MANUSIA JAWA
Oleh: Drs. Marbangun Hardjorairogo
Penerbit: Yayasan Idayu, Jakarta, 1983, 120 halaman.
Manusia Jawa karangan Drs: Marbangun Hardjowirogo merupakan
usaha untuk menyajikan unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dapat
menjelma dalam watak dasar manusia Jawa. Sebagai unsur watak
dasar maka dapat diamati pengaruhnya pada tata-tutur serta peri
laku manusia Jawa apabila dalam kehidupannya sehari-hari
berhubungan dengan orang lain.
Drs. Marbangun Hardjowirogo terkenal di kalangan wartawan
Indonesia sebagai sesepuh yang banyak berpengalaman dan berjasa
bagi pengembangan pers Indonesia. Karena itu cara menulisnya
segar dan menyenangkan, lagi pula gampang ditangkap maksudnya
oleh para pembaca. Barang siapa mengenalnya pasti mendapat kesan
tentang kehalusan wataknya, kejujuran sikapnya, dan
kesederhanaan dalam segala segi hidupnya. Nestor wartawan ini
bukan saja pandai menulis tentang manusia Jawa, tapi juga pandai
hidup sebagai manusia Jawa.
Dengan demikian maka isi karangannya tidak hanya didasarkan atas
pengamatannya terhadap orang-orang lain saja, tapi sebagian
besar juga bersumber pada pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran
pribadi. Karena itu karangan ini tidak bersifat ilmiah, dan
memang tidak dimaksudkan demikian, tapi ditampilkan sebagai
penyajian populer.
Setelah Bab I tentang pertanggungjawaban mengenai motivasi
mengarang buku ini, maka menyusul Bab 2, 3, dan 4 yang
menggambarkan berbagai macam sikap manusia Jawa apabila berada
dalam lingkungan hidup Jawa. Sikap yang mengandung unsur-unsur
feodalistik, keagamaan, dan fatalistik memang masih sering
tampak. Tapi makin multi-ethnic (beraneka suku bangsa) sifat
lingkungan hidupnya, makin lemah unsur-unsur tadi. Salah satu
sikap hidup yang kurang disoroti dalam buku ini adalah sikap
ajur-ajer atau asimilasi manusia Jawa dengan lingkungan
hidupnya.
Selanjutnya dalam Bab 5 sampai dengan Bab 23 disajikan
sumber-sumber nilai kebudayaan yang berpotensi ikut membentuk
watak manusia Jawa. Di antara sumber-sumber itu, misalnya,
disebutkan wayang, Serat Wulang Reh ciptaan Sri Susuhunan
Pakubuwono IV, Serat Weddhatama buah renungan Sri Mangkunegara
IV, dan Ilmu Begdjo atau Ngelmu Beja ajaran Ki Ageng
Surjomentaram, adik Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Jelas di
sini usaha pengarang untuk menampilkan ajaran dari tiga kerajaan
Surakarta, Mangkunegaran, dan Yogyakarta untuk meyakinkan
pembaca bahwa sumber-sumber nilai kebudayaan itu merata ada di
ketiga kerajaan. Namun entah bagaimana dari kerajaan Pakualaman
tidak ada suatu sumber pun yang disebut. Mungkin karena memang
tidak ada.
Suatu hal yang merupakan kekurangan dalam hal ini adalah bahwa
banyak disajikan kutipan dan ulasan dari sumber-sumber itu, tapi
sedikit saja, bahkan hampir tidak ada, keterangan mengenai
pengaruh yang nyata pada kehidupan manusia Jawa.
Mungkin karanan ini akan menjadi jelas apabila menyebutkan
perbedaan tata hidup antara tiga golongan yang terdapat dalam
masyarakat Jawa pada waktu masih bernaung sepenuhnya di bawah
raja. Tiga golongan itu adalah:
þ Golongan bendara, sering juga dinamakan kaum "ningrat" atau
"kusuma" karena social privilege para anggotanya untuk memakai
nama yang dihiasi dengan dua kata itu. Golongan ini
beranggotakan keturunan raja sampai tingkat tiga ayah dalem)
dan karena itu relatif hanya kecil saja. Filsafat hidup mereka
terutama ditujukan pada caranya memegang kekuasaan negara dan
mengembangkan kesenian, terutama tarian Jawa dan gamelan.
þ Golongan priyayi, yang terdiri dari para pegawai kerajaan.
Karena mereka bertujuan mengabdi dengan segala kesetiaan kepada
raja, maka mereka dalam tata hidupnya senantiasa berpedoman
pada fatwa-fatwa raja dan sistem nilai sosial yang menyerupai
sistem nilai sosial golongan bendara. Dengan istilah zaman
sekarang, sistem nilai sosial mereka berorientasi ke atas.
þ Golongan wong cilik, meliputi semua hamba negara, yang tidak
termasuk golongan bendara dan priyayi. Tujuan hidup masyarakat
wong cilik pada pokoknya adalah memelihara keserasian dan
kerukunan hidup antara sesama manusia dan dalam keadaan demikian
mencari nafkah untuk menopang kehidupan diri sekeluarga. Pedoman
hidup golongan ini adalah: Tata Tentrem Kerta Raharja.
Karena perbedaan tata hidup ketiga golongan itu maka berbeda
pula pengaruh yang mereka serap dari berbagai sumber nilai
kebudayaan tersebut di atas. Serat Wulang Reh dan Serat
Weddhatama hanya dapat dibaca oleh golongan bendara dan priyayi,
dan hanya sedikit sekali dikenal oleh golongan wong cilik yang
tidak biasa membaca. Sebaliknya golongan wong cilik menghargai
sekali realisasi nilai-nilai Tata Tentrem Kerta Raharja, karena
tanpa realisasinya para anggota golongan ini tidak dapat hidup.
Dalam pandangan Drs. Marbangun mengenai berbagai hal terdapat
beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan adalah pernyataannya
bahwa "manusia Jawa sukar bisa bertindak tegas oleh karena
pertimbangan manusiawinya lekas berbicara" (halaman 44).
Pernyataan ini perlu penjelasan.
Orang yang bukan manusia Jawa mungkin tidak dapat menangkap semu
(isyarat halus) yang sering terkandung dalam kata-kata atau
perbuatan manusia Jawa. Bagi manusia Jawa lain semu itu jelas.
Lagi pula semu itu hanya dipakai apabila seorang manusia Jawa
harus mengatakan "tidak" kepada orang lain yang lebih tinggi
kedudukannya atau lebih tua umurnya. Tapi jawaban "Nun inggih,
sendika" bernada mantap dan tegas serta positif. Terhadap pihak
lain yang berkedudukan lebih rendah atau berumur lebih muda
manusia Jawa dapat bersikap tanpa ragu-ragu, juga apabila ia
harus menolak sesuatu yang dikehendaki oleh pihak lain itu.
Namun bagaimanapun juga buku karangan Drs. Marbangun
Hardjowirogo ini merupakan sumbangan yang amat berguna untuk
memupuk pengertian tentang Jiwa manusia Jawa.
Selo Sumardjan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini