UMURNYA 4 tahun. Namanya cukup manis, Nurlina. Tapi
teman-temannya mengolok-olokinya sebagai "anak ajaib". Soalnya
agak ke kanan di bagian atas kepalanya tumbuh daging yang hampir
sama besar dengan kepalanya sendiri. Kedua bola matanya mencuat
ke luar. Sedang tangan dan kaki kirinya lemah tak berdaya.
Meskipun nasib sial telah menimpa tubuhnya, gadis cilik dari
Pulau Rakyat Kabupaten Asahan (Sumatera Utara) ini tidak jadi
rendah diri. Ia gemar bermain dengan teman sebaya. Walaupun
jalan berhingsut, ia coba juga bercengkerama dengan
teman-temannya. Ia memang senang bergaul.
Penderitaan Nurlina dimulai ketika ia lahir, Mei 1973. Kedua
orangtuanya (Sukandi dan Rusmini) mengharapkan ia lahir sebagai
anak laki-laki. Sebab sudah 4 anak mereka, semuanya perempuan.
Sudah harapan orangtua itu luput, ada pula yang tak beres di
kepala bayi Nurlina. Tempurung kepala sebelah kanan lembek.
Tapi karena dukun yang menolong kelahiran itu mengatakan bahwa
kepala itu akan jadi normal kalau si anak besar nanti, maka
orang tua itu tak begitu risau.
Namun ketika Nurlina berumur satu setengah tahun, selain kepala
itu tetap lembek, tumbuh pula gelembung di situ. "Mula-mula
hanya sebesar jagung. Lama-lama jadi sebesar kepalanya sendiri,"
cerita sang ayah kepada Amrar Nasution dari TEMPO.
Semua dukun yang tinggal di desa Bangun -- tempat kedua
orangtuanya tinggal -- sudah dikunjunginya. Pengobatannya, tentu
saja, hanya terdiri dari doa dan jampi-jampi. Plus semburan air
putih, air sirih atau daun bakung. Tapi cacad Nurlina tak hilang
jua.
Pernah juga ia dibawa ke Pos Kesehatan. Perawat di sana hanya
bisa memberikan kata-kata yang kurang menggairahkan. "Ini harus
dioperasi dan biayanya mahal," nasehat orang di Pos itu.
Sukandi, penebang kayu dengan gaji Rp 400/hari, tentu saja kecut
mendengarnya.
Surat Camat
Penderitaan Nurlina akhirnya sampai juga ke telinga Camat Pulau
Rakyat, TM Idris. Ia menuliskan surat keterangan tak mampu,
memberikannya kepada Sukandi dan memintanya supaya membawa anak
itu ke Puskesmas. "Dengan surat ini pengobatan gratis," kata
Camat.
Sesampainya di Puskesmas yang terletak 10 Km dari rumah mereka,
Nurlina ternyata belum bisa juga mendapat pertolongan, Melihat
gejala penyakit Nurlina dari luar saja, dr Hasan Mursyid yang
mengepalai puskesmas itu, segera menulis surat pengantar ke
Rumah Sakit Umum Kisaran. Ia sendiri tak bisa mengobati.
Di RSU Kisaran, 2 Desember, kepala anak itu dironsen. Cuma
begitu saja. Kemudian MH Sibarani, ahli penyakit anak di situ
menitipkan sepucuk surat pada Rusmini yang ditujukan kepada
dokter Puskesmas Pulau Rakyat. Tapi sesampainya di rumah surat
itu dibuka suaminya. Dari situ ia ketahui bahwa penyakit anaknya
belum mungkin diobati di Medan, sedangkan Jakarta masih dalam
taraf mencoba.
Kedua orangtua itu menjadi putus asa. Jangankan ke Jakarta, ke
Medan saja mereka tak punya uang. "Pakai surat camat katanya
pre, nyatanya (di Kisaran) disuruh bayar," keluh Rusmini.
Menurut dr MH Sibarani, Nurlina menderita penyakit Meningocoele
(membengkaknya selaput otak dan syaraf tulang punggung). "Tulang
kepalanya tumbuh tak normal," katanya. Tulang tengkorak kepala
cacad sejak lahir.
Gelembung di kepala Nurlina, katanya, akan terus membesar. Anak
ini bisa fatal kalau "kepala undingan" itu terserang infeksi.
"Karena otak akan terganggu," kata Sibarani. Nurlina mungkin
hisa lumpuh, bahkan bisa buta.
RSCM Jakarta memiliki kemampuan bedah syaraf. Adakah uangnya ke
Jakarta? Sebuah koran Medan sudah membuka dompet untuk Nurlina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini