputra melanjutkan, "Seorang tidak berpendidikan pun, kalau sukses, pasti intelek." Adakah ia bercanda atau tidak, nyatanya belakangan ini memang banyak pengusaha (orang-orang sukses itu) yang gandrung pada sapuan cat di atas kanvas. Gejala ini tampak mencolok di Jakarta. Sebut saja nama Sudwikatmono, Robby Johan, Yusuf Wanandi, Abdulgani, dan Fahmi Idris. Profesi pengusaha besar kini seakan bergandengan dengan predikat "kolektor lukisan". Sudwikatmono malah menjadikan salah satu ruang di kediamannya sebagai galeri pribadi, tempat memajang koleksi lukisannya. Ciputra kini sah sebagai pemilik 110 lukisan -- hampir 70 persen di antaranya karya Hendra Gunawan. Sebagian besar lukisan itu dipampang di rumahnya yang mentereng di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Bagaikan memasuki museum di Eropa, lukisan-lukisan itu tertempel di tembok dan plafon rumah yang sengaja dibuat dengan kemiringan 30 derajat. Sisanya menghias tembok kantornya di wilayah segitiga emas, Jakarta. "Saya berfantasi dengan lukisan-lukisan itu," kata Pak Ci -- begitu ia biasa dipanggil. "Buat saya memandang lukisan bisa dipakai untuk mengurangi stres." Tentu Sudwikatmono atau Abdulgani punya alasan lain, yang pribadi dan barangkali juga yang artistik. Sementara itu, dari jauh, para pengamat hanya secara umum bisa mereka bahwa demam memborong lukisan yang menjangkiti para pengusaha tak lain didorong oleh motivasi untuk investasi jangka panjang, yang hampir tanpa risiko. Dan pasti bergengsi. Pengamat seni lukis Agus Dermawan T. pernah mencatat, dalam kuartal pertama tahun 1989, sebanyak 400 lukisan dari 39 kali pameran telah berpindah tangan ke rumah para hartawan. Nilainya sekitar dua milyar rupiah. Diperkirakan, tahun ini transaksi itu nilainya melonjak lebih tinggi. Yang pasti, antara daya beli kolektor lukisan dan pameran lukisan sudah terjalin interaksi yang sangat positif. Malah tidak berlebihan kalau dikatakan, pameran lukisan sudah merajai aktivitas kesenian di Jakarta. Mirip pesta yang tak kunjung usai. Mulai dari galeri Mitra Budaya sampai Mercantile Club, dari Balai Budaya sampai Duta Fine Arts Gallery, tak pernah kesepian pengunjung. Para pelukis -- perorangan maupun kelompok -- seakan berlomba memasang harga dengan lima atau enam nol. Dan laku. "Pokoknya asal senang, langsung beli," ujar Robby Djohan, Direktur Utama Bank Niaga, terus terang. Ia baru belakangan ini saja bergabung dalam barisan kolektor. Berbeda dengan Abdulgani, bekas Dirut Bank Duta yang juga tersohor sebagai kolektor besar, Robby baru menghimpun 20 lukisan. "Ngapain banyak-banyak, mau taruh di mana, di gudang?" tukasnya polos. Robby melihat "potret dari cat" itu sebagai variasi saja. "Saya cuma ikut-ikutan, kok," katanya, lagi-lagi buka kartu. Kebetulan di rumahnya, Robby sudah punya tiga buah lukisan S. Soedjojono, peninggalan ayahnya di tahun 60-an. Adalah karya Affandi yang mendapat kehormatan sebagai lukisan pertama yang dibeli dari koceknya sendiri. "Goresan Affandi sangat spesifik. Lain dengan naturalis," tutur Robby serius. Bankir kenamaan ini menikmati lukisan di saat-saat usai salat subuh. "Nikmat atau tidaknya tergantung mood," ujar Robby. Kalau bosan lagi? "Ya saya tidak beli lagi," jawabnya spontan. A.R. Gapoer, konsultan lukisan dan bekas Kepala Kesenian Istana di zaman Bung Karno, hafal pada kegemaran para eksektutif itu: lukisan Hendra Gunawan, Lee Man Fong, dan Affandi. Sedangkan pelukis asing yang disukai, antara lain, Le Mayeur dan Rolland Strasser. "Rata-rata berharga Rp 60 juta. Bahkan ada yang berani membeli karya Le Mayeur Rp 300 juta," ujar Gapoer. Lukisan Kelinci Lee Man Fong bisa laku Rp 65 juta di Mon Decor Gallery, dua tahun lalu. Artinya, dari sudut bisnis, lukisan sudah bukan lagi investasi kecil. Menurut pengamat seni rupa Jim Supangkat, memang para pengusaha itulah yang menciptakan boom lukisan. "Apa boleh buat, mereka yang punya duit," ujar Jim. Ia menilai, kecenderungan para pengusaha membeli benda seni tak lain untuk menciptakan citra bonafide. Di Australia, misalnya, boom lukisan mencuat ketika konglomerat Australia Allan Bond membeli lukisan Van Gogh seharga US$ 52 juta (hampir Rp 100 milyar) di balai lelang Sotheby, New York, dua tahun lalu. "Dia adalah tipe pengusaha yang haus publisitas. Ia yakin, dengan pembelian itu, popularitasnya naik dan bisnisnya akan mulus," ujar Jim. Orang tak tahu, Bond membelinya dengan mencicil. Tentu tak semua kolektor memandang lukisan sebagai lahan yang baik untuk investasi. Edwin Soeryadjaya, tokoh penting di Astra, punya persyaratan sendiri. "Selain saya harus senang, ada unsur untuk membantu si pelukis," katanya. Ia menolak tegas kalau digolongkan sebagai pengusaha yang mengumpulkan lukisan demi gengsi. Senada dengan Edwin adalah Maya Rumantir, Direktris Sekolah Pengembangan Sumber Daya Manusia Maya Gita. Penyanyi berlesung pipi ini mengaku, lebih suka membeli karya pelukis-pelukis yang kurang terkenal, muda maupun tua. "Kalau bukan kita yang membantu, siapa lagi?" tuturnya arif. Maya senang lukisan kuda dan teratai, sementara Titiek Prabowo lebih tertarik pada alam pedesaan, yang katanya "berkesan meng-Indonesia". Ini terbukti pada koleksi putri kedua Presiden Soeharto itu, yang banyak mengumpulkan karya pelukis wanita Sri Junnah. Melonjaknya penggemar lukisan di satu sisi menggairahkan hidup seniman, tapi di sisi lain masih mengandung banyak kekurangan. "Di Indonesia, secara umum, panduan yang memuat informasi segi kualitas dan kuantitas seni rupa modern Indonesia belum ada," kata Jim Supangkat. Panduan yang masih sering dipakai untuk membeli lukisan terbatas pada buku lima jilid koleksi Bung Karno. Akibat kurangnya referensi, sering pembeli tersesat. "Mereka sering ditipu, yang palsu dibilang asli," kata Jim lagi. Yang lebih gawat, bila penipuan ini meluas. "Lama-lama orang kapok membeli lukisan. Akibatnya, kondisi yang sudah bagus ini akan lenyap," kata Jim Supangkat. Ciputra mengaku, pada tahun 70-an sempai beberapa tahun tak mengetahui bahwa ia menyimpan lukisan Hendra Gunawan yang palsu. Kini ia memanfaatkan jasa konsultan untuk menilai keaslian lukisan. "Sebab 50% lukisan yang ditawarkan kepada saya palsu," ujarnya. Namun, Ciputra tak ka pok. Malah, di senja usianya kelak, ia bercita-cita membuka museun lukisan. Bunga Surawidjaja dan Sri Pudyastuti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini