Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUPA S. Teddy Darmawan menggelar semacam catatan harian di Galeri Salihara, Jakarta, sepanjang Juni ini. Catatan harian itu berupa gambar-gambar dalam sejumlah kertas panjang, yang sebagian dibentangkan di dinding galeri, sebagian lagi digulung dan dipasang pada kotak berkaca dengan sumbu pemutar sedemikian rupa sehingga gulungan kertas bisa dibentangkan ketika sumbu diputar.
Sebenarnya Teddy, 43 tahun, tak hanya sibuk dengan garis. Ia termasuk perupa yang menjelajahi beragam media (pensil, grafis, hingga cat) dan bentuk (dwimatra hingga trimatra). Dari penjelajahan itu, saya menduga ia paling akrab dengan garis. Bahkan, menurut saya, ia berangkat dari garis, yang ia sadari atau tidak. Setidaknya, dalam hal catatan harian itu, media garis memang terasa lebih tepat. Yang hendak ia catat dan gagas bisa dengan cepat ia tuangkan pada kertas dengan (umumnya) tinta dan pena atau kuas.
Dengan bentuk yang ia sukai, catatan itu mengalir dengan mudah. Ia tak peduli detail. Tak ada, atau jarang sekali, misalnya, goresan yang menunjukkan lekuk pada telapak tangan atau kerut di seputar mata atau pada dahi. Namun, secara anatomis, gambar-gambar figur itu tidak janggal, semua terletak pada tempatnya—ibarat kalimat, tak ada kerancuan subyek, predikat, obyek, keterangan, dan sebagainya.
Tak adanya detail tidak berarti dalam menggambarkan obyek Teddy hanya menghadirkan tanda yang esensial—asalkan itu dikenal sebagai figur, pohon, batu, dan sebagainya. Ia tak meringkas bentuk menjadi inti sarinya. Yang dilakukan Teddy, ibarat menulis, ia menghilangkan "kata" bilamana itu dirasa "mengganggu", tapi secara keseluruhan kalimat itu tetap bisa dipahami dan tetap menyampaikan apa yang hendak dikatakan dan diekspresikannya.
Dengan demikian, tetap saja yang Teddy gambar adalah figur yang "sempurna", bukan "cacat". Menurut saya, inilah kenapa gambar-gambar kepala (yang rasanya begitu digemari perupa ini) tidak terkesan hasil dari mutilasi, tidak terkesan sadis.
Dan yang Teddy utarakan agaknya berbagai fantasinya, kenangannya, gambaran-gambaran yang melintas di kepalanya, renungannya tentang suatu hal, mimpi-mimpinya. Singkat kata, suatu mindscape, begitu Jim Supangkat menyebutnya pada catatan kuratorial pameran Teddy di Bali beberapa waktu lalu.
Tentu saja ini bukan sebuah catatan harian biasa, yang berkisah dan urut sesuai dengan waktu. Ini catatan harian—seperti sudah disinggung—tentang gambaran-gambaran yang muncul di kepalanya, gambaran-gambaran sebagai wujud representasi renungan atau pemikirannya.
Dari mana datangnya gambaran-gambaran itu, saya kira dari keseluruhan diri Teddy—hidup sehari-hari dalam lingkungannya, fantasinya, mimpinya, dan sebagainya. Ia ingin berbagi dengan orang lain tentang itu semua. Tentang pohon yang berbuah mata, tentang kepala-kepala yang tumpang-tindih, tentang kepala-kepala kecil dalam kepala besar, tentang anak panah yang membentuk jantung, dan sebagainya.
Sebagian besar—bahkan mungkin semua—gambar dalam semacam catatan harian ini sudah pernah digambarnya. Namun dalam sebuah "buku", ketika gambar-gambar disandingkan, rasanya ada sesuatu yang lain. Dari "catatan harian" ini terasa benar bahwa lanskap kenangan, pemikiran, imajinasi, dan mimpi Teddy begitu tak terduga. Campuran dari itu semua—pemikiran, imajinasi, mimpi, dan sebagainya—menjadi gambar yang tak mengingatkan bentuk "duniawi".
Dalam hal itu, Teddy berbeda dengan, misalnya, Eko Nugroho. Gambar-gambar Eko, menurut saya, lebih merupakan Âolahan fantasi dari bentuk-bentuk yang ia sukai, dan betapa pun muskilnya, gambar itu masih terasa "duniawi". Misalnya gambar-gambar Eko mengingatkan pada gambar animasi pada bentuk robot.
Bahkan pada kertas yang tak sama sekali putih kosong—di kertas itu sudah ada beberapa gambar kodok (tampaknya hasil cetak digital)—gambar Teddy tak membawa persepsi saya ke alam nyata. Justru kodok itu, di antara gambar-gambar yang dibuat Teddy kemudian, menjadi kodok yang tak nyata, menjadi bagian dari, misalnya, mimpi Teddy.
Kalau pameran ini oleh kurator disebut "Jalan Gambar", mungkin karena sepenuhnya media yang digunakan Teddy adalah garis dan dibuat dengan tinta, bukan cat (di Malaysia, painting diterjemahkan dengan kata "catan", dari kata "cat"). Di Indonesia yang berkembang memang lukisan cat minyak (dan kemudian akrilik), sedangkan bahan-bahan lain—pensil, tinta, krayon, dan arang—tak digemari. Dengan demikian, karya seni rupa dwimatra bermedia di luar cat minyak, dengan segala karakter yang dimiliki bahan tersebut, tak berkembang. Penggalian karakter pensil dan tinta tak terdengar. Pernah Galeri Andi, Jakarta, membuat pameran gambar. Ternyata karya-karya yang dipamerkan lebih-kurang senada dengan karya-karya cat minyak peserta.
Lalu bagaimana dengan Teddy? Sementara ini, saya kira Teddy berkebalikan dengan umumnya perupa Indonesia dalam melukis. Seni rupa Teddy adalah seni rupa berkarakter garis, dan ia berkembang dengan garis. Lukisan-lukisan cat minyak Teddy "terpengaruh" karya Teddy dengan pensil atau tinta.
Dari hipotesis itulah sesungguhnya, disadari atau tidak, Teddy lebih mengembangkan seni rupa non-cat yang modal utamanya adalah garis—umumnya disebut gambar. Dan garis Teddy adalah garis "liris", dalam pengertian garis untuk mengutarakan ekspresi atau pemikiran yang bukan meniru bentuk seperti tampak mata. "Rasa" garis dan bentuk pada karya Teddy menyatu, menjadi pembentuk utama suasana.
Maka kita pun menikmati, merenungi, dan ikut berimajinasi bersama karya-karya yang dibentang di sepanjang dinding melengkung Galeri Salihara, dan sejumlah karya yang ditaruh sebagai gulungan sedikit terbuka dalam kotak bersumbu, sehingga karya itu bisa dilihat dengan cara memutar sumbu kotak.
Seberapa jauh "Jalan Gambar" akan mempengaruhi seni rupa Indonesia ketika sebuah pameran gambar yang Âdiikuti sejumlah perupa dari masa "modern" dan "kontemporer" ternyata tak Âbergema? Di masa ketika pasar begitu berpengaruh, saya kira ini akan tergantung seberapa laku dan mahal gambar-gambar Teddy terjual. Apa boleh buat, ketika kita tak punya museum seni rupa dan buku-buku tentang seni rupa pun langka, bahkan penulisan seni rupa sehari-hari nebeng di media massa umum, kekuatan pasar tampaknya tanpa pesaing.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo