Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE MANCHURIAN CANDIDATE Sutradara: Jonathan Demme Skenario: Daniel Pyne dan Dean Georgares Pemain: Denzel Washington, Merryl Streep, Jon Voight
Sebuah masa lalu terbetik seketika. Hanya sedetik. Melesat. Tetapi itu mengguncang seluruh kesadaran Kapten Bennet Marco (Denzel Washington). Adakah seluruh kisah dan penghargaan Medal of Honor bagi Sersan Raymon Shaw, bawahannya, sesuatu yang seharusnya terjadi? Benarkah seluruh kisah yang dilontarkan dirinya dan semua anak buahnya saat Perang Teluk itu benar? Benarkah ketika peleton yang dipimpinnya diculik pihak Irak di Kuwait itu, Shaw menjadi pahlawan penyelamat? Benarkah seluruh cerita itu? Lalu, kenapa mereka semua berkisah dengan kalimat yang sama, ritme yang sama, kosa kata yang persis sama? Dan mengapa mereka semua dihampiri mimpi buruk yang sama? Setiap malam, ketika matahari turun, semua anggota peleton itu hidup dalam sebuah mimpi buruk yang sama.
Film karya Jonathan Demme ini sejak awal sudah memproklamasikan diridari warna gelap, kusam, dan bau anyir darah dan tipu dayabahwa film ini bukan sebuah piknik ke taman untuk bergembira ria. Film ini sudah menyatakan diri sebagai sebuah mimpi buruk dalam hidup nyata. Kapten Bennet Marco, yang semula melihat hidupnya sebagai garis lurus yang bersih, tiba-tiba saja kedatangan salah seorang anak buahnya yang melontarkan satu pertanyaan yang mengganggu seluruh hidupnya: "Apakah kau pernah bermimpi buruk tentang masa-masa di Kuwait?" katanya sembari memperlihatkan beberapa sketsa yang menampilkan visualisasi mimpi buruknya yang mirip dengan lukisan Salvador Dali. Dalam mimpi buruk itu, jarum jam seolah terhenti. Begitu lama, dan begitu perih.
Kemudian selanjutnya, hingga akhir film, Jonathan Demme mengabdikan film ini untuk sebuah perjalanan mencari kebenaran. Tentu saja Marco menjadi tokoh utama yang dianggap "gila" untuk mengganggu dan mengguncang Raymon Shaw, calon wakil presiden dan putra dari senator terkemuka, Nyonya Shaw (yang diperankan dengan cemerlang oleh Merryl Streep).
Kenyataan demi kenyataan berikutnya, soal cuci otak, soal peletakan chip di tubuh para serdadu, dan ambisi gaya Machiavellian serta paranoia konspirasi dalam sindroma industri-militer (military-industrial complex) semakin terasa absurd dan mengundang rasa kantuk. Perang dan akibatnya saja sudah cukup menghancurkan para korban dan keturunannya. Menambahkannya dengan konspirasi dan teknologi cuci otak pada masa pasca-perang membuat tema yang sudah kompleks ini menjadi konyol. Jonathan Demme, su-tradara terbaik untuk film The Silence of the Lambs itu, kehilangan sentuhan sang master. Ini memang sebuah pembuatan ulang. Di masa lalu, film ini dibintangi oleh Frank Sinatra sebagai pemeran utama dan komunisme sebagai musuh besar. Demme menggunakan setting dan "musuh" masa kini yang lebih kompleks, tetapi dia memilih keruwetan dalam bertutur. Dan penuturan yang ruwet dan kacau adalah musuh utama dalam seni visualisasi dan tekstual seperti sastra dan film.
Yang menyelamatkan film inidari keruwetan cara bertuturadalah penampilan para bintang: Denzel Washington, Merryl Streep, dan Jon Voight. Ketiga aktor besar ini, meski memberikan penyajian buruk pun, masih akan tetap tampil sebagai aktor/aktris kelas papan atas. Streep memperlakukan tokohnya sebagai seorang politisi kejam yang memiliki gairah terhadap kariernya, sama seperti dirinya yang memiliki gairah dalam akting. Selebihnya, Jonathan Demme layak duduk kembali agar di masa yang akan datang ia mampu melahirkan karya gemilang seperti The Silence of the Lambs. Atau mungkin benar kata-kata itu: seorang seniman hanya melahirkan satu karya besar.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo