Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kepala Tandingan Di Pulau Rakyat

Nurlina, 4, gadis dari pulau rakyat, kabupaten asahan (Sum-ut) menderita penyakit meningocoele (membengkaknya selaput otak & syaraf tulang punggung). (ksh)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMURNYA 4 tahun. Namanya cukup manis, Nurlina. Tapi teman-temannya mengolok-olokinya sebagai "anak ajaib". Soalnya agak ke kanan di bagian atas kepalanya tumbuh daging yang hampir sama besar dengan kepalanya sendiri. Kedua bola matanya mencuat ke luar. Sedang tangan dan kaki kirinya lemah tak berdaya. Meskipun nasib sial telah menimpa tubuhnya, gadis cilik dari Pulau Rakyat Kabupaten Asahan (Sumatera Utara) ini tidak jadi rendah diri. Ia gemar bermain dengan teman sebaya. Walaupun jalan berhingsut, ia coba juga bercengkerama dengan teman-temannya. Ia memang senang bergaul. Penderitaan Nurlina dimulai ketika ia lahir, Mei 1973. Kedua orangtuanya (Sukandi dan Rusmini) mengharapkan ia lahir sebagai anak laki-laki. Sebab sudah 4 anak mereka, semuanya perempuan. Sudah harapan orangtua itu luput, ada pula yang tak beres di kepala bayi Nurlina. Tempurung kepala sebelah kanan lembek. Tapi karena dukun yang menolong kelahiran itu mengatakan bahwa kepala itu akan jadi normal kalau si anak besar nanti, maka orang tua itu tak begitu risau. Namun ketika Nurlina berumur satu setengah tahun, selain kepala itu tetap lembek, tumbuh pula gelembung di situ. "Mula-mula hanya sebesar jagung. Lama-lama jadi sebesar kepalanya sendiri," cerita sang ayah kepada Amrar Nasution dari TEMPO. Semua dukun yang tinggal di desa Bangun -- tempat kedua orangtuanya tinggal -- sudah dikunjunginya. Pengobatannya, tentu saja, hanya terdiri dari doa dan jampi-jampi. Plus semburan air putih, air sirih atau daun bakung. Tapi cacad Nurlina tak hilang jua. Pernah juga ia dibawa ke Pos Kesehatan. Perawat di sana hanya bisa memberikan kata-kata yang kurang menggairahkan. "Ini harus dioperasi dan biayanya mahal," nasehat orang di Pos itu. Sukandi, penebang kayu dengan gaji Rp 400/hari, tentu saja kecut mendengarnya. Surat Camat Penderitaan Nurlina akhirnya sampai juga ke telinga Camat Pulau Rakyat, TM Idris. Ia menuliskan surat keterangan tak mampu, memberikannya kepada Sukandi dan memintanya supaya membawa anak itu ke Puskesmas. "Dengan surat ini pengobatan gratis," kata Camat. Sesampainya di Puskesmas yang terletak 10 Km dari rumah mereka, Nurlina ternyata belum bisa juga mendapat pertolongan, Melihat gejala penyakit Nurlina dari luar saja, dr Hasan Mursyid yang mengepalai puskesmas itu, segera menulis surat pengantar ke Rumah Sakit Umum Kisaran. Ia sendiri tak bisa mengobati. Di RSU Kisaran, 2 Desember, kepala anak itu dironsen. Cuma begitu saja. Kemudian MH Sibarani, ahli penyakit anak di situ menitipkan sepucuk surat pada Rusmini yang ditujukan kepada dokter Puskesmas Pulau Rakyat. Tapi sesampainya di rumah surat itu dibuka suaminya. Dari situ ia ketahui bahwa penyakit anaknya belum mungkin diobati di Medan, sedangkan Jakarta masih dalam taraf mencoba. Kedua orangtua itu menjadi putus asa. Jangankan ke Jakarta, ke Medan saja mereka tak punya uang. "Pakai surat camat katanya pre, nyatanya (di Kisaran) disuruh bayar," keluh Rusmini. Menurut dr MH Sibarani, Nurlina menderita penyakit Meningocoele (membengkaknya selaput otak dan syaraf tulang punggung). "Tulang kepalanya tumbuh tak normal," katanya. Tulang tengkorak kepala cacad sejak lahir. Gelembung di kepala Nurlina, katanya, akan terus membesar. Anak ini bisa fatal kalau "kepala undingan" itu terserang infeksi. "Karena otak akan terganggu," kata Sibarani. Nurlina mungkin hisa lumpuh, bahkan bisa buta. RSCM Jakarta memiliki kemampuan bedah syaraf. Adakah uangnya ke Jakarta? Sebuah koran Medan sudah membuka dompet untuk Nurlina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus