Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARLIYAH memiliki kebiasaan baru dalam tujuh tahun belakangan. Ia rutin terbang bolak-balik dari Samarinda ke Guangzhou, Cina. Perempuan 45 tahun ini bukan hendak bertamasya atau berwisata. Di Negeri Panda, Marliyah menjalani serentetan tindakan medis untuk membuang sel kanker yang sempat ngendon di payudaranya. Bahkan, gara-gara penyakitnya itu, ia sempat menetap selama tiga bulan penuh di Rumah Sakit Kanker Fuda, Guangzhou.
Derita bermula ketika ibu dua anak ini menemukan benjolan di payudara sebelah kiri pada 2003. Setelah dilakukan pengecekan, dokter mendiagnosis Marliyah positif mengidap kanker payudara stadium I. Ia syok. Ogah menuruti nasihat dokter agar menjalani operasi, Marliyah memilih mencari pengobatan alternatif. Hampir dua tahun pengobatan ”orang pintar” ini dijalani. Bukannya sembuh, sel kankernya malah kian meruyak. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan kanker payudaranya melonjak menjadi stadium III.
Akhirnya, bersama suaminya, Musyanto, pada 2005, Marliyah sepakat mencari tempat berobat. Pasangan ini kemudian memutuskan berobat ke RS Fuda. Di sinilah ia menjalani operasi pengangkatan payudara kiri, kemoterapi, dan radioterapi. ”Terakhir imun,” kata Marliyah kepada Tempo, pekan lalu. Imun yang dimaksud Marliyah adalah imunoterapi.
Imunoterapi adalah terapi untuk memperkuat kekebalan tubuh agar sel kanker tidak muncul lagi. ”Imunoterapi bisa membunuh sel kanker yang tersembunyi,” ujar Liu Zhengping, dokter RS Fuda, yang menangani Marliyah. Sel kanker tersebut, Liu menegaskan, bisa bangkit bila kondisi atau kekebalan tubuh seseorang rendah.
Menurut Liu, anjloknya kekebalan tubuh merupakan penyebab utama seseorang terkena kanker atau kambuh kembali. Sebaliknya, bila kekebalan tubuh kuat, hal itu menyebabkan kondisi sel kanker dalam posisi tidur sehingga tidak nakal dan bikin masalah. ”Imunoterapi hampir tanpa efek samping,” kata Kecheng Xu, pemimpin RS Fuda, dalam International (Guangzou) Forum on Cancer Treatment di RS Fuda, akhir bulan lalu.
Dalam proses imunoterapi, darah pasien akan diambil, lalu diproses di laboratorium. Dari darah itu, dokter akan mengisolasi sel limfosit, lalu mengembangkannya. Dalam proses ini, faktor pertumbuhan sel, seperti interleukin-2 (protein yang dibuat oleh tubuh untuk mendorong penggandaan dan pematangan sel guna melawan infeksi), ditambahkan.
Limfosit adalah sel darah putih yang berada dalam darah dan jaringan getah bening. Sel ini berperan seperti tentara yang berperang melawan kanker. Bila jumlah limfosit menurun, kanker bisa tumbuh atau bangkit kembali.
Ada tiga jenis limfosit yang ada dalam darah, yakni limfosit B alias sel B, yang membuat antibodi; limfosit T (sel T), yang membantu membunuh sel tumor dan mengendalikan respons imun; serta sel-sel pembunuh alami yang menghancurkan sel yang terinfeksi. Jika dalam tubuh pasien tidak ada limfosit yang kuat untuk dibiakkan, dokter bisa mengambilnya dari darah orang lain, lalu dicampurkan dengan darah pasien. ”Lebih bagus dari darah keluarga,” ujar Liu.
Proses kultur sel limfosit butuh waktu 7-12 hari. Menurut pengalaman Marliyah, sepuluh hari kemudian hasil proses pengembangan limfosit di laboratorium tersebut ditransfusikan ke tubuhnya lewat jarum infus. ”Cairannya berada dalam infus botol besar,” katanya. ”Cairan itu masuk ke tubuh dan habis tak sampai satu jam.”
Salah satu kontraindikasi dari imunoterapi adalah demam, meski tidak berlangsung lama. Marliyah mengatakan suhu tubuhnya meningkat selama dua hari. Demam ini mirip dengan reaksi tubuh saat mendapat suntikan vaksin.
Hingga saat ini Marliyah sudah tiga kali menjalani imunoterapi, yakni setahun setelah perawatan awal, yakni pada 2006, lalu diulangi pada 2007 dan 2008. Ia dinyatakan bersih dari sel kanker pada 2007. Meski sudah dinyatakan bersih, tahun ini Marliyah disarankan menjalani kembali imunoterapi. Namun ia mengaku belum sempat. Untuk mendapatkan hasil maksimal, dokter Liu dan kawan-kawan memang menganjurkan agar imunoterapi dilakukan tiga-enam kali.
Cuma, jangan membayangkan ada efek langsung yang dirasakan pasien, semisal tubuh mendadak sontak menjadi lebih segar. Maklum, kekuatan imunoterapi lebih pada pembentukan antibodi untuk memerangi kanker. Khasiat terapi ini bisa dirasakan setelah terapi utama untuk mengatasi kanker, seperti operasi pengangkatan kanker, kemoterapi, dan radioterapi, dijalani sampai tuntas. Itu sebabnya imunoterapi merupakan pilihan yang disarankan oleh dokter sebagai bagian dari proses menyeluruh pengobatan kanker.
”Tidak ada paksaan,” ujar Marliyah. Imunoterapi dijalani karena ia meyakini bahwa mengobati kanker tidak bisa sepotong-sepotong. Sebab, jika pengobatannya tidak tuntas, sel-sel yang tidur bisa bangkit dan menggerogoti tubuhnya lagi.
Salah satu pasien kanker yang emoh menjalani imunoterapi adalah T. Fachrutdin. Pria 66 tahun ini terkena kanker prostat dan berobat ke RS Fuda. ”Saya kan masih stadium II. Daya tahan tubuh saya masih kuat,” kata warga Jakarta ini.
Alasan lain, Fachrutdin mengakui isi kantongnya memang tidak tebal. Pada 2009, ketika ia berobat ke Fuda, biaya sekali imunoterapi sekitar Rp 20 juta. Sekarang biayanya sudah berlipat-lipat, yakni 19.900-40.000 yuan Cina. Dengan kurs 1 yuan adalah Rp 1.600, minimal ia mesti menyiapkan Rp 32 juta. Belum biaya lain-lain. Walhasil, di Fuda, Fachrutdin hanya menjalani cryoteraphy alias terapi beku. Ini adalah terapi membunuh sel kanker dengan menggunakan suhu ekstradingin untuk membekukan sel kanker. Setelah cryotherapy beres, baru ia menjalani kemoterapi.
Menurut Barlian Sutedja, dokter spesialis bedah dari RS Gading Pluit, Jakarta, yang penanganan kankernya ”berkiblat” ke RS Fuda, imunoterapi tidak hanya dikenal untuk membunuh sel kanker, tapi juga buat menangani penyakit lain. Misalnya penyakit lupus dan rematik. Bedanya, menurut dokter Teguh Widjajadi, kolega Barlian di RS Gading, dalam imunoterapi untuk kanker, sel-sel dirangsang buat melawan kanker. ”Kalau dalam penyakit lain, sel-sel ditekan agar tidak terlalu merusak badan sendiri,” kata Teguh, yang hadir dalam International Forum on Cancer Treatment di RS Fuda.
Khusus imunoterapi untuk kanker, menurut Barlian dan Teguh, hingga saat ini belum ada rumah sakit di Indonesia yang menerapkannya. Peralatan dan laboratorium untuk mengisolasi dan mengembangkan limfosit ada, tapi belum ada orang yang menekuni terapi ini secara mendalam. ”Di Indonesia, persiapan untuk melakukan terapi ini belum matang. Biayanya juga tinggi,” ujar Barlian.
Seperti dokter Liu, Barlian menekankan bahwa imunoterapi hanya salah satu pendukung dalam pengobatan kanker. Bagaimanapun, kanker tidak bisa diobati dengan satu macam terapi atau terapi tunggal. ”Imunoterapi itu penunjang, dan saya lihat cukup baik hasilnya,” ucapnya.
Mustafa Ismail
Proses Imunoterapi
- Darah pasien diambil.
- Sel limfosit pada darah diisolasi, lalu dikembangkan. Dalam proses ini, faktor pertumbuhan sel, seperti interleukin-2, ditambahkan.
- Sel limfosit dikembangbiakkan. Jika dalam tubuh pasien tidak ada limfosit yang kuat untuk dibiakkan, dokter bisa mengambilnya dari darah orang lain, lalu dicampurkan dengan darah pasien.
- Hasil proses pengembangan limfosit di laboratorium tersebut ditransfusikan ke pasien.
- Sel limfosit dikembangbiakkan dalam jumlah banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo