NAMANYA Nuraini. Usia 24 tahun. Langsing dan semampai (174 cm dan 60 kg). Kulit kuning langsat. Bulu mata tebal dan lentik. Hidung mancung dan bibir mungil. Suaranya lembut, dan kalau berbicara, perlahan-lahan -- dengan bahasa Mandarin atau Inggris yang agak terpatah-patah. Juga agak pemalu tampaknya. Memang, wanita itu ternyata lebih suka berbicara lewat raketnya. Itu sebabnya ia juga terdaftar sebagai pemain yang akan memperkuat klub Pelita Jaya Jakarta dalam kejurnas bulu tangkis antar-klub yang, Rabu pekan ini, berakhir di gelanggang olah raga Pangsuma, Pontianak. Sayang, Nuraini, kemudian, tak bisa memperlihatkan kehebatannya mengayun raket. Gaung protes, yang mempertanyakan kehadirannya, muncul hanya sehari menelang turnamen itu dimulai. Itulah membuat niatnya menepok bulu angsa menjadi batal. Jumat pekan lalu, dalam acara technical meeting di Wisma Merdeka, Pontianak manajer klub Jaya Raya, Minarni, tiba-tiba mempertanyakan soal status kewarganegaraan Nuraini. "Apakah warga negara asing boleh mengikuti kejurnas ini?" tanya bekas pemain andalan Indonesia di tahun 1970-an itu. Seluruh manajer dan ofisial dari 62 klub yang hadir malam itu terhenyak. Sementara Syamsul Alam, wasit kehormatan, cuma terlihat berbisik-bisik dengan ketua harian PB PBSI Soemarsono. Sutomo Pagaralam, manajer tim Pelita, akhirnya buka suara. "Dia memang akan menetap di Indonesia dan izin perpanjangan tinggalnya akan diselesaikan tanggal 9 Desember nanti," jawabnya. Cuma, sialnya, Sutomo tak bisa menunjukkan surat izin tersebut. "Saya berani mengajukannya, karena Pak Try sendiri sudah menjamin Nuraini akan beres perpanjangan izin menetapnya," ujar Sutomo, dengan nada sengit. Wakil sekjen PB PBSI Rafiudin Hamurung pun sampai ikut menimpali, "Bakin juga sudah setuju," katanya. Pertemuan itu pun berkembang menjadi panas. Akhirnya, toh diputuskan, Nuraini harus dicoret dari tim yang disokong perusahaan Bakrie Bersaudara itu. "Ia masih dianggap orang asing," ujar Syamsul. Kalau ia seorang warga asing, tapi sudah menetap di Indonesia, tentunya, memiliki KTP atau KIM (kartu izin menetap). Syamsul memberi contoh, kasus bekas pemain nasional, Ivanna Lie. Cewek asal Bandung itu, selama bertahun-tahun, belum menjadi warga Indonesia, namun toh bisa memperkuat Merah-Putih ke kejuaraan dunia dan Piala Uber. Lalu, siapa Nuraini? Wanita ini, ternyata, memang bukan orang sini. Nama sebenarnya adalah Lu Qing, dan dilahirkan di Hunan, RRC. Ia bukan orang sembarangan dalam hal bulu tangkis. Di tahun 1986-1987 ia menduduki peringkat ke-3 di negeri nenek moyangnya itu -- di bawah Li Lingwei dan Han Aiping. Ia juga peringkat ke-3 di Asia. Awal tahun ini, Lu sempat mencoba beremigrasi ke Australia, dan di sanalah ia belajar bahasa Inggris. Rupanya, ia tak betah di negeri itu. Dasar jodoh. Akhirnya, ia menemui bekas pelatih dan juga kekasihnya itu, Tong Sin Fu, yang sejak dua tahun lalu, menetap di Indonesia. Kini, Lu sudah lebih dari 3 bulan menetap di Jakarta. Ia baru saja disunting oleh Tong. Pasangan suami istri itu, pada tanggal 30 September lalu, mengikrarkan diri masuk Islam di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan. Sejak itulah Lu Qing mengganti namanya menjadi Nuraini. Dan Tong Sin Fu juga mendapat nama baru, Fuad Nurhadi. Buat Tong, ternyata, Islam bukanlah sesuatu yang baru. Pria berusia 46 tahun, kelahiran Teluk Betung, Lampung, itu sempat bersekolah di SMA Muhammadiyah, Semarang. "Waktu itu, saya sudah bisa ngaji. Dan selama tinggal di Beijing, saya juga sudah membiasakan makan makanan muslim," tutur Tong yang kini melatih klub Pelita Jaya, dan pernah pula mengasah tim Piala Thomas Indonesia. Di Jakarta, Lu alias Nuraini, selain diajak main, juga dipersiapkan untuk melatih klub Pelita Jaya. Reputasi Nuraini itulah yang membuat klub lain menjadi keder di Pontianak. Barangkali gara-gara dia absen, klub putri Pelita Jaya, akhirnya, dibungkam tim Jaya Raya 2-1 di babak semifinal, Senin malam pekan ini. Di final, yang dijadwalkan berlangsung Rabu minggu ini, di kelompok putri, akan berhadapan Bimantara Tangkas I vs Jaya Raya I. Tapi, betulkah permainan Nuraini masih menyengat seperti dulu? "Tidak, dia tak terlalu istimewa," tutur Stanley Gouw, pelatih klub Bimantara Tangkas. Konon, kabarnya, setelah meninggalkan daratan Cina, ia tak pernah lagi memegang raket di Australia. Namun Stanley tak mengenyampingkan kemampuan yang dimiliki istri Tong itu. "Kita, sebetulnya, jangan terlalu alergi dengan pemain-pemain Cina. Justru seharusnya kita bisa belajar banyak dari mereka," ujarnya. Memang, selain Tong Sin Fu, ada juga bekas pemain handal RRC lainnya yang dimanfaatkan sebagai pelatih. Liong Shiu Xia, 38 tahun, kakak kandung eks pemain nasional Indonesia, Tjun-Tjun, termasuk yang paling populer. Setelah meninggalkan Cina di tahun 1979, wanita itu sempat menjadi warga Hong Kong. Dia kemudian didatangi langsung oleh Menpora -- waktu itu -- Abdul Gafur yang terbang ke negeri koloni Inggris itu. Menteri Gafur, saat itu menawarkan kemungkinan Liong bergabung untuk membina perbulutangkisan putri Indonesia. Akhirnya Liong -- yang meninggalkan Indonesia, dan pergi ke RRC pada tahun 1966 -- mudik ke Jakarta. Hingga kini, ia menangani pelatnas tim putri. Tapi tak semua pemain Cina yang hijrah ke negeri ini dimanfaatkan oleh kalangan perbulutangkis kita. Misalnya saja, Wu Dixi, 25 tahun. Bekas juara dunia ganda putri itu yang berpasangan dengan Lin Ying -- hampir tak terdengar kabarnya. Padahal, sejak Mei lalu, ia sudah menetap di Jakarta, setelah menikah dengan seorang pengusaha Indonesia, Amran Nasir. "Teknik yang dia punya sangat istimewa," komentar Stanley tentang Wu. Memang, ada suara santer bahwa istri Amran itu akan melatih di klub Aqua Jakarta. Namun, entah kenapa, rencana itu batal. Toh begitu, ada juga yang mengingatkan tentang kecenderungan hijrahnya pemain Cina ke sini. "Jangan cuma bikin Indonesia sebagai tempat menclak-menclok saja. Perlihatkan dedikasi dan kesetiaan terhadap negeri ini," ujar Syamsul. Wah. AKS dan Djunaini K.S (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini