SUARA ketak-ketik para pengukir batu terdengar nyaring di tengah
deru lalu-lalang kendaraan yang padat. Pengukir batu di
Muntilan, Jawa Tengah, yang berjejer di pinggir jalan itu,
memang harus mengeluarkan tenaga ekstra. Karena yang mereka
geluti adalah batu muntahan Gunung Merapi, lebih keras dan padat
dibandingkan dengan batu biasa.
Batu yang punya berat berton-ton itu menjelma jadi berbagai
bentuk patung di tangan para pengukir. Mulai dari patung burung
kecil, sampai patung Gupala (tokoh dongeng) setinggi 2 meter.
"Untuk membuat patung Gupala dibutuhkan waktu 2 bulan," kata
Dadang Suwarno, 35 tahun, yang berpengalaman mengukir 15 tahun.
Di sepanjang jalan antara Muntilan dan Magelang itu, ada sekitar
200 pengukir batu. Mereka bekerja pada 20 perusahaan yang
menjual kerajinan ini. Dadang bercerita, setelah boss-nya
memberi petunjuk, patung apa atau siapa yang akan dibuat --
sesuai pesanan atau yang sedang laris -- ia lantas mereka-reka.
Mula-mula batu sebesar gajah dengan bentuk tak keruan itu
ditatahnya secara kasar sehingga berbentuk lonjong. Untuk
membuat patung Gupala, misalnya, proses membuat tatahan kasar
itu memerlukan waktu setengah bulan.
Dari bentuk lonjong, baru dikembangkan dengan menggarap anatomi
kasar, ukuran kepala, tubuh, tangan, dan kaki. Setengah bulan
lagi sudah berwujud Gupala sedang duduk -- belum ada detil
seperti, mata, hidung, mulut, rambut, dan sebagainya. Untuk
membuat bentuk-bentuk terperinci ini diperlukan lagi waktu
setengah bulan. Kemudian tahap akhir, menghaluskan, perlu
sekitar 5 hari. "Pekerjaan menghaluskan lebih rumit," katanya.
Di sinilah perlu kerja hati-hati. "Sedikit saja mata tatah
meleset, patung akan terluka. Tak bisa ditambah," kata ayah 4
anak ini.
Dadang yang sekolahnya hanya sampai kelas I SMP menyebutkan
patung Gupala setinggi 2 meter dan lebar 1 meter dengan berat
1,3 ton, kecuali memakan waktu lama, juga menelan biaya sangat
besar. Karena itu para pengukir tak mampu bekerja dengan modal
sendiri. Mereka harus bekerja pada "majikan" dan mendapat gaji.
Dadang memilih kerja di Padepokan Kendalisada, perusahaan milik
Suyatno H.P. Ia mendapat upah Rp 1.500 sehari ditambah makan 2
kali sehari.
Namun Dadang pernah menerima pekerjaan patung Ganesha dengan
sistem borongan. Patung itu ia selesaikan dalam waktu 1,5 bulan,
dan ia mengantungi Rp 200.000. "Capek bukan main karena harus
dikerjakan siang malam," ujarnya. Tapi ia puas. Bukan soal uang
saja, tapi "saya merasa telah mengerahkan seluruh kemampuan saya
untuk berkarya, patung itu saya anggap paling jempol." Sayang ia
tak tahu siapa pembeli patung itu dan di mana sekarang berada,
"saya sering kangen," tambahnya.
Laki-laki berkulit hitam dan bertangan kekar itu mengaku sudah
mengerjakan sekitar 100 patung berbagai ukuran, dari jenis
Gupala, Ganesha, Hanoman, Ken Dedes, Roro Jonggrang, Syiwa,
Wisnu, Brahma, dan Budha. Empat patung yang disebut belakangan
ini tak boleh sembarangan ukurannya. "Modelnya harus mirip,
ukurannya pas," katanya.
Ia sempat pula ke Jakarta, membuat miniatur Candi Mendut di
Taman Mini. Ia bekerja di bawah pimpinan seorang arsitek. "Wah
senang sekali, pengalaman saya bertambah karena berkenalan
dengan pengukir top," katanya. Tapi pada hari-hari selebihnya ia
kembali mengeluh: tenaga terkuras menghadapi batu keras,
sementara ia merasa menerima terlalu kecil. Ia toh harus
menyerah, "karena saya tak punya keahlian lain.
Sinu, 48 tahun, teman sekerja Dadang, juga pasrah. "Saya ini
buta huruf, kalau tak mau kerja kasar, tak mungkin dapat
pekerjaan," katanya. Dulunya ia kusir delman. Setelah gerobak
berkuda itu menghilang, ia menggabungkan diri sebagai penatah
batu. Satu-satunya yang membuat ia betah pada pekerjaan ini,
karena "kerja bisa agak bebas, bayaran tetap." Ia dibayar Rp
1.000 sehari dengan tambahan dua kali makan. Yang dikerjakan
khusus membuat hiasan ular yang melilit di pilar batu, atau
patung katak dan binatang kecil-kecil. Tidak begitu menguras
tenaga. "Mungkin karena saya sudah tua, badan cepat
pegal-pegal," katanya. Karena itu ia mengaku, setiap satu jam
harus beristirahat untuk merokok. Majikannya memberi jatah rokok
sebungkus sehari.
Sarkodim, 25 tahun, agaknya tukang ukir batu termuda di
Muntilan. Menjelang Lebaran lalu, ia bernasib sial. Saat itu ia
sedang melakukan pekerjaan akhir, menghaluskan pipi patung
Gupala setinggi 1 meter. Ia sudah membayangkan bisa mengantungi
hadiah Rp 60.000 jika patung itu selesai sebelum Lebaran. Ketika
patung itu ia geser pelan-pelan, tumit Gupala membentur batu dan
sumbing sekitar 3 cm. Ia mendadak sedih. Tapi segera mendapat
akal, dengan tatah bermata tajam ia kikis tumit patung itu.
Kembali kelihatan sempurna, namun jelas kekecilan jadinya.
"Habis mau diapakan lagi?" kata Sarkodim sambil mengelap
keringatnya. "Daripada ditambal semen, kan cacat."
Sarkodim sudah 5 tahun bekerja di perusahaan milik Pak Dirjo.
Patung Gupala yang diselesaikan tadi, merupakan patung ketujuh.
"Sekarang saya tak perlu lagi menggantungkan diri pada orangtua,
malah saya bisa mengongkosi adik sekolah," kata pemuda yang
hanya tamat SD ini. Ia pernah ikut kerja borongan, membuat
pot-pot dari batu keras di Bank Indonesia, Semarang, tahun 1980.
Ketika itu sehari ia mengantungi uang Rp 5.000. "Sayangnya kerja
borongan ini jarang sekali," katanya.
Nasib Dadang, Sinu, Sarkodim, dan teman-teman mereka barangkali
tak akan bisa bertahan lama. Karena persediaan batu keras serupa
itu sudah mulai tipis. Selama ini batu-batu itu terus diambil,
sementara Gunung Merapi tak selalu muntah.
Suyanto H.P, 31 tahun, pemilik Padepokan Kendalisada bercerita,
betapa sulit dan mahal batu itu sekarang. Mencari batu sebesar
gajah itu, mesti mengontrak sawah penduduk di lereng Merapi.
Kemudian perlu paling tidak 5 tenaga harus dikerahkan untuk
menggali. "Itu pun kalau ada batunya, karena belum tentu sawah
yang disewa menyimpan batu," kata Suyatno. Jika penggalian tahap
pertama itu menemukan batu, diteruskan menggali sampai batu itu
siap diangkut. Menggali saja memerlukan waktu setengah tahun.
Setelah batu kelihatan seutuhnya, diperlukan 10 tenaga untuk
membersihkan dan mengikis salah satu sisi menjadi datar.
Maksudnya agar kelak mudah diangkut. Pekerjaan terakhir inilah
yang penuh risiko dan rumit. Mencari truk, mengumpulkan
alat-alat katrol untuk menaikkan dan menurunkan batu. "Apa
boleh buat, itulah pekerjaan kami," kata Suyatno, ayah 2 anak
yang sudah 6 tahun membuka usaha ini. Proses mencari batu itu
saja memerlukan modal Rp 300.000 di luar ongkos angkut. Suyatno
tak mau berbicara lebih detil, berapa keuntungannya. Hanya
disebutkannya sebuah patung Gupala berharga Rp 1,5 juta.
Kalau sekali waktu batu Merapi itu habis juga, para pengukir
mungkin bisa ditampung pengusaha bongpay, yaitu pembuat batu
nisan berukir untuk makam-makam pekuburan Cina. Usaha bongpay di
sekitar Muntilan pernah ada, tapi kini agaknya tak terlihat
lagi.
Di Bandung, pengusaha bongpay yang cukup terkenal, adalah Tjung
A Kwat. Ia mempekerjakan 9 orang, semuanya diupah dengan sistem
borongan. Slamet, 45 tahun, yang mengaku berpengalaman 15 tahun
mengukir batu nisan, menuturkan, perlu waktu sebulan untuk
sebuah bongpay yang komplit. Ia dibayar Rp 60.000. "Kalau tak
ada pesanan, buruh tak dapat borongan, berarti saya menganggur,"
kata Slamet. Tapi Tjung dinilainya baik, "kalau Lebaran dikasih
hadiah Rp 10.000," kata Slamet lagi.
Bongpay yang penuh ukiran itu terbuat dari batu alam yang banyak
terdapat di daerah Purwakarta. Harga setempat Rp 420.000 untuk
sebuah bongpay yang sudah jadi Kalau dijual langsung ke keluarga
si mati, sebuah bongpay komplit yang terdiri dari 21 corak
ukiran bisa berharga Rp 1,5 juta.
Slamet, akhir-akhir ini mulai gusar: pesanan semakin berkurang
dan ini berarti pengangguran. Tahun lalu hampir 3 bulan ia
menganggur. Rezeki nomplok memang pernah ia terima, sekitar dua
bulan lalu. Perusahaan Tjung ketiban pekerjaan untuk membobol
balok batu yang dijadikan prasasti peresmian Proyek Saguling
seluas 45 x 45 cm. Borongan itu dibayar Rp 350.000, dikerjakan 8
orang. Slamet tak menyebut, berapa bagian yang ia terima selama
4 hari bekerja itu. "Lumayan, tetapi pekerjaan itu berat,
batunya keras," katanya.
Sepinya peminat bongpay juga dirasakan pengusaha Susetyo, 45
tahun, di Surabaya yang mempekerjakan 10 buruh. Pengusaha ini
menduga hal ini karena sekarang banyak orang keturunan Cina yang
tak merasa perlu berbuat seperti leluhur mereka dulu: membuat
makam seindah mungkin.
Yang juga digelisahkan Susetyo adalah bahan baku yang mahal di
Surabaya. Batu yang dipakainya juga dari Jawa Barat. "Sebenarnya
yang paling bagus batu dari Pare-Pare, Sulawesi. Tapi yang lebih
bagus lagi, ya batu dari Cina," katanya.
Agaknya para pengukir batu, baik pengukir di Muntilan yang
memproduksi patung-patung, maupun pengukir bongpay di beberapa
tempat punya kegelisahan yang sama: suatu ketika akan berhenti
bekerja karena kesulitan bahan baku atau karena orang tak
menyenangi batu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini