PEMILIHAN pengurus baru dalam organisasi profesi di negeri ini, umumnya mengenal dua pola. Pertama, diwarnai kericuhan yang diikuti gontok-gontokan, hingga akhirnya berantakan. Ingat saja dua bintang film memperebutkan posisi ketua Parfi, dua tahun silam. Pola kedua, proses pemilihan berlangsung tenang, karena ada calon yang tergolong kuat dan membawa "daftar restu" yang panjang. Kompetisi, kalaupun ada, terjadi di bawah permukaan, namun tak lebih dari itu. Memann biasanya semua sudah diatur. Lain halnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Dalam organisasi profesi yang terkenal sangat menjunjung asas kemandirian ini, pemilihan pengurus baru -- dalam muktamar ke-20 di Surabaya pekan lalu -- ternyata punya pola sendiri. Pemilihan itu berlangsung seru sejak pencalonan. Sejumlah calon, tidak cuma bertarung mengumpulkan suara, tapi massa mereka saling sikut dalam kampanye. Sambil kasak-kusuk, grup satu melobi grup yang lain, sementara ada juga kelompok yang melobi calon ketua, agar mundur saja. Pada hari-hari terakhir, dua calon kuat muncul ke permukaan, walau yang masuk nominasi empat orang. Calon terkuat itu adalah dr. Mohamad Isa, Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan. Kendati ia seorang pejabat, Isa muncul dimuktamar tanpa memperagakan baju pejabatnya. Ia datang ke Surabaya sebagai peserta biasa, tanpa penyambutan. Ia juga mengikuti penuh semua acara muktamar. Dicalonkan pengurus IDI Cabang Jakarta Timur, Isa memang figur yang banyak dikenal di kalangan IDI. Ahli dalam mengelola organisasi, dan juga cenderung membela kepentingan IDI di Depkes. Namun Isa tak bisa melepaskan citra pejabat yang dibawanya, dan kesan ini mengganggu sebagian besar anggota IDI. "Kalau Isa terpilih, ada kesan, IDI tidak independen lagi," ujar seorang anggota yang tak mau disebutkan namanya. Sebagai organisasi profesi tertua di Indonesia, IDI sejak lama dikenal independen -- mungkin satu-satunya di antara sekian banyak organisasi profesi di sini. Apalagi Menteri Kesehatan dr. Adhyatma MPH menyatakan, tidak pernah bermaksud menempatkan IDI di bawah Depkes. Ia juga tidak meminta Isa dicalonkan sebagai ketua. Izin itu diberikannya, tak lain karena Mohamad Isa adalah seorang dokter dan anggota IDI yang mempunyai hak untuk dicalonkan. Bukan hanya Menteri yang berpandangan seperti ini. Banyak anggota berpendapat sama. Karena itu, Isa bisa merebut simpati. Di atas kertas, sebelum pemilihan, ia tercatat lebih kuat dari calon lain: dr. Chehab Rukny Hilmi. Isa mendapat dukungan kuat dari sebagian peserta muktamar yang terdiri dari 167 pengurus cabang, 20 perhimpunan dokter spesialis, dan 12 perkumpulan dokter seminat. Tapi menjelang pemilihan, pengurus-pengurus cabang IDI yang khawatir citra independen IDI akan hilang, mencalonkan kembali dr. Kartono Mohamad, yang adalah ketua umum IDI. Sebagai tokoh yang tiba gilirannya untuk digantikan, adalah wajar bila Kartono menolak. Lagi pula sepanjang sejarah IDI, pencalonan kembali ketua umum tidak pernah terjadi. Berdasarkan Anggaran Rumah Tangga IDI, ketua terpilih pada muktamar, tidak langsung menjadi ketua umum, melainkan wakil ketua. Baru pada muktamar selanjutnya, wakil ketua ini dikukuhkan menjadi ketua umum, setelah magang selama satu masa kepengurusan. Wakil ketua yang dikukuhkan menjadi ketua umum pada muktamar pekan lalu adalah: dr. Azrul Azwar MPH yang adalah wakil dr. Kartono. Memang terasa janggal bila pada kepengurusan selanjutnya, dr. Kartono yang pernah jadi ketua umum itu, harus magang pada (eks) wakilnya: dr. Azrul. Namun itulah yang terjadi. Kartono Mohamad yang akhirnya bersedia dicalonkan, berhasil mengumpulkan 67 suara, sementara Isa mendapat 61 suara, dan Chehab beroleh 55 suara. Dua calon lainnya, masing-masing hanya mendapat 2 suara. Kemenangan Kartono disambut sorak sorai riuh dari para pendukungnya. Namun suasana panas segera reda, setelah pemilihan usai. Semua pihak nampaknya menerima hasil pemilihan. Tak satu pun kelompok yang protes. Apalagi gontokgontokan. "IDI masih demokratis," kata Isa simpatik tentang kekalahannya. "Terbukti dari perolehan suara tadi." Dalam penilaiannya, hasil pemilihan memang mencerminkan aspirasi anggota. "Saya senang melihat kenyataan ini." "IDI memang bukan subordinasi Depkes," kata Azrul Azwar yang kini menjadi ketua umum. "Tapi IDI juga bukan oposisi. Dari jalur formal, oposisi tidak dikenal pada masyarakat kita." Tentang pertarungan dalam pemilihan ketua, Azrul berpendapat, "Harus diakui, masih ada anggota IDI yang berpikir sempit." Mereka khawatir, kemandirian IDI akan terancam bila seorang pejabat Depkes terpilih menjadi ketua. Azrul menegaskan, "Bukan itu dasar kemadirian sebuah organisasi." Kemadirian, seharusnya tecermin dari sikap tidak tergantung pada Depkes. Juga, tidak mengharapkan fasilitas, dan hanya merasa aman bila berlindung di bawah pejabat. "IDI harus mandiri dalam arti ini, bukan dari keberanian beroposisi." Menilai hubungan IDI dengan pemerintah, khususnya Depkes, Azrul menyatakan sependapat dengan Menteri Kesehatan, bahwa IDI adalah mitra Depkes. "Saya tidak melihat ada masalah dalam kerja sama ini, karena, baik Depkes maupun IDI samasama mengutamakan kepentingan masyarakat." Ketajaman pandangan Azrul -- khususnya tentang organisasi -- sudah diasah sejak ia masih mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dokter ahli kesehatan masyarakat yang mendapat keahliannya di Hawaii University ini, dikenal sebagai gembong organisasi. Ia pernah menduduki jabatan Ketua Senat Fakultas Kedokteran UI, dan juga ketua Dewan Mahasiswa universitas yang sama pada tahun 1970-1973. Kini, bapak tiga orang anak itu bekerja sebagai dosen Ilmu Kedokteran Komunitas, dan memberikan waktunya untuk mengurus IDI. Ia tidak buka praktek. Apa rencananya sebagai pemegang kendali IDI? "Menjaga kontinuitas program, kepengurusan lama, dan melaksanakan amanat Muktamar ke-20," katanya. "Juga, berjuang mengembalikan citra dokter, yang akhir-akhir ini, memprihatinkan." Jim Supangkat, Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini