JUMLAH penerimaan zakat fitrah naik dari tahun ke tahun. Sedang
jumlah orang yang berhak menerimanya terus menurun. Itu laporan
dari Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) Kotamadya
Bandung. Antara Lebaran 1981 dan Lebaran 1983 kemarin,
perbandingan jumlah zakat dan jumlah penerima itu begini: Rp 120
juta: 29 ribu, Rp 150 juta: 22 ribu, dan Rp 200 juta: 17 ribu.
Toh kemakmuran, yang mungkin juga bisa dicerminkan oleh
perubahan pada perimbangan itu, layaknya tidak pernah disebabkan
oleh fitrah -- jenis zakat seremonial yang sebagian besarnya
memang selalu dibagi habis di antara para miskin buat
kegembiraan mereka di hari Lebaran.
Setidak-tidaknya yang lebih menjadi andalan memang jenis-jenis
zakat yang lain, yang satuan nominalnya jauh lebih besar. Dan
tiba-tiba, apa yang diperbuat Departemen Agama dalam hal ini
punya nilai ganda: sebagai penyuluhan, dan sebagai pembaruan
aturan zakat yang selama ini berlaku.
Departemen Agama, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf dari
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji,
menerbitkan buku-buku Pedoman Zakat yang terdiri dari sembilan
jilid, dengan masing-masing sekitar 60 halaman. Dalam buku
pertamanya dituturkan permasalahan, yang sekaligus menunjukkan
pentingnya penerbitan itu.
Yakni: aturan zakat yang ada sampai kini di kalangan muslimin di
Indonesia "hampir semuanya hasil perumusan beberapa abad yang
lalu". Selain tidak tepat lagl, banyak pula hal baru -- misalnya
dari sektor industri dan jasa -- yang tidak dimasukkan.
Sehingga, walaupun orang kaya cukup banyak, "mereka tidak merasa
wajib zakat". Dan zakat pun terasa tidak relevan untuk
diamalkan. Dan menjadi ilmu antik yang jarang diajarkan.
Bayangkan: harga simpanan yang wajib dizakati hanya emas, perak,
dan uang kertas. Intan berlian, atau yang lain-lain, tidak.
Petani padi berzakat, tapi petani anggrek tidak. Peternak sapi,
kerbau, kambing -- dan unta -- berzakat, tapi yang lain-lain
tidak. sedang dari perkebunan, yang dikenai zakat "hanya kurma
dan anggur saja". Demikian misalnya buku populer Fiqh Islam
Sulaiman Rasjid, yang di tahun 1976 saja sudah mencapai ulang
cetak ke-17 -- cetakan pertama 1954.
"Memang tidak rasional," komentar H.A.R. Fakhruddin, ketua umum
PP Muhammadiyah. "Zakat di Indonesia ini sempit sekali," kata
K.H. Syukri Ghozali pula, ketua umum Majelis Ulama Indonesia,
yang kebetulan berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama.
Dan Syukri Ghozali tak lain yang memimpin tim Departemen Agama
yang menyusun buku-buku bertahun 1981/1982 itu. Penerbitan yang
memuat seluk-beluk aturan pelaksanaan, pengumpulan serta
pendayagunaan zakat baik bagi si penzakat, lembaga agama maupun
aparat pemerintah itu kemudian menggariskan pedoman praktis yang
"komunikatif", bila tak mau dikatakan baru.
Baik unta maupun kurma. misalnya, tak lagi disebut. Mengenai
pertanian tak hanya dicantumkan padi atau "makanan yang
mengenyangkan". Tapi juga segala ubi-ubian, jahe, kunyit,
kelapa, pisang, alpukat, pala, lada, pinang, segala tanaman
hias, serei, bambu, tebu, teh, panili, sampai petai dan lombok.
Pokoknya segala tumbuhan yang bernilai ekonomis. Zakatnya: "jika
airnya susah 5%, jika airnya mudah 10%". Dibayarkan tiap panen,
dengan syarat nilai panen mencapai 1.350 kg gabah atau 750 kg
beras. Yang terakhir itu penerjemahan baru dari ukuran di zaman
Nabi.
Ketentuan emas dan perak, dalam fiqh klasik, di sini juga
diperluas menjadi mencakup segala perabot dan perhiasan dari
logam mulia apa pun -- dibayarkan 2«% tiap tahun, dihitung sejak
barang tersebut bernilai 94 gram emas murni.
Batas minimal serta syarat setahun untuk emas itu juga dipakai
untuk laba perusahaan, perdagangan, dan pendapatan lain. Di situ
disebut jenis-jenis usaha yang tak akan bisa dicari dalam kitab
mana pun: industri tempe & tahu, batik, cottage, bahkan bioskop
dan kolam renang. Lalu usaha jasa seperti notaris, akuntan, biro
perjalanan, biro iklan, designer, kap salon. Juga real estate
dan penyewaan rumah/tanah. Berikutnya tabanas, deposito bank
maupun uang tunai. Kemudian penghasilan perorangan seperti gaji,
honor, komisi, penghasilan dokter. Yang terakhir itu dikumpulkan
jumlahnya dalam setahun, kemudian dikeluarkan zakatnya 2«% bila
mencapai nilai emas yang sekitar Rp 1.200.000 itu, seperti yang
lain-lain.
Peternakan juga diluaskan. Tidak hanya ditambahkan kuda, tapi
juga kelinci, ayam, dan unggas lain, serta -- logisnya --
produksi telur dan susu. Yang khas ialah, sementara zakat
peternakan diterakan aturan-aturannya tersendiri, khusus untuk
unggas dan produksinya dipakai aturan zakat perdagangan yang
sudah disebut. Juga madu. Juga industri dan perdagangan kayu.
Buku Departemen Agama itu memang tak hendak mempersoalkan,
mengapa, misalnya, zakat seorang pemegang HPH dengan begitu
lebih kecil dari yang dibayarkan seorang petani. Apa yang
dirumuskan memang bukan "berdasar keinginan". Setidaknya tetap
berangkat dari aturan pokok warisan Nabi sendiri, dengan
pengembangan "ke segala arah" berdasar prinsip qias, analogi dan
untuk itu disaring pendapat dari berbagai mazhab dan ulama besar
terpandang.
Begitu juga rumusan tersebut tidak jelas-jelas mewajibkan zakat
harta simpanan berupa tanah atau gedung, baik rumah -- yang tak
ditempati sendiri, dan tak disewakan maupun villa. Soalnya,
agaknya, bahkan dalam satu buku zakat yang termasuk "maju",
terbitan 1952 -- Perbendaharaan Zakat oleh Prof. Hasbi
Ash-Shiddieqy -- disebut "kesepakatan ulama" bahwa segala harta
yang dibendaharakan saja" tak ada zakatnya. Termasuk rumah dan
tanah. Barangkali, khusus untuk tanah, karena di segi lain
terdapat hadis bahwa tanah yang disimpan saja, alias tidak
produktif, hapus hak pemilikannya setelah tiga tahun.
BAZIS DKI Jakarta sebenarnya juga sudah mengeluarkan buku
pedoman untuk dipakai sendiri -- cetakan ketiga 1981. Toh di
situ tanah hanya disebut dalam hubungan dengan niaga -- sebagai
aktiva tetap, seperti juga gedung -- dengan zakat hanya 2«%
sekali selama-lamanya. Berbeda denga aktiva lancar yang 2«% tiap
tahun.
Tapi bila simpanan emas dizakati per tahun, kenapa simpanan
tanah tidak? H. Muhda Hadisaputro, S.H., yang mengetuai Proyek
Pembinaan Zakat dan Wakaf Departemen Agama dan yang bersama Kiai
Syukri menjadi anggota tim penyusun naskah buku yakin bahwa
rumah dan tanah yang dimaksud itu wajib dizakati 2«% tiap tahun.
"Juga villa".
"Dan itulah risiko menimbun harta. Karena dalam Islam kekayaan
harus diputarkan." Ini kata K.H. E.Z. Muttaqin, juga ketua
Majelis Ulama Indonesia, kepada TEMPO. Dengan kata lain, pasar
harus dihidupkan. Seorang ulama dari Pekajangan, Pekalongan,
Ustadz Abdul Qowi Thalib, karenanya memberi nasihat: "Tanamilah
tanah yang hanya dikurung itu, atau suruhlah orang lain. Jadi
penduduk sekitar bisa turut mengecap, dan zakatnya hanya dari
hasil tanaman dan bukan dari harga tanah." Juga rumah yang
disewakan -- punya fungsi ekonomi dibayarkan zakatnya hanya dari
harga sewa, per tahun.
Berbagai variasi pendapat memang ada. K.H. A.R. Fakhruddin,
misalnya, yakin bahwa bila rumah atau tanah itu harta warisan,
dan mencapai batas minimal, zakatnya sama dengan rikaz atau
barang temuan -- dan hanya sekali selama-lamanya. Dalam pada
itu K.H. Anas Thohir Syamsuddin, dari Lajnah Zakat Nahdlatul
Ulama Surabaya -- yang pernah menggunakan uang zakat untuk
membeli becak dan dibagikan pada para penganggur --
mengemukakan pendapat yang juga berbeda untuk hal lain:
deposito di bank. Bila bank memang mau diterima, zakat
deposito sama dengan zakat hasil pertanian yang tidak disiram":
10% Lain tentunya, bila uang disertakan dalam kerja berwujud
saham. Zakatnya hanya 2,5 dari dividen dalam setahun.
Satu hal sudah pasti: sambutan dari sana-sini itu menunjukkan
kesediaan untuk berubah. Sementara ini pedoman Departemen Agama
sendiri memang belum sampai ke tingkat difatwakan, misalnya oleh
MUI. "Masih menunggu dulu, karena akan berkaitan dengan
pandangan para ulama lain," kata Syukri Ghozali. "Jadi
sementara, siapa yang mau pakai, silakan." Tapi bagi Fakhruddin,
misalnya, sudah jelas: pedoman itu "harus disebarluaskan".
Departemen Agama, seperti dikatakan Muhda, sudah menatar para
ahli zakat yang nantinya akan disebarkan. Buku hijau yang
diterbitkan itu akan dibagikan ke kantor-kantor KUA sampai
tingkat paling bawah. Juga pendekatan lebih langsung dengan
golongan-golongan Islam. "Kalau semuanya tidak terhalang,"
katanya, "saya tak bisa membayangkan. Betapa besarnya efek zakat
nantinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini