DARI puncak menara kayu setinggi 15 meter, Dr. Daniel C. Nepstad bisa menyaksikan dua pemandangan yang kontras. Di hadapannya terbentang padang rumput hijau dengan ratusan ekor sapi belang hitam-putih. Di belakangnya terhampar rimba raya Amazone, Brasil, yang basah dan rimbun. Dan Nepstad tahu, padang rumput itu akan makin luas, mengikis hutan tropis yang hijau itu. Setiap tahunnya di Brasil, ribuan hektare hutan diubah menjadi padang rumput untuk penggembalaan ternak. Kendati budidaya ternak itu membantu banyak bagi perekonomian Brasil, ada yang disesalkan oleh Nepstad. "Sekali hutan berubah menjadi padang rumput, dia tak akan pernah kembali lagi ke bentuk asal," ujar ahli ekologi hutan tropis lulusan Universitas Yale, AS, itu. Lalu, "Tak terhitung berapa spesies tumbuhan dan hewan yang musnah," katanya lebih lanjut. Nepstad juga menyaksikan, di tengah hutan Amazon kini juga beroperasi ribuan buldoser, yang kerjanya sehari-hari menyeret batang pohon hasil tebangan ke tempat pengumpulan. "Penebangan itu mengundang sejumlah bahaya," ujar Nepstad, bernada masygul. Beberapa penelitian di hutan Amazon memang membenarkan kecemasan Dr. Nepstad itu kendati pemerintah Brasil sendiri cukup berhati-hati dalam mengusahakan hutannya -- antara lain lewat kewajiban tebang pilih, mirip kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah Indonesia. Tebang pilih ala Brasil itu, ternyata, mendatangkan bala tersendiri bagi ekosistem hutan. Sebuah survei oleh Dr. Chnstopher Uhl dari Universitas Pennsylvania megungkapkan, tebang pilih ala Brasil itu merobohkan 2% dari tegakan kayu hutan. Namun, pengoperasian alat-alat berat dan bergelimpangnya pepohonan raksasa itu berdampak buruk pada pohon-pohon yang lebih kecil. Dalam catatan Uhl, kegiatan tebang pilih itu membuat 26% pohon yang batangnya bergaris tengah 10 cm roboh mati atau rusak. Perinciannya: 12% kehilangan tajuk, 11% tercabut perakarannya, dan 3% lainnya tergurat kulit batangnya. Kerugian lain, separuh tajuk (kanopi) pohon-pohon tinggi yang tersisa robek dan terkuak, antara 40% dan 80%. Kondisi semacam itu, kata Uhl, menyebabkan hutan bekas tebangan itu rawan, antara lain, terhadap api. Rusaknya kanopi hutan itu berakibat penetrasi cahaya matahari ke lorong-lorong hutan lebih besar. Alhasil, udara di situ 25% lebih kering dan 33% lebih panas. Kondisi itu diperburuk oleh adanya "limbah" batang dan ranting sisa penebangan. Dalam keadaan semacam ini, menurut Uhl, hari-hari tanpa hujan selama sepekan sudah cukup untuk menyulut kebakaran. Kondisi yang sama juga membuat tegakan hutan ringkih menghadapi amukan angin. Tanpa menepiskan kemungkinan buruk seperti dilansir Dr. Uhl, Dr. Agus Setiyarso, ahli manajemen kuantitatif hutan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bersikap optimistis. Dia mencoba melihat dari aspek yang lain. Menurut taksiran Agus, tebang pilih ala Indonesia melenyapkan biomassa (material) hutan sekitar 5%. Namun, dalam tempo 23 tahun, "Akan tercapai recovery (pemulihan)," ujarnya. Agus Setiyarso mengingatkan bahwa salah satu sifat hutan tropis adalah produktivitas biomassanya yang tinggi. Maka, 2-3 tahun setelah penebangan, "Bekas-bekas tebangan akan tertutup oleh semak belukar," ujarnya. Dengan demikian, fungsinya sebagai penjaga siklus hidrologi dan perannya sebagai paru-paru bumi (penyerap CO2) pun akan cepat pulih seperti sedia kala. Tapi Agus melihat, masih banyak pemegang HPH yang belum sanggup melaksanakan ketentuan TPTI itu. Padahal, biaya US$ 300/ha untuk TPTI tak terlalu mahal buat pengusaha HPH. "Tampaknya, mereka belum paham betul, apa itu TPTI," ujarnya. Atau pura-pura tak paham? Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini