Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sang garuda, bebek, ayam horn

Seluruh binatang di hutan dibuat pusing oleh kemuatan sang garuda, raja mereka. yang tak pusing adalah sebagian hewan kecil yang dekat dengan garuda. misalnya burung beo, cucak rowo atau bunglon.

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELURUH binatang di hutan pusing oleh kelakuan sang garuda raja mereka. Yang tak pusing cuma sebagian kecil hewan yang dekat dengan sang garuda. Misalnya burung beo, cucak rowo, atau bunglon. Dulu musang yang pakai bulu ayam juga bikin pusing. Tapi sekarang sudah berkurang -- terutama karena bulu musang sendiri lama-lama menjadi terasa indah dan ternyata menyenangkan. Kenapa pusing, pokok soalnya ialah kebijaksanaan sang garuda yang cenderung memperbanyak jumlah peternakan bebek dan ayam horn. Ini berbahaya. Sebab kalau populasi bebek terus meningkat, bangsa binatang kelak bisa benar-benar kehilangan watak. Tiap hari dan malam di seantero hutan hanya akan terdengar suara wekwekwekwekwek tanpa henti. Dan karena akhirnya bebek menjadi mayoritas pendidik, maka barang siapa tak bisa mengucapkan wekwekwekwekwek pasti malang nasibnya. Apalagi kalau bebek selalu memperoleh tempat utama di hati sang garuda maupun di semua sendi pemerintahannya. Lebih celaka lagi kalau Dewan Perwakilan Binatang dan Badan Pengadilan Binatang ternyata terdiri dari bebek-bebek juga. Sebab sudah menjadi hukum sejarah hutan mana pun. Mereka tak mampu, bahkan memang akhirnya kurang bersedia memegang kedaulatan penduduk hutan dalam arti yang sebenarnya. Kesiapan mereka justru hanya untuk menjadi pekatik sang garuda. Dan untuk itu, raja yang jeli otaknya, yang tahu persis keadaan mental para bebek, cukuplah menyediakan bagi mereka kandang-kandang yang beralaskan permadani, pedati-pedati yang terbuat dari perak dan emas, serta rajin membawa bebek-bebek itu ke sungai susu, dan di sana para bebek itu ramai-ramai makan bekicot, kecebong, ulat, katak atau binatang-binatang kecil lain. Dengan begitu maka para bebek akan senantiasa mematuhi kehendak sang garuda. Jika ditanya: "Setuju, Saudara-saudara?" maka mereka menjawab serentak "Wekwekwekwekwek" sampai bergaung ke seluruh hutan. Kemudian, ayam horn. Ini tipikal binatang abad pintar hasil impor sang garuda dari hutan seberang. Jenis binatang yang bukan ciptaan 'murni' Dewa Binatang, melainkan buah persilangan teknologis: tak diperlukan kehadirannya sebagai ia, melainkan sekadar untuk diperas telurnya serta disembelih. Jadinya ia termasuk jenis binatang yang menyebalkan. Terlalu manja, ringkih badan maupun jiwanya. Harus selalu enak makan, mudah diserang penyakit, tak mampu bertarung, dan gampang mati. Dengan satu sentuhan kecil dari sesuatu yang asing, ia pingsan. Karena itu ia senantiasa perlu dilindungi dari angin, atau sentuhan tangan yang bukan tangan tuannya. Bahkan dipilihkan ruang yang khusus dan tersembunyi. Sebab kalau sampai ia berada di jalanan umum, cacing-cacing pun dengan gagah akan menyerbu dan menyergapnya. Atau kalau selamat, ia justru bisa terdidik jadi ayam kampung yang suka bandel. Toh umumnya ayam horn takut membayangkan dirinya menjadi ayam kampung: terlalu spekulatif dalam cari makan, sehingga hari depan kurang terjamin. Padahal ayam horn ini sungguh-sungguh tak tahan lapar. Takut melarat. Dan amat suka bersolek. Maka demi segala kehidupan dan kematian, tidaklah sekali-kali Dewa Hutan pernah menghendaki lahirnya jenis binatang begini, binatang yang tak hewani ini. Sungguh memalukan. Semua pepohonan, air, dan tanah, pasti ikut merasa wirang. Bahkan langit pun, lihatlah, segera memalingkan wajah. Namun dalam keprihatinannya, penduduk hutan juga menyadari bahwa kesalahan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada ayam horn. Mereka hanya pihak yang dirancang, dicetak, dan digiring. Mereka sekadar kelemahan yang dimanfaatkan, keterpaksaan yang dieksploitasi, kerendahan yang diinjak-injak. Adapun yang paling menyedihkan dari ayam horn ialah bahwa mereka sendiri tak menyadari keadaan mereka. Sehingga tak merasa perlu memberontak dari keadaannya. Tentu bukan salah bunda mengandung. Melainkan salah Sejarah, yakni ibu tirinya. Seluruh binatang hutan pusing oleh kelakuan sang garuda, raja mereka. Yang tak pusing cuma sebagian kecil hewan yang dekat dengan sang garuda. Misalnya burung beo, cucak rowo, atau bunglon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus