Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari sembilan buku hijau

Departemen agama menerbitkan buku pedoman zakat. untuk pembaharuan aturan zakat yang selama ini berlaku. (ag)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH penerimaan zakat fitrah naik dari tahun ke tahun. Sedang jumlah orang yang berhak menerimanya terus menurun. Itu laporan dari Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) Kotamadya Bandung. Antara Lebaran 1981 dan Lebaran 1983 kemarin, perbandingan jumlah zakat dan jumlah penerima itu begini: Rp 120 juta: 29 ribu, Rp 150 juta: 22 ribu, dan Rp 200 juta: 17 ribu. Toh kemakmuran, yang mungkin juga bisa dicerminkan oleh perubahan pada perimbangan itu, layaknya tidak pernah disebabkan oleh fitrah -- jenis zakat seremonial yang sebagian besarnya memang selalu dibagi habis di antara para miskin buat kegembiraan mereka di hari Lebaran. Setidak-tidaknya yang lebih menjadi andalan memang jenis-jenis zakat yang lain, yang satuan nominalnya jauh lebih besar. Dan tiba-tiba, apa yang diperbuat Departemen Agama dalam hal ini punya nilai ganda: sebagai penyuluhan, dan sebagai pembaruan aturan zakat yang selama ini berlaku. Departemen Agama, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, menerbitkan buku-buku Pedoman Zakat yang terdiri dari sembilan jilid, dengan masing-masing sekitar 60 halaman. Dalam buku pertamanya dituturkan permasalahan, yang sekaligus menunjukkan pentingnya penerbitan itu. Yakni: aturan zakat yang ada sampai kini di kalangan muslimin di Indonesia "hampir semuanya hasil perumusan beberapa abad yang lalu". Selain tidak tepat lagl, banyak pula hal baru -- misalnya dari sektor industri dan jasa -- yang tidak dimasukkan. Sehingga, walaupun orang kaya cukup banyak, "mereka tidak merasa wajib zakat". Dan zakat pun terasa tidak relevan untuk diamalkan. Dan menjadi ilmu antik yang jarang diajarkan. Bayangkan: harga simpanan yang wajib dizakati hanya emas, perak, dan uang kertas. Intan berlian, atau yang lain-lain, tidak. Petani padi berzakat, tapi petani anggrek tidak. Peternak sapi, kerbau, kambing -- dan unta -- berzakat, tapi yang lain-lain tidak. sedang dari perkebunan, yang dikenai zakat "hanya kurma dan anggur saja". Demikian misalnya buku populer Fiqh Islam Sulaiman Rasjid, yang di tahun 1976 saja sudah mencapai ulang cetak ke-17 -- cetakan pertama 1954. "Memang tidak rasional," komentar H.A.R. Fakhruddin, ketua umum PP Muhammadiyah. "Zakat di Indonesia ini sempit sekali," kata K.H. Syukri Ghozali pula, ketua umum Majelis Ulama Indonesia, yang kebetulan berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama. Dan Syukri Ghozali tak lain yang memimpin tim Departemen Agama yang menyusun buku-buku bertahun 1981/1982 itu. Penerbitan yang memuat seluk-beluk aturan pelaksanaan, pengumpulan serta pendayagunaan zakat baik bagi si penzakat, lembaga agama maupun aparat pemerintah itu kemudian menggariskan pedoman praktis yang "komunikatif", bila tak mau dikatakan baru. Baik unta maupun kurma. misalnya, tak lagi disebut. Mengenai pertanian tak hanya dicantumkan padi atau "makanan yang mengenyangkan". Tapi juga segala ubi-ubian, jahe, kunyit, kelapa, pisang, alpukat, pala, lada, pinang, segala tanaman hias, serei, bambu, tebu, teh, panili, sampai petai dan lombok. Pokoknya segala tumbuhan yang bernilai ekonomis. Zakatnya: "jika airnya susah 5%, jika airnya mudah 10%". Dibayarkan tiap panen, dengan syarat nilai panen mencapai 1.350 kg gabah atau 750 kg beras. Yang terakhir itu penerjemahan baru dari ukuran di zaman Nabi. Ketentuan emas dan perak, dalam fiqh klasik, di sini juga diperluas menjadi mencakup segala perabot dan perhiasan dari logam mulia apa pun -- dibayarkan 2«% tiap tahun, dihitung sejak barang tersebut bernilai 94 gram emas murni. Batas minimal serta syarat setahun untuk emas itu juga dipakai untuk laba perusahaan, perdagangan, dan pendapatan lain. Di situ disebut jenis-jenis usaha yang tak akan bisa dicari dalam kitab mana pun: industri tempe & tahu, batik, cottage, bahkan bioskop dan kolam renang. Lalu usaha jasa seperti notaris, akuntan, biro perjalanan, biro iklan, designer, kap salon. Juga real estate dan penyewaan rumah/tanah. Berikutnya tabanas, deposito bank maupun uang tunai. Kemudian penghasilan perorangan seperti gaji, honor, komisi, penghasilan dokter. Yang terakhir itu dikumpulkan jumlahnya dalam setahun, kemudian dikeluarkan zakatnya 2«% bila mencapai nilai emas yang sekitar Rp 1.200.000 itu, seperti yang lain-lain. Peternakan juga diluaskan. Tidak hanya ditambahkan kuda, tapi juga kelinci, ayam, dan unggas lain, serta -- logisnya -- produksi telur dan susu. Yang khas ialah, sementara zakat peternakan diterakan aturan-aturannya tersendiri, khusus untuk unggas dan produksinya dipakai aturan zakat perdagangan yang sudah disebut. Juga madu. Juga industri dan perdagangan kayu. Buku Departemen Agama itu memang tak hendak mempersoalkan, mengapa, misalnya, zakat seorang pemegang HPH dengan begitu lebih kecil dari yang dibayarkan seorang petani. Apa yang dirumuskan memang bukan "berdasar keinginan". Setidaknya tetap berangkat dari aturan pokok warisan Nabi sendiri, dengan pengembangan "ke segala arah" berdasar prinsip qias, analogi dan untuk itu disaring pendapat dari berbagai mazhab dan ulama besar terpandang. Begitu juga rumusan tersebut tidak jelas-jelas mewajibkan zakat harta simpanan berupa tanah atau gedung, baik rumah -- yang tak ditempati sendiri, dan tak disewakan maupun villa. Soalnya, agaknya, bahkan dalam satu buku zakat yang termasuk "maju", terbitan 1952 -- Perbendaharaan Zakat oleh Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy -- disebut "kesepakatan ulama" bahwa segala harta yang dibendaharakan saja" tak ada zakatnya. Termasuk rumah dan tanah. Barangkali, khusus untuk tanah, karena di segi lain terdapat hadis bahwa tanah yang disimpan saja, alias tidak produktif, hapus hak pemilikannya setelah tiga tahun. BAZIS DKI Jakarta sebenarnya juga sudah mengeluarkan buku pedoman untuk dipakai sendiri -- cetakan ketiga 1981. Toh di situ tanah hanya disebut dalam hubungan dengan niaga -- sebagai aktiva tetap, seperti juga gedung -- dengan zakat hanya 2«% sekali selama-lamanya. Berbeda denga aktiva lancar yang 2«% tiap tahun. Tapi bila simpanan emas dizakati per tahun, kenapa simpanan tanah tidak? H. Muhda Hadisaputro, S.H., yang mengetuai Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf Departemen Agama dan yang bersama Kiai Syukri menjadi anggota tim penyusun naskah buku yakin bahwa rumah dan tanah yang dimaksud itu wajib dizakati 2«% tiap tahun. "Juga villa". "Dan itulah risiko menimbun harta. Karena dalam Islam kekayaan harus diputarkan." Ini kata K.H. E.Z. Muttaqin, juga ketua Majelis Ulama Indonesia, kepada TEMPO. Dengan kata lain, pasar harus dihidupkan. Seorang ulama dari Pekajangan, Pekalongan, Ustadz Abdul Qowi Thalib, karenanya memberi nasihat: "Tanamilah tanah yang hanya dikurung itu, atau suruhlah orang lain. Jadi penduduk sekitar bisa turut mengecap, dan zakatnya hanya dari hasil tanaman dan bukan dari harga tanah." Juga rumah yang disewakan -- punya fungsi ekonomi dibayarkan zakatnya hanya dari harga sewa, per tahun. Berbagai variasi pendapat memang ada. K.H. A.R. Fakhruddin, misalnya, yakin bahwa bila rumah atau tanah itu harta warisan, dan mencapai batas minimal, zakatnya sama dengan rikaz atau barang temuan -- dan hanya sekali selama-lamanya. Dalam pada itu K.H. Anas Thohir Syamsuddin, dari Lajnah Zakat Nahdlatul Ulama Surabaya -- yang pernah menggunakan uang zakat untuk membeli becak dan dibagikan pada para penganggur -- mengemukakan pendapat yang juga berbeda untuk hal lain: deposito di bank. Bila bank memang mau diterima, zakat deposito sama dengan zakat hasil pertanian yang tidak disiram": 10% Lain tentunya, bila uang disertakan dalam kerja berwujud saham. Zakatnya hanya 2,5 dari dividen dalam setahun. Satu hal sudah pasti: sambutan dari sana-sini itu menunjukkan kesediaan untuk berubah. Sementara ini pedoman Departemen Agama sendiri memang belum sampai ke tingkat difatwakan, misalnya oleh MUI. "Masih menunggu dulu, karena akan berkaitan dengan pandangan para ulama lain," kata Syukri Ghozali. "Jadi sementara, siapa yang mau pakai, silakan." Tapi bagi Fakhruddin, misalnya, sudah jelas: pedoman itu "harus disebarluaskan". Departemen Agama, seperti dikatakan Muhda, sudah menatar para ahli zakat yang nantinya akan disebarkan. Buku hijau yang diterbitkan itu akan dibagikan ke kantor-kantor KUA sampai tingkat paling bawah. Juga pendekatan lebih langsung dengan golongan-golongan Islam. "Kalau semuanya tidak terhalang," katanya, "saya tak bisa membayangkan. Betapa besarnya efek zakat nantinya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus