"KUMAN dalam hutan tropis dilihatnya, tapi beruang di pelupuk matanya tidak mereka lihat," kata Menteri Kehutanan RI Hasjrul Harahap kepada TEMPO. Ketika itu ia duduk santai di veranda Hotel Pullman, Bonn, Jerman, suatu sore tiga pekan lalu. Seraya menatap Sungai Rhein, seakan ia ingat pada skandal pembuangan ampas industri disauk dari sungai itu, lalu dibuang ke Lautan Hindia sekitar dua tahun silam. Hasjrul berada di Eropa untuk memimpin dialog ASEAN dengan Masyarakat Eropa (ME) di Brussels. Setelah bertatap muka di ibu kota Belgia itu, rombongan tersebut mengunjungi Den Haag, kemudian ke Bonn, dan London. Safari ini seluruhnya merupakan misi membuka mata orang Eropa ihwal keadaan hutan ASEAN yang tidak seburuk yang mereka bayangkan. Seperti diketahui, di berbagai negara ME terdapat sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendorong pemerintahnya memboikot kayu dari hutan tropis -- termasuk dari Indonesia. Menurut mereka, penebangan hutan tropis memberikan sumbangan besar terhadap proses perubahan iklim global yang kini tengah berlangsung, dan bermanifestasi lewat kenaikan suhu udara. Anti-kayu hutan tropis itu pertama kali muncul di Kota Dordrecht, Provinsi Holland Selatan, Belanda. Di situ kayu tropis diharamkan dipakai sebagai bahan bangunan. Menurut koran lokal, De Dordtenaar, 20 Juli 1989, yang melanggar peraturan ini bisa ditahan enam bulan, atau didenda maksimum Rp 6,5 juta. Pecinta lingkungan kemudian menginginkan aturan ala Dordrecht diterapkan di seluruh Negeri Belanda. Seruan itu disetujui. Dan bulan depan pemerintah siap menurunkan peraturan tentang kayu hutan tropis: mulai 1995 impor hasil hutan hanya dari produksi yang berkesinambungan (sustainable production). Namun, penduduk sudah telanjur takut memakai bahan dari kayu yang berasal hutan tropis untuk membangun rumah, membuat interior dan perabot. Juga, di utara Jerman dan Belgia kampanye boikot kayu tropis ditanamkan sampai di taman kanak-kanak. Dan di Inggris, menurut Dubes RI Hadi Thayeb, bahan makanan serta buah yang dikemas dengan kayu tropis dianjurkan tidak dibeli. Di antara LSM yang galak itu adalah Friends of Earth (Sahabat Bumi) yang berdiri sejak 1960 di 11 negara ME. Merekalah yang mengedarkan selebaran yang mengomentari dialog delegasi ASEAN pimpinan Menteri Hasjrul Harahap dengan Komisi ME di Brussels, Belgia, sebagai mission imposible. Kampanye "Sahabat Bumi" tak cuma menyangkut antideforestrasi, juga anti-polusi. Tapi Herman Verhagen, juru bicara LSM ini di Belanda, toh menghargai misi Hasjrul di Eropa. "Oke, ia melangkah dengan baik. Apalagi Pak Harahap sudah mencabut 64 izin HPH yang melanggar peraturan. Saya memberi selamat. Ini perbaikan, dan harus saya akui ini langkah pertamanya," ujarnya kepada TEMPO. Akan halnya penyebab timbulnya efek rumah kaca, ia setuju tak seluruhnya menimpakan dosa ini ke alamat negara berkembang dan penebangan hutan tropis. Ia setuju bila negara maju, termasuk Eropa, adalah penyebab penting. Karena efek rumah kaca hanya salah satu konsekuensi dari penebangan hutan. Ada konsekuensi lain, misalnya: erosi, pergantian iklim lokal, konflik dengan suku pedalaman, dan seterusnya. Lalu sejauh apa penebangan ini ikut berperan dalam perubahan iklim secara global? Para ahli mengatakan peran penebangan hutan dalam terbentuknya efek rumah kaca itu dari 8% hingga 30%. Dari banyak konperensi lingkungan, selalu dibahas masalah efek rumah kaca, makin panasnya bumi, perubahan iklim, dan penyebab yang sangat besar pengaruhnya adalah penebangan hutan tropis. Konperensi jarang memberikan data siapa terbanyak menyumbang gas buangan yang sangat membahayakan atmosfer bumi. Dengan presentasi Profesor Otto Soemarwoto yang menjelaskan masalah tersebut lengkap dengan statistik, masalahnya menjadi jelas. "Hutan tropis hanya memberi sumbangan kecil dalam soal dampak rumah kaca," katanya. Penggundulan hutan di Eropa, misalnya, lebih "mengerikan" dibanding negara Dunia Ketiga. Penebangan hutan Eropa Barat, yang konon dimulai sejak zaman Romawi, dan kini hanya 25% kawasan Eropa Barat diteduhi oleh kanopi hutan. Selebihnya berupa kota-kota berindustri atau tanah pertanian yang telanjang setiap usai panen. Indonesia, yang biasa dikecam diam-diam, masih dipayungi kehijauan hutan yang mencapai sekitar 75% dari luas daratan. Bagaimanapun juga, soal perubahan iklim global merupakan persoalan dunia. Maka, secara bersama-sama, semua negara harus bisa menekan emisi gas-gas limbah sebanyak 50% dari keadaan tahun 1990, untuk menangkal menggelindingnya global warming itu. Konsekuensinya: hutan harus dihemat, tapi corong pabrik dan mobil di negeri-negeri maju juga dikurangi. Selama ini memang hutan tropis dianggap sebagai kawasan yang sanggup menyerap muntahan gas buang CO2 dari corong pabrik atau kendaraan bermotor. Menurut Profesor F. Gunarwan Suratmo, dalam makalahnya pada Kongres Kehutanan Indonesia II di Jakarta, pekan lalu, hutan tropis memang memiliki kemampuan memproduksi biomassa dalam jumlah besar setiap tahunnya. "Namun, jangan diabaikan bahwa fitoplanton di lautan memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tak kalah besarnya," kata Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Pasca Sarjana IPB Bogor itu. Luas hutan Indonesia nomor dua di dunia, 144 juta hektare -- setelah Brasil (374 juta ha) serta Zaire (103,8 juta ha) di Afrika. Yang dibagi untuk HPH 64 juta ha. Selebihnya disediakan untuk hutan konversi yang sewaktu-waktu (250 ha setahun) bisa dijadikan lahan transmigrasi, PIR, dan hutan tanaman industri seperti pulp dan kertas. Penebangan hutan di Indonesia punya aturan jelas: TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Hanya pohon yang berdiameter lebih dari 50 cm boleh ditebang. Kemudian harus diikuti pemeliharaan bibit baru untuk menggantikan pohon induk yang tumbang. Atau menanami hutan bekas. Permainan ini berlangsung di areal hutan produksi. Namun di luar itu, 500 ribu ha dijarah peladang berpindah dan penebangan liar. Hutan lindung dan hutan suaka (hampir 50 juta ha) tetap tak boleh disentuh. Pengusahaan hutan model TPTI itu dipuji David Bellamy, ekolog kondang di London. Cara TPTI, ujarnya, dapat disebut sebagai pengelolaan hutan berkelanjutan. Maka, ia mengatakan TPTI layak dipakai sebagai cetak biru mengembangkan hutan tropis di dunia. Tapi pemerintah Indonesia berniat menyempurnakan sistem TPTI itu. Proyek pengembangannya mendapat bantuan selain dari ME, juga hibah dari Jerman 20 juta DM dan œ10 juta dari Inggris. Kepastian ini disampaikan pada Hasjrul Harahap ketika bersafari di sana. Sejauh ini penebangan hutan di sini masih di batas pantas. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan kepada Leila S. Chudori dari TEMPO, "Kita tahu tentang global warming, pemanasan bumi. Menurut para ahli, penebangan hutan di Indonesia tidak terlalu besar." Setahun, 900 ribu sampai 1 juta ha yang ditebang oleh pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Bukan tebang habis. Menurut Bob Hasan, Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia, walau ada kampanye boikot, itu tak mempengaruhi ekspor kayu. Tahun lalu diperoleh devisa US$ 3 milyar. Dari Jepang saja US$ 1 milyar, AS US$ 400 juta, dan Eropa US$ 300 juta. "Malah Eropa ngemis-ngemis minta kayu kita," ujar "raja kayu lapis" itu. Tanpa menyembunyikan sikap mendua rupanya Masyarakat Eropa sulit melepaskan ketergantungannya pada kayu tropis. Zakaria M. Passe dan Asbari N Krishna (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini