Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua Komisi, Satu Tumpang Tindih

Komnas HAM khawatir penyelidikan pelanggaran HAM berat terganjal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Padahal, kewenangan dua lembaga itu sama besarnya.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Dua Komisi, Satu Tumpang Tindih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lama tak terdengar lagi gebrakan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kini lembaga yang dibentuk pada 1993 itu sedang merancang sebuah kerja besar. Mereka sudah menyusun dua tim yang segera memulai penyelidikan mengenai pelanggaran HAM berat. Tim pertama bertugas menelisik kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh saat wilayah itu dinyatakan sebagai daerah darurat militer. Sedangkan tim kedua akan menyelidiki, antara lain, penculikan aktivis mahasiswa di seputar menjelang ambruknya rezim Orde Baru pada 1998.

Di tengah persiapan kerja besar itu, kegamangan muncul dari komisi yang berkantor di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, itu. Ini berkaitan dengan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). "Jika tidak diatur, akan terjadi duplikasi pengusutan peristiwa," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Zoemrotin, Rabu pekan lalu, kepada Tempo. Menurut Zoemrotin, pihaknya sejak dini mengingatkan kemungkinan tumpang tindih kewenangan dengan Komisi Kebenaran. "Ini pekerjaan penyelidikan, membutuhkan energi besar," katanya.

Komisi kebenaran adalah komisi yang akan bergerak di bawah payung UU KKR. Pada awal September lalu, setelah pembahasan selama 13 bulan, sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU KKR?terdiri 10 bab dan 46 pasal?menjadi undang-undang. Menurut UU itu, pembentukan Komisi Kebenaran adalah untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 di luar pengadilan. "Pengungkapan kebenaran dilakukan berdasarkan fakta dan peristiwa. Kebenaran kan tidak selalu berakhir di pengadilan," ujar M. Akil Mochtar, bekas Ketua Panitia Khusus RUU tersebut.

Seperti halnya Komnas HAM, wewenang Komisi Kebenaran juga besar. Mereka berwenang melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas semua peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran HAM berat. Mereka, misalnya, boleh memanggil semua orang yang terkait dengan kasus yang diselidiki atau meminta dokumen dari instansi sipil dan militer guna kepentingan penyelidikan.

Justru di sinilah pokok soalnya. Karena Komnas HAM maupun Komisi Kebenaran sama-sama berwenang melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat, tumpang tindih antara kedua lembaga itu sangat mungkin terjadi. Bukan hanya tumpang tindih, kedua lembaga itu bahkan bisa "saling mementahkan" hasil penyelidikan. "Kerja Komnas HAM bisa tidak produktif, pelaku pelanggaran HAM bisa lolos dari hukuman," ujar Zoemrotin. Ia memberi contoh, bisa saja demi rekonsiliasi, para pelanggar HAM lolos dari jerat hukum, meskipun bukti-bukti cukup untuk mengajukan mereka ke meja hijau.

Sejak awal, penyelesaian yang mengkhawatirkan lewat Komisi Kebenaran memang sudah dicurigai sejumlah pihak. Pihak yang keberatan melihat bahwa Komisi Kebenaran bakal rawan intervensi bahkan cenderung berpihak pada pelaku pelanggaran HAM. Jika itu terjadi, para pelanggar HAM sangat mungkin lolos dari jerat hukum. Soalnya, menurut Pasal 43 UU Komisi Kebenaran, semua pelanggaran HAM yang kasusnya sudah diselesaikan Komisi Kebenaran tidak bisa diajukan lagi ke Pengadilan HAM. "Ini kan tidak berpihak pada korban," kata Supardi Atmo, salah satu korban peristiwa 1965 yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru.

Komnas HAM sebetulnya sudah mengajukan sejumlah usulan agar pekerjaan mereka tidak saling sikut dengan tugas Komisi Kebenaran. Salah satu usulan mereka adalah agar dalam suatu kasus pelanggaran HAM, pintu masuk pertama untuk penyelidikan hanya di tangan Komnas HAM. Dengan mekanisme ini, tak akan terjadi pengusutan ganda oleh dua lembaga terhadap satu peristiwa. Selain itu, semua kasus yang sudah menjadi agenda Komnas HAM tidak lagi ditangani Komisi Kebenaran. Menurut Zoemrotin, Komisi Kebenaran sebaiknya berkonsentrasi kepada kasus yang belum dipegang Komnas HAM. "Dengan waktu yang relatif pendek, lima tahun, lebih baik Komisi Kebenaran fokus menyelidiki suatu kasus sampai tuntas," ujarnya.

Usul pembagian wewenang juga datang dari sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam. Agar efektif dan tidak tumpang tindih, Asvi menyarankan Komisi Kebenaran mengambil kasus-kasus yang saksi atau pembuktiannya diduga sulit. "Kasus pembantaian pada 1965, misalnya, bisa diselesaikan Komisi Kebenaran," kata dia. Adapun kasus pelanggaran HAM di Pulau Buru, yang tempat, korban, dan pelakunya jelas, menjadi porsi Komnas HAM. "Badan pelaksana di Pulau Buru itu di bawah kendali Jaksa Agung. Jaksa Agung di bawah Kopkamtib yang ada di bawah presiden. Urusannya jelas, ada presiden dan ada Jaksa Agung," katanya.

Pendapat berbeda datang dari Direktur Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdal Kasim. Menurut Ifdal, ketakutan terjadinya tumpang tindih penyelidikan terlalu berlebihan. Sebetulnya, kata Ifdal, Komisi Kebenaran tidak akan melakukan penyelidikan proyustisia, penyelidikan untuk mencari tanggung jawab pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang. "Yang dicari: bagaimana kejahatan yang disembunyikan rezim, misalnya dalam rentang 20 tahun. Pelanggaran HAM bukan hanya pertanggungjawaban individu, tapi sistem dan rezim," ujarnya.

Kendati demikian, Ifdal mengakui hadirnya Komisi Kebenaran bisa memancing masalah, karena UU tentang Komisi Kebenaran belum sempurna. Salah satunya tentang penyelidikan yang menyebut harus mengacu ke undang-undang. "Ini akan diinterpretasikan mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal komisi ini dihadirkan untuk mengatasi kelemahan hukum pembuktian yang formal itu," ujarnya. Karena itu, Ifdal menyarankan ada baiknya UU Komisi Kebenaran direvisi dulu. "Karena UU ini juga merupakan hasil tarik-menarik kekuatan politik yang tentu saja ada resistensi dari kekuatan politik di masa lalu," katanya.

L.R. Baskoro, Poernomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus