DARUL ISLAM: SEBUAH PEMBERONTAKAN
Oleh: Cornelis van Dijk
Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 409 halaman.
DALAM bukunya yang berjudul Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,
Cornelis van Dijk menyorot dengan kritis gerakan Darul Islam
yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, dan Aceh, masing-masing dalam satu bab yang
cukup tebal. Selain itu dia juga membahas tentang Islam dan
sepak terjang Kartosuwiryo, pencetus gerakan Darul Islam itu,
dalam kepolitikan Indonesia pada masa pra-pemberontakan.
Akhirnya, dalam satu bab tersendiri pula, van Dijk berusaha
menjelaskan mengapa rakyat mendukung pemberontakan yang meluas
itu.
Salah satu pertanyaan utama yang diajukan van Dijk ialah mengapa
gerakan Darul Islam itu sampai terjadi. Jawaban yang
diketemukannya ialah berupa dua faktor yang saling berhubungan,
yang berkisar di seputar peristiwa-peristiwa pada masa revolusi
dan sesudahnya. Faktor pertama, adanya kebencian akan
bertambahnya pengaruh Tentara Republik. Kedua, bertambahnya
pengawasan Pemerintah Republik atas provinsi-provinsi (halaman
321). Pertanyaan di atas dihubungkannya dengan pertanyaan lain:
mengapa rakyat mendukung Darul Islam? Jawabannya merupakan
kombinasi daripada kedua faktor terdahulu dengan dua faktor
berikut ini: norma/nilai yang berubah mengenai pemilikan tanah,
dan peranan yang dimainkan oleh agama (halaman 323).
Mengemukakan keempat faktor ini van Dijk dengan sengaja
mengabaikan peranan pemimpin masyarakat seperti yang diteliti
oleh Karl D. Jackson (Traditional Authority, Islam, and
Rebellion, 1980). Meskipun van Dijk benar bahwa kita tidak boleh
mengabaikan faktor-faktor ekonomis dari kehidupan masyarakat,
toh peranan yang dimainkan oleh para pemimpin di dalam
masyarakat Indonesia yang bersifat paternalistis ini tetap
merupakan suatu faktor utama. Para pemimpin bertindak baik
sebagai pencetus pemberontakan maupun penyebab mengalirnya
dukungan bagi Darul Islam.
Kondisi-kondisi masyarakat mungkin hanya merupakan faktor
penunjang yang memudahkan para pemimpin untuk memainkan peranan
mereka. Apabila peranan pemimpin diabaikan, lantas bagaimana
kita akan dapat menjelaskan kenyataan bahwa
pemberontakan-pemberontakan itu berakhir setelah para pemimpin
menghentikan perlawanan mereka? Padahal ketika
pemberontakan-pemberontakan itu berakhir, kondisi ekonomis
masyarakat setempat belum berubah secara fundamental
dibandingkan dengan masa sebelum pemberontakan meletus. Saya
kira di sinilah letak salah satu kelemahan van Dijk. Dia
berteori tentang sebab timbulnya pemberontakan tanpa berusaha
untuk mengaplikasikan teori tersebut kepada berakhirnya
pemberontakan itu.
Meluasnya pengaruh Pemerintah Pusat memang dapat menjelaskan
timbulnya Darul Islam di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan,
atau Aceh. Tapi tidak untuk kasus Jawa Barat. Di Jawa Barat,
Darul Islam justru timbul ketika wibawa Pemerintah Republik
sedang menipis. Karena itu mungkin adalah lebih tepat untuk
menghubungkan yang terakhir ini dengan peranan Kartosuwiryo
sendiri. Karier politik Kartosuwiryo di masa kolonial,
sebagaimana juga diakui van Dijk, diwarnai oleh sikap
non-koperasi yang kaku. Karena itu proklamasi kemerdekaan
Indonesia disambutnya dengan gembira. Buktinya, dia terlibat di
dalam beberapa jabatan penting pada masa itu.
Barangkali, sikap non-koperasi inilah yang membuat dia sangat
kecewa ketika Republik menerima Perjanjian Linggarjati. Ia
menjadi frustrasi ketika Linggarjati yang dilanggar oleh
Belanda sendiri kemudian diperbaharui dengan Perjanjian
Renville. Ia lebih frustrasi lagi ketika Masyumi, partainya
ketika itu, yang semula menentang Renville kemudian terpaksa
menerimanya. Mungkin frustrasi yang tak tertahankan itu telah
menyebabkan ia mencetuskan Darul Islam.
Dalam bahasan yang begitu mendetil tentang gerakan Darul Islam
di beberapa daerah, pembaca diberi kesan seakan-akan
pejuang-pejuang Islam telah bersatu di dalam pemberontakan ini.
Namun van Dijk tidak berhasil mengungkapkan bagaimana sebenarnya
hubungan antara Jawa Barat dengan daerah-daerah lain. Dia
memang berbicara tentang hubungan Jawa Barat dengan Sulawesi
Selatan (halaman 175), Kalimantan Selatan (halaman 248), dan
Aceh (halaman 283-4), tapi tidak lebih dari kontak-kontak yang
terjadi pada masa awal pemberontakan di masing-masing daerah
itu. Hal ini tentu saja menimbulkan kesan yang jelek mengenai
organisasi Darul Islam itu, dan juga seakan-akan hubungan yang
ada hanyalah dalam persamaan nama belaka.
Ketidakberhasilannya juga memberi kesan seakan-akan tidak ada
perbedaan paham yang hakiki ataupun tak ada konflik di dalam
gerakan Darul Islam. Atau, barangkali, pemberontak-pemberontak
itu telah "sepakat" untuk tidak mempersoalkan masalah intern
sampai kemenangan tercapai?
Nyatanya, itu pun tidak juga demikian. Ada segudang masalah yang
memusingkan tokoh-tokoh Darul Islam terutama di Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Aceh. Pilihan antara negara federal dan
kesatuan, masalah keorganisasian, dan cara-cara perjuangan
adalah masalah-masalah yang mereka bicarakan, baik melalui surat
maupun utusan yang saling berkunjung antara pusat dan daerah.
Hubungan-hubungan ini berlangsung sampai kira-kira tahun 1959,
dan di dalamnya cukup tercermin ketegangan serta konflik. Jelas
bahwa Darul Islam pun mengalami konflik yang klasik buat kita:
hubungan pusat dan daerah.
Kendati demikian, dengan segala kelemahannya, tak syak lagi
bahwa van Dijk telah mendokumentasikan suatu pemberontakan yang
terjadi di beberapa daerah yang terpisah-pisah ke dalam satu
buku yang utuh. Dalam pandangan saya ini merupakan sumbangan
utama van Dijk dan kita selayaknyalah menghargainya. Sumbangan
lain yang tidak pula kurang artinya ialah bahwa buku ini telah
memungkinkan kita untuk mengkaji pemberontakan yang terjadi di
beberapa daerah secara mendetil sekali. Yang terakhir ini
membawa kita kepada pemahaman kehidupan dan tingkah laku politik
masyarakat Islam di daerah-daerah yang bersangkutan.
Nazaruddin Sjamsuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini