JAKARTA — Sejumlah pihak mendorong pemerintah menyediakan lebih banyak peralatan medis bronkoskopi di rumah sakit seluruh Indonesia.
Bronkoskopi merupakan prosedur dan peralatan yang digunakan untuk mendiagnosis atau mengatasi gangguan pada saluran pernapasan, termasuk paru-paru.
Peranti bronkoskopi berupa selang yang dilengkapi dengan lampu dan kamera di ujungnya. Selang ini berdiameter 1 sentimeter dan panjang sekitar 60 sentimeter. Umumnya alat ini berbahan lentur sehingga bisa dimasukkan ke dalam saluran dan rongga pernapasan.
Bronkoskop—alat yang digunakan untuk melakukan bronkoskopi—berfungsi mendeteksi infeksi, penyakit, hingga penyumbatan pada organ pernapasan. Alat ini juga bisa dipakai untuk mengambil sampel jaringan pada organ pernapasan hingga mampu mengeluarkan lendir, nanah, serta benda asing yang ada dalam organ pernapasan.
Penanganan obyek asing menjadi manfaat lain alat ini. Kasus paling anyar terjadi pada Selasa lalu, saat tim medis Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur, sukses mengeluarkan jarum pentul yang tak sengaja tertelan pasien berusia 19 tahun.
Jarum tersebut tertelan saat dikepit di bibir pasien sewaktu merapikan jilbab. Berkat tindakan bronkoskopi, tim dokter mampu mengambil jarum pentul tanpa prosedur bedah operasi dalam waktu 20 menit. Dokter mengizinkan pasien tersebut pulang setelah menjalani observasi selama beberapa saat pasca-operasi.
Mirisnya, jumlah peralatan
bronkoskopi dan dokter spesialis yang mampu mengoperasikan peralatan tersebut masih terbatas di Tanah Air. Singkat kata, peralatan bronkoskopi belum merata di Indonesia. Hanya beberapa rumah sakit di kota besar yang memilikinya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto. Dok. TEMPO/Nurdiansah
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, mengatakan terdapat 1.313 dokter paru di 34 provinsi. Mereka mampu melakukan prosedur bronkoskopi, termasuk mengeluarkan benda asing yang masuk di saluran pernapasan.
Agus mengatakan sejauh ini peralatan bronkoskopi dimiliki rumah sakit milik pemerintah, seperti di Surabaya, Semarang, Bandung, Bali, Medan, Riau, dan Lampung. Tak lupa beberapa rumah sakit milik pemerintah di Jakarta. Walhasil, jika terdapat pasien dari luar wilayah tersebut, mereka harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki bronkoskop. "Beberapa rumah sakit swasta juga sudah ada yang punya. Hanya, peralatan bronkoskopi ada standarnya," kata Agus, Kamis lalu.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membenarkan keterbatasan alat bronkoskopi di rumah sakit swasta. Peralatan tersebut hanya ada di rumah sakit milik pemerintah. Itu pun hanya ada di rumah sakit umum pusat (RSUP). "Rumah sakit swasta yang punya jaringan besar ada beberapa yang punya, tapi tidak selengkap milik pemerintah," kata Sekretaris Jenderal ARSSI, Ichsan Hanafi, kemarin.
Menurut Ichsan, ada beberapa penyebab banyak rumah sakit swasta tak memiliki peralatan bronkoskopi. Pertama, alat ini cukup mahal. Harga yang tinggi membuat rumah sakit berpikir berkali-kali sebelum memutuskan menginvestasikan dananya untuk peralatan bronkoskopi.
Alasan kedua, praktik spesial paru di masing-masing rumah sakit tak bisa dijadikan patokan kebutuhan peralatan bronkoskopi. Jika rumah sakit tersebut hanya punya sedikit pasien spesialis paru, tentu membeli
bronkoskop tak akan jadi kebutuhan utama. "Jadi, dilihat dulu kunjungan pasien paru seperti apa. Bahkan yang buka praktik spesialis paru pun belum tentu ada bronkoskopi," kata Ichsan.
Menurut dia, sudah seharusnya pemerintah mendatangkan bronkoskop di seluruh wilayah. Pemerintah, dia melanjutkan, perlu memetakan keberadaan peralatan tersebut, termasuk milik RS swasta. Jadi, seandainya di suatu daerah ada RS swasta yang memiliki bronkoskop, tidak menjadi masalah jika RS umum daerah di sana tidak melayani bronkoskopi. "Yang penting ada satu rumah sakit yang bisa dijadikan rujukan," kata Ichsan.
Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago. Dpr.go.id
Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, meminta pemerintah melalui Kementerian Kesehatan melengkapi peralatan bronkoskopi, minimal ada di satu rumah sakit di setiap provinsi. "Agar rujukan dari kota dan kabupaten bisa lebih cepat tertolong," kata politikus Partai NasDem itu.
Irma yakin Kementerian Kesehatan memiliki ruang gerak yang cukup untuk membeli alat bronkoskopi. "Relokasi saja anggaran alat kesehatan yang tidak mendesak," ujarnya.
Kementerian Kesehatan tidak menanggapi desakan pengadaan peralatan bronkoskopi ini. Hingga tenggat tulisan menjelang tengah malam, kemarin, juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, tidak merespons upaya permintaan konfirmasi yang Tempo layangkan lewat pesan pendek.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Staf Medis Paru RSUP Persahabatan, Prasenohadi, mengatakan minimal ada satu pasien yang membutuhkan pertolongan bronkoskopi saban bulan. Benda asing yang tertelan pun beragam, dari gigi palsu, kacang, sisa permen, sampai tutup pena serta peluit. Benda-benda asing tersebut tak bisa dikeluarkan dengan metode heimlich maneuver atau menekan ulu hati. "Apabila bendanya tajam atau logam, itu membahayakan pasien," kata Prasenohadi.
Dengan bronkoskopi, obyek asing yang tak sengaja tertelan bisa diangkat sonder operasi pembedahan. Tingkat keberhasilan tindakan medis tersebut mencapai 95 persen.
INDRA WIJAYA | ANTARA