Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kepuasan dalam Pelatuk Pistol

Satu pistol tak cukup memuaskan hasrat menembak. Inilah orang yang gemar mengoleksi senjata api.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Kepuasan dalam Pelatuk Pistol
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HAMPIR setiap akhir pekan, A. Stefanus Ridwan selalu menengok loker kesayangannya. Berada di kantor Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Jakarta di kawasan Senayan, lemari itu berisi enam pucuk pistol dan belasan senapan. Jenis dan mereknya berbeda-beda. Setiap datang, ia mengambil satu-dua senjata api, lalu membawanya ke lapangan tembak Senayan. Di sana, lelaki 54 tahun itu bisa asyik berjam-jam menghamburkan peluru, membidik sasaran.

Hobi yang ditekuninya sungguh lain dengan aksi koboi Parto Patrio pada Agustus lalu. Pelawak kondang ini tiba-tiba memuntahkan pistol ke atas hanya karena panik dikejar-kejar wartawan di Planet Hollywood. Stefanus mengoleksi senjata api untuk menyalurkan hobinya menembak. Ini olahraga yang menantang sekaligus menyenangkan. Dia akan bangga jika semakin banyak senjata yang dikuasai dan semakin tepat membidik sasaran. "Kegemaran saya memang berbeda dengan orang-orang yang memiliki senjata api untuk bela diri," katanya saat ditemui Tempo dua pekan lalu. Sehari-hari Stefanus adalah Direktur PT Pakuwon Sentosa Anggraeni, pengelola perparkiran di Plaza Blok M.

Dia bahkan tidak memiliki satu pun senjata api dengan izin untuk pertahanan diri. Semua pistol dan senapan yang dimiliki Stefanus untuk olahraga menembak. Izinnya datang dari Perbakin. Itu sebabnya, ia tidak bisa membawa pulang senjata-senjata itu dan selalu menyimpannya di markas Perbakin Jakarta. Peluru pun hanya boleh diisikan ketika ia sudah tiba lapangan tembak.

Enam pucuk pistol itu digunakan secara bergantian setiap akhir pekan. Sesekali Stefanus juga memainkan senapan angin laras panjang kaliber 22. Senapan ini khusus untuk target 50 meter. Namun, dari belasan koleksinya, Stefanus punya pistol favorit merek Smith & Wesson kaliber 38 spesial. Jenis inilah yang sering ia gunakan.

Bapak satu anak ini memang tak bisa dilepaskan dari senjata. Sejak kecil ia sudah akrab dengan urusan tembak-menembak di Bandung, kampung halamannya. Senapan angin dan panah ibarat teman bermain sehari-hari. Namun, Stefanus berbeda dengan rekan sebaya yang punya minat sama. Senapan dan panahnya tak pernah menancap di tubuh binatang atau burung. Ya, dia hanya mau mengarahkan moncong senapan ke arah sasaran dan target yang diinginkan. Ranting pohon atau kayu yang diberi penanda.

Kebiasaan membidik target terus ia pupuk sampai sekarang. Hobinya semakin tersalurkan setelah ia mengelola Shooting Club di Plaza Blok M. Ia semakin betah mengelus-elus Smith & Wesson kaliber 38 spesial. Pistol kaliber besar ini ia beli dari seorang temannya di Perbakin sebesar Rp 16 juta ditambah ongkos perizinan sekitar Rp 2,5 juta.

Angka itu tergolong murah jika dibandingkan dengan senjata kategori bela diri. Untuk jenis pistol CC 83 misalnya, orang harus merogoh duit sebesar Rp 45 juta. Senjata ini menjadi favorit para selebriti Indonesia selain jenis FN. "Mahal dan tidak tergantung spesifikasinya," kata Johnny S. Santoso, pemilik senjata api yang kini beralih menjadi pengamat olahraga menembak.

Harga pistol merek STI tipe Competitor kaliber 38, misalnya, lebih mahal lagi, Rp 60 juta. Sedangkan pistol merek SV tipe Invinite kaliber yang sama biasa dilego seharga Rp 100 juta lebih. Ada pula jenis Tanfoglio kaliber 38 yang harganya di atas Rp 100 juta. "Saya pilih Smith & Wesson karena enak dan sudah terbiasa," kata Stefanus.

Punya senjata lebih dari sepucuk tak selalu menggembirakan. Ongkos perawatannya bisa menguras isi kantong. Untuk sekali main Stefanus minimal butuh 100 butir peluru. Harga sebutir peluru Rp 3.000. Jadi sekali main, duit yang dihabiskan Rp 300 ribu. Biaya ini belum termasuk sewa lapangan Rp 45 ribu per jam dan upah petugas peneropong untuk mengukur akurasi tembakan. Jangan lupa pula pistol dan senapan berburu perlu dibersihkan dengan minyak khusus.

Kendati hobi menembak terbilang mahal, cukup banyak orang-orang berduit di Jakarta yang menekuninya. Shooting Club di Plaza Blok M kini memiliki sekitar 100 anggota yang selalu rajin berlatih. Di Ibu Kota, klub semacam ini cukup banyak, sekitar 30 klub. "Kalau sudah hobi, biaya memang bukan persoalan," kata Hendra Djaya, 68 tahun, seorang penggemar berat menembak.

Hendra menyukai olahraga ini sejak usia 12 tahun. Bahkan pada 1958, ia sudah memiliki dua pucuk pistol. Kini koleksinya terus bertambah meski ia enggan menyebut jumlah pasti. Paling tidak, lima pucuk pistol keluaran terbaru dan empat buah senapan khusus berburu ia miliki.

Kakek yang dijuluki suhu menembak reaksi di Perbakin ini punya senjata favorit, yakni pistol Super Auto kaliber 38 semiotomatis. Untuk senapan berburu ia menyukai Jungle M-1 kaliber 30. Agar kemampuannya terus terasah, Hendra biasa beraksi di lapangan tembak Senayan setiap akhir pekan. Sekali turun ke lapangan tembak reaksi ia bisa memuntahkan 150 butir peluru.

Kegemaran yang telah dipupuk sejak remaja ini ibarat aktivitas yang telah mendarah daging. Bayangkan, untuk menuntaskan hasrat berburu, Hendra berkelana di belantara Afrika Selatan pada 2002. "Kalau daerah di Indonesia sudah saya jelajahi semua," kata Direktur PT Tiga Tunggal Sejati ini. Dalam setahun ia bisa keluar masuk wilayah berburu sampai empat kali.

Hanya, kepuasan berburu berbeda dengan menembak reaksi. Dalam berburu, Hendra akan puas jika bisa menaklukkan binatang buas dengan sedikit mungkin peluru. Tembak reaksi? Dia akan lega jika cukup cekatan dalam berkelik sambil membidik. "Rasa puasnya kalau refleks kita menghindar dan menembak pas," katanya.

Begitu pula Stefanus yang hobi membidik sasaran dengan berbagai jenis senjata api. Dia amat puas jika tembakannya semakin jitu. Itu sebabnya ia tak bosan-bosan berlatih setiap akhir pekan.

Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus