Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mereka yang frustasi

Pengarang: cornelis van dijk jakarta: grafiti, 1983 resensi oleh: nazaruddin sjamsuddin. (bk)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARUL ISLAM: SEBUAH PEMBERONTAKAN Oleh: Cornelis van Dijk Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 409 halaman. DALAM bukunya yang berjudul Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Cornelis van Dijk menyorot dengan kritis gerakan Darul Islam yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh, masing-masing dalam satu bab yang cukup tebal. Selain itu dia juga membahas tentang Islam dan sepak terjang Kartosuwiryo, pencetus gerakan Darul Islam itu, dalam kepolitikan Indonesia pada masa pra-pemberontakan. Akhirnya, dalam satu bab tersendiri pula, van Dijk berusaha menjelaskan mengapa rakyat mendukung pemberontakan yang meluas itu. Salah satu pertanyaan utama yang diajukan van Dijk ialah mengapa gerakan Darul Islam itu sampai terjadi. Jawaban yang diketemukannya ialah berupa dua faktor yang saling berhubungan, yang berkisar di seputar peristiwa-peristiwa pada masa revolusi dan sesudahnya. Faktor pertama, adanya kebencian akan bertambahnya pengaruh Tentara Republik. Kedua, bertambahnya pengawasan Pemerintah Republik atas provinsi-provinsi (halaman 321). Pertanyaan di atas dihubungkannya dengan pertanyaan lain: mengapa rakyat mendukung Darul Islam? Jawabannya merupakan kombinasi daripada kedua faktor terdahulu dengan dua faktor berikut ini: norma/nilai yang berubah mengenai pemilikan tanah, dan peranan yang dimainkan oleh agama (halaman 323). Mengemukakan keempat faktor ini van Dijk dengan sengaja mengabaikan peranan pemimpin masyarakat seperti yang diteliti oleh Karl D. Jackson (Traditional Authority, Islam, and Rebellion, 1980). Meskipun van Dijk benar bahwa kita tidak boleh mengabaikan faktor-faktor ekonomis dari kehidupan masyarakat, toh peranan yang dimainkan oleh para pemimpin di dalam masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistis ini tetap merupakan suatu faktor utama. Para pemimpin bertindak baik sebagai pencetus pemberontakan maupun penyebab mengalirnya dukungan bagi Darul Islam. Kondisi-kondisi masyarakat mungkin hanya merupakan faktor penunjang yang memudahkan para pemimpin untuk memainkan peranan mereka. Apabila peranan pemimpin diabaikan, lantas bagaimana kita akan dapat menjelaskan kenyataan bahwa pemberontakan-pemberontakan itu berakhir setelah para pemimpin menghentikan perlawanan mereka? Padahal ketika pemberontakan-pemberontakan itu berakhir, kondisi ekonomis masyarakat setempat belum berubah secara fundamental dibandingkan dengan masa sebelum pemberontakan meletus. Saya kira di sinilah letak salah satu kelemahan van Dijk. Dia berteori tentang sebab timbulnya pemberontakan tanpa berusaha untuk mengaplikasikan teori tersebut kepada berakhirnya pemberontakan itu. Meluasnya pengaruh Pemerintah Pusat memang dapat menjelaskan timbulnya Darul Islam di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, atau Aceh. Tapi tidak untuk kasus Jawa Barat. Di Jawa Barat, Darul Islam justru timbul ketika wibawa Pemerintah Republik sedang menipis. Karena itu mungkin adalah lebih tepat untuk menghubungkan yang terakhir ini dengan peranan Kartosuwiryo sendiri. Karier politik Kartosuwiryo di masa kolonial, sebagaimana juga diakui van Dijk, diwarnai oleh sikap non-koperasi yang kaku. Karena itu proklamasi kemerdekaan Indonesia disambutnya dengan gembira. Buktinya, dia terlibat di dalam beberapa jabatan penting pada masa itu. Barangkali, sikap non-koperasi inilah yang membuat dia sangat kecewa ketika Republik menerima Perjanjian Linggarjati. Ia menjadi frustrasi ketika Linggarjati yang dilanggar oleh Belanda sendiri kemudian diperbaharui dengan Perjanjian Renville. Ia lebih frustrasi lagi ketika Masyumi, partainya ketika itu, yang semula menentang Renville kemudian terpaksa menerimanya. Mungkin frustrasi yang tak tertahankan itu telah menyebabkan ia mencetuskan Darul Islam. Dalam bahasan yang begitu mendetil tentang gerakan Darul Islam di beberapa daerah, pembaca diberi kesan seakan-akan pejuang-pejuang Islam telah bersatu di dalam pemberontakan ini. Namun van Dijk tidak berhasil mengungkapkan bagaimana sebenarnya hubungan antara Jawa Barat dengan daerah-daerah lain. Dia memang berbicara tentang hubungan Jawa Barat dengan Sulawesi Selatan (halaman 175), Kalimantan Selatan (halaman 248), dan Aceh (halaman 283-4), tapi tidak lebih dari kontak-kontak yang terjadi pada masa awal pemberontakan di masing-masing daerah itu. Hal ini tentu saja menimbulkan kesan yang jelek mengenai organisasi Darul Islam itu, dan juga seakan-akan hubungan yang ada hanyalah dalam persamaan nama belaka. Ketidakberhasilannya juga memberi kesan seakan-akan tidak ada perbedaan paham yang hakiki ataupun tak ada konflik di dalam gerakan Darul Islam. Atau, barangkali, pemberontak-pemberontak itu telah "sepakat" untuk tidak mempersoalkan masalah intern sampai kemenangan tercapai? Nyatanya, itu pun tidak juga demikian. Ada segudang masalah yang memusingkan tokoh-tokoh Darul Islam terutama di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Pilihan antara negara federal dan kesatuan, masalah keorganisasian, dan cara-cara perjuangan adalah masalah-masalah yang mereka bicarakan, baik melalui surat maupun utusan yang saling berkunjung antara pusat dan daerah. Hubungan-hubungan ini berlangsung sampai kira-kira tahun 1959, dan di dalamnya cukup tercermin ketegangan serta konflik. Jelas bahwa Darul Islam pun mengalami konflik yang klasik buat kita: hubungan pusat dan daerah. Kendati demikian, dengan segala kelemahannya, tak syak lagi bahwa van Dijk telah mendokumentasikan suatu pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah yang terpisah-pisah ke dalam satu buku yang utuh. Dalam pandangan saya ini merupakan sumbangan utama van Dijk dan kita selayaknyalah menghargainya. Sumbangan lain yang tidak pula kurang artinya ialah bahwa buku ini telah memungkinkan kita untuk mengkaji pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah secara mendetil sekali. Yang terakhir ini membawa kita kepada pemahaman kehidupan dan tingkah laku politik masyarakat Islam di daerah-daerah yang bersangkutan. Nazaruddin Sjamsuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus