Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang siswa SMAN 1 Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, bernama Fajar Nugroho tewas usai diceburkan oleh teman-temannya di kolam, Senin, 8 Juli 2024. Ketua OSIS di sekolahnya itu sedang melakukan kegiatan di sekolah dan salah seorang temannya ingat hari itu ulang tahun Fajar. Sebelum diangkat dan diceburkan ke kolam, Fajar terlebih dulu diberi tepung oleh empat temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat berada di kolam, Fajar mengaku kakinya kram sehingga tiga teman yang lain menolongnya. Padahal, ia sebenarnya tidak kram melainkan kesetrum. Bahkan, salah seorang temannya yang berusaha menolong juga terkena setrum namun masih bisa bergerak. Sementara teman lainnya yang bisa keluar dari kolam segera mematikan saklar listrik kolam. Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Tri Wuryaningsih, mengatakan tewasnya Fajar usai diceburkan ke kolam mencerminkan anak-anak belum bisa berpikir jauh atas risiko perbuatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sekarang ini memang banyak yang merayakan ulang tahun temannya dengan memberi kejutan-kejutan. Sebenarnya tidak apa-apa kasih kejutan kalau itu tidak membahayakan, berikan kejutan yang menyenangkan," kata Tri, Selasa, 9 Juli 2024.
Jika kejutan tersebut diberikan dengan menceburkan ke kolam, hal itu justru membahayakan karena belum anak yang berulang tahun bisa berenang atau mengalami sesuatu yang berisiko pada dirinya. Menurutnya, anak-anak yang menceburkan temannya ke kolam itu belum bisa berpikir jauh mengenai risiko tindakan mereka.
"Pola pikir anak-anak memang belum antisipatif, belum bisa mempertimbangkan risiko apa yang akan terjadi dari tindakan itu, akibat-akibat apa yang akan ditimbulkan," jelas Ketua Forum Komunikasi Keadilan dan Kesetaraan Gender Kabupaten Banyumas itu.
Kejutan yang bermanfaat
Menurutnya, anak-anak dalam memberikan kejutan pada teman yang berulang tahun sering kali terinspirasi tayangan di media sosial. Dia mengatakan anak-anak belum bisa mencerna tayangan-tayangan tersebut sehingga menganggapnya sebagai sesuai yang lain dan mengasyikkan namun tidak bisa memprediksi akibat apa yang akan terjadi.
Karena itu, anak-anak harus diarahkan untuk melakukan hal-hal positif, termasuk merayakan ulang tahun teman. Dalam hal ini, anak-anak butuh bimbingan guru dan orang tua beserta keluarga dengan dididik untuk memberikan kejutan ulang tahun yang bermanfaat dan tidak membahayakan.
"Artinya, nge-prank (memberi kejutan) itu jangan yang membahayakan karena ciri khas anak itu belum bisa berpikir panjang mengenai apa risikonya, apa akibatnya, sehingga butuh bimbingan dari guru, orang tua, dan keluarga," paparnya.
Dia mengakui semua itu ada masanya karena orang tua saja kadang-kadang kalau tidak pernah menghadapi situasi atau gemblengan maupun tidak punya pemikiran yang panjang juga dapat berbuat seperti anak-anak. Dia pun mencontohkan kasus penganiayaan di Bandung pada t2011 yang dilakukan secara tidak sengaja oleh seorang satpam terhadap seorang mahasiswi karena berdandan seperti suster ngesot untuk memberi kejutan kepada temannya yang berulang tahun.
"Itu terjadi di Bandung, jadi nge-prank-nya sudah keterlaluan, melewati batas-batas kewajaran," katanya.
Berkaitan dengan Hari Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli, dia mengharapkan bimbingan orang tua beserta keluarga maupun guru perlu digalakkan kembali untuk mengarahkan tindakan-tindakan anak lebih kepada hal-hal positif.
"Misalnya, hadiah ulang tahun itu jangan pakai nge-prank, cukup dikasih kejutan apa tetapi yang sifatnya tidak membahayakan jiwa. Kalau ulang tahun, berikan kejutan yang positif, yang mendidik," tegas Tri.
Pilihan Editor: Saran Psikolog agar Anak Mudah Beradaptasi di Sekolah Baru