Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Konflik pertiwi

Pemimpin redaksi majalah pertiwi dipecat. sebagian besar karyawan & wartawan majalah pertiwi resah. sebagian masa kerja karyawan dihapus & perusahaan merugi. beberapa karyawan mengadu ke deppen, pwi.

10 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI negari ini, uang Rp10.000 saja bisa jadi bahan sengketa, apalagi pesangon belasan tahun kerja. Pasti timbul keresahan, seperti yang kini melanda sebagian besar karyawan dan wartawan majalah wanita Pertiwi. Mereka sangat cemas, karena Direksi PT Gema Nawa Pratasa (GNP -- penerbit Pertiwi -- mengeluarkan SK Nomor 192/DU/GNP/X/88, yang jelas-jelas menyatakan bahwa nesangon mereka dihitun hanya dari Mei 1986. Maksudnya? Ya, pesangon itu dihitung dari masa kerja di Pertiwi saja. Padahal, sebagian besar karyawan Pertiwi dulunya bekerja di majalah Kartini. Dan Direksi GNP, melalui surat pengangkatan pada setiap eks Kartini, telah menetapkan bahwa masa kerja mereka di tempat lama juga akan dihitung. Kisruh terjadi bukan semata karena pesangon yang akan disunat, kalau PHK terjadi, tapi lebih dari itu, karena janji yang merupakan manifestasi solidaritas masa lampau -- baru 2,5 tahun berselang -- sudah luntur. Mungkin karena Pertiwi, yang awalnya seperti menaburkan harapan indah, ternyata mengandung banyak masalah. Dalam waktu singkat, Pertiwi segera punya "adik", yakni bulanan Suasana. Sementara itu, jumlah karyawan bertambah. Ekspansi yang terlalu cepat dan kurang diperhitungkan itu mungkin saja merupakan satu dari beberapa sumber bencana. Tak heran bila per Desember 1987, Pertiwi, yang beroplah 66.000 eksemplar, sudah merugi Rp1,5 milyar. Kembali ke soal pesangon, sebagian karyawan yapg terbilang berani telah mengambil inisiatif untuk berdialog dengan direksi. Sayang, tanpa hasil. Direksi tak mau mundur dari SK 192, sementara karyawan juga ngotot. Karena buntu, akhirnya 35 karyawan redaksi dan non-redaksi melakukan unjuk rasa. Mereka menyatakan keberatan pada Dewan Komisaris, para pemegang saham, PWT, dan Deppen. Mereka mengeluarkan pernyataan, yang intinya menegaskan bahwa keputusan direksi sangat tidak layak. Apalagi mereka merasa bukan karyawan biasa, tapi orang-orang eks Kartini, yang bersama-sama ikut mendirikan Pertiwi. Mengapa direksi harus menghapus masa kerja, yang bukan saja tidak manusiawi, tapi juga bertentangan dengan UU Perburuhan? Sebelum pertanyaan ini terjawab, timbul masalah baru yang tidak kurang dramatisnya. Pmimpin Redaksi Pertiwi, Karnel Oemar Purba, dipecat oleh Pemimpin Umum Pertiwi, Willy Risakota. Dari kasus ini, jelas sudah bahwa sebagai teman seperjuangan, Karnel dan Willy tak selalu bisa seiring sejalan. Kendati dulu sama-sama keluar dari Kartini dan memperjuangkan Pertiwi, pemecatan harus terjadi juga. Mungkin ini pertama kali, seorang pemred dipecat oleh pemimpin umum. Dalam surat "pembebasan tugas", yang diteken Willy Risakota sebagai Dirut GNP, ada disebutkan bahwa Karnel tak lagi mampu melaksanakan tugasnya sebagai Pemred. Selain itu, ia juga dianggap telah mempengaruhi para wartawan untuk tidak disiplin. Karnel bahkan dituduh membocorkan rahasia perusahaan. Singkat kata, Pemred tak bisa lagi bekerja sama dengan pimpinan lainnya. Semua tuduhan dibantah keras oleh Karnel. Menurut dia, tak satu pun rahasia perusahaan yang dibocorkan. Begitu pula soal mempengaruhi wartawan. "Hubungan kami di antara sesama redaksi memang sangat akrab. Tapi tidak berarti saya mempengaruhi wartawan," ujarnya. Satu hal diakuinya, yakni kerja sama dengan direktur yang lain kurang -- Karnel adalah direktur produksi. "Habis, bagaimana bisa bekerja sama? Saya dikucilkan dan tidak pernah diajak rapat sekali pun," tangkisnya. Dengan adanya kasus pemecatan, maka untuk kedua kalinya Direksi GNP bertindak keliru. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka seorang pemimpin redaksi tidak bisa dipecat oleh pemimpin umum, kecuali rapat pemegang saham menetapkan demikian, di samping PWI dan Menteri Penerangan merekomendasikan keputusan yang serupa. Dalam kasus pemecatan Karnel, ketiga syarat itu tidak dipenuhi oleh direksi. Dewasa ini, kesibukan di Pertiwi masih berlangsung seperti biasa, kendati suasananya agak mencekam. Tapi di sektor manajemen, suasana mencekam sudah terasa sejak awal tahun ini. Ketika itu, karyawan nonredaksi, yang jumlahnya di atas 150 orang itu, dianggap terlampau banyak -- redaksi hanya 20 orang. Lalu, 17 karyawan di-PHK-kan. Menyusul setelah itu tanggal 3 Oktober 1988, 30 karyawan iagi dirumahkan. Dalam acara "pelepasan" itu, Direksi GNP ada menyatakan, kendati di-PHK, "Kalian masih termasuk yang beruntung." Lho, kenapa? Sebab, pada "kloter" berikutnya, korban PHK tak akan mendapatkan pesangon seperti yang pernah dijanjikan. "Saya mengira, ucapan manajemen itu hanya untuk membesarkan hati yang kena PHK," kata Liza Poerwati, 51 tahun, anggota redaksi yang dipecat bersama Rayendra Toruan. Ternyata tidak. Sepekan kemudian, turun SK Direksi Nomor 192, seperti yang disebutkan dibagian awal laporan ini. Liza dan Rayendra dibela oleh Pemred Karnel. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Dirut Willy, ia minta agar pemecatan itu dipertimbangkan lagi. Tapi Karnel tidak digubris, justru malah dipecat. Ia digantikan oleh wakil-wakilnya, Muhammad Ashuri di Pertiwi, dan Leo Surjaningtyas di suasana. "Saya juga tidak akan menerima begitu saja keputusan ini," ujar Karnel. Dia sedang menyiapkan surat pengaduan ke Deppen dan PWI. Bahkan Senin pekan ini, suaranya didengar pula di DPR. Liza tak kalah gesit. Ia sudah melaporkan kasusnya kepada Depnaker dan LBH. PWI era kepengurusan Zulharmans tampaknya berada di belakang Liza dan kawan-kawan. Dalam surat tertanggal 10 November, Pengurus PWI Pusat menyarankan agar Direksi GNP segera mencabut SK Nomor 192 itu. Bahkan PWI mengingatkan, Pertiwi tak mungkin mendapatkan SIUPP kalau saja tidak didukung oleh karyawan eks majalah Kartini. Deppen bersuara senada, hanya dianjurkan agar persoalan yang muncul dari SK 192 itu dianggap soal intern yang harus diselesaikan sendiri. Lantas apa kata manajemen GNP? "Soal PHK, itu urusannya Pak Willy," kata Tom DBP Goeltom, Wakil Pemimpin Perusahaan GDP. Tapi Willy, yang berkali-kali dicoba dihubungi, rupanya menghindar. Atau mungkin dia sedang repot sekali. Dua tahun lalu, ia cuma berhadapan dengan pemilik Kartini, Lukman Umar, tapi kini ia harus berhadapan dengan teman-teman seperjuangan, yang sampai saat-saat terakhir tetap loyal. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus