MENTERI Kesehatan dr. M. Adhyatma, M.P.H. sudah mengerek bendera perang. Dengan paket deregulasi yang akan diumumkan dalam waktu dekat, departemen yang dipimpinnya akan membongkar segala benalu penyebab kemahalan harga obat. Deregulasi ini dipastikan oleh Menteri, dalam jumpa pers menjelang muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dua pekan lalu di Surabaya. Arah kebijaksanaan yang akan ditempuhnya sudah jelas. Produksi, distribusi, dan perizinan mengedarkan obat nampaknya akan ditata kembali. Bea masuk bahan baku obat, yang selama ini dikeluhkan produsen sebagai penyebab mahalnya harga obat, akan dihapuskan. Hal lainnya ialah mengurangi jumlah merk obat yang kini mencapai 12.000 merk itu. "Kalau kita lihat Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), hanya ada 250 jenis obat," tutur Adhyatma. "Dengan obat-obat itu, sekitar 90% penyakit di Indonesia bisa diatasi." Kunci lain dalam rencana menurunkan harga obat itu ialah meluaskan pemakaian obat generik. Targetnya adalah obat generik bisa memenangkan persaingan dan para dokter mau menulis resep obat dengan nama generiknya. Lagi pula, sebenarnya sebagian besar dari 250 jenis obat yang tercantum dalam DOEN adalah obat generik. Dan Adyatma yakin, dengan pemakaian obat generik secara luas, harga obat benar-benar bisa turun. Tapi diingatkannya, pihak pabrik obat tak akan dirugikan. Ia mengambil contoh Bangladesh, yang mengurangi jumlah obat secara drastis: dari 7.000 menjadi hanya 1.400. Sementara itu, Filipina memberlakukan UU Penggunaan Obat Generik yang cukup keras -- ada pasal yang menyebutkan bahwa dokter yang tidak bersedia meresepkan obat generik bisa dipidana. Jelas, policy Filipina lebih tegas dari Indonesia. Kita tampaknya belum akan sejauh itu. Namun, pembatasan jumlah obat agaknya tak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini sampa terjadi karena dulu perizinan obat dar Ditjen POM Depkes, kabarnya, sangat longgar. Menurut seorang pakar ilmu kesehatan yang tak mau disebutkan namanya sekitar 10% dari 12.000 merk obat yang beredar adalah obat-obat yang tidak efektif "Cuma placebo atau obat-obat yang tidak ada isinya," katanya. Konsekuensi dari berlebihannya jumlah obat adalah persaingan yang tidak sehat. Hal ini menjangkit ke kalangan dokter -- antara lain karena adanya pelicin dan komisi yang disodorkan oleh pabrik-pabrik obat kepada mereka. Paling tidak, memberikan hadiah dengan merk obat tercantum di atasnya. Tujuannya agar para dokter, yang tak mungkin menghafal 12.000 merk obat, mengingat merk tertentu saja -- dan yang teringat tentu yang hadiahnya istimewa. Deregulasi ini besar kemungkinan akan didukung oleh standar mutu obat yang tinggi. Standar ini tercantum pada CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) mengikuti konsep Good Manufacturing Practice. Dengan demikian, untuk setiap jenis obat (antibiotik, penurun panas, obat penenang, dan sebagainya) hanya merk-merk terbaik yang diperbolehkan beredar. Dampaknya akan besar sekali terhadap sektor produksi obat. Menurut para pakar, jumlah industri obat di Indonesia sudah sangat berlebih. Tercatat 247 produsen obat PMDN (mengeluarkan 10.477 merk) dan 40 PMA (memproduksi 2.D00 merk). Sebuah sumber yang layak dipercaya menyatakan, sekitar 40% dari industri farmasi yang berstatus PMDN, merupakan perusahaan yang tidak sehat. Mereka baru berproduksi bila ada tender dari lembaga pemerintah. Buruknya posisi PMDN terlihat dari perbandingan total omset mereka dengan PMA. Pada catatan Ditjen POM, pangsa 247 industri PMDN itu dalam total penjualan obat hanya Rp 347 milyar setahun. Sementara itu, PMA, yang jumlahnya hanya 40, mampu meraih omset sampai Rp 330 milyar setahun. Dikhawatirkan juga, obat yang diproduksi perusahaan-perusahaan PMDN ini kurang bisa dijamin mutunya. Jepang dan India berhasil mengontrol lalu lintas perdagangan obatnya bukan dengan membatasi jumlah merk obat seperti Bangladesh, tapi mengurangi industri obatnya. Adapun penghapusan bea masuk memang baik, tapi dalam pelaksanaannya kita perlu waspada. Mengapa? Sementara ini, PMA, yang umumnya perusahaan multinasional mendatangkan bahan bakunya dari industri induk, sementara PMDN membelinya dari spot market -- harganya lebih murah. Kim masih dipertanyakan, mengapa harga transfer bahan baku dari industri induk ke PMA lebih tinggi dari harga di spot market. Bisa jadi, mahalnya bahan baku obat bukan hanya karena bea masuk, tapi karena perusahan induk PMA menetapkan harga transfer yang terlalu tinggi. Dan kebijaksanaan harga PMA harus disoroti, karena harga produk mereka senantiasa menjadi price leader. Di samping dereulasi, Menteri Adhyatma juga akan meregulasi. Tujuan utamanya: meningkatkan omset obat-obat generik. Obat generik adalah obat asli yang tidak ditambahi zat aktif lainnya. Ampicilin, misalnya, nama generik bagi antibiotik. Sementara itu, antibitok yang sudah ditambahi macam-macam bisa muncul dengan nama Penbritin, Totacillin, Tetracycline, dan sebagainya. Obat generik umumnya lebih murah dari variannya. Sarana kesehatan yang langsung terkena regulasi obat generik ini nampaknya rumah sakit pemerintah. "Formularium yang dimiliki setiap rumah sakit bisa digunakan untuk memasyarakatkan obat yang terjangkau," kata Menteri. Di masa kini, pembelian obat di rumah sakit pemerintah nyaris tidak diatur, baik dropping dari Depkes maupun yang dibeli sendiri. Karena itu, sangat mungkin yang terbeli justru obat mahal. Padahal, andil pembelian obat sarana pemerintah ini cukup besar -- menyerap 24,4% dari jumlah total obat yang beredar. Namun, perluasan pemakaian obat generik ini bukannya tanpa masalah. Obat bermerk, secara umum, lebih baik dari obat generik. Misalnya, dalam penyerapan dan reaksi alergis. Sejumlah farmakolog malah berpendapat, kualitas obat generik sering kali meragukan, karena sebagian besar diproduksi oleh BUMN. Inilah sebabnya mengapa obat generik kalah bersaing dengan obat-obat bermerk. Namun, menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, dalam waktu dekat, Menteri juga akan menyehatkan manajemen industri farmasi yang berstatus BUMN itu. Bila kelak kondisinya sehat, BUMN bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol lalu lintas perdagangan obat. Termasuk menekan harga obat. Jim Supangkat (Jakarta), Herry Mohammad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini