Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALANAN di RW 12, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, terlihat sangat kotor. Lumpur dan sampah menutupi aspal yang penuh lubang. Malam itu, Selasa pekan lalu, hujan baru saja turun dan membuat becek jalan selebar dua meter yang terletak di bantaran Sungai Ciliwung tersebut. Tapi lumpur dan sampah yang dibawa luapan sungai itu tak mengganggu aktivitas penduduk. Ada yang duduk di atas sofa kusam di depan rumah, tidur dalam gerobak lapuk, atau makan bakso di pinggir jalan becek. "Sudah biasa begini, kalau hujan pasti becek," ujar Harti Mulyadi, 38 tahun, yang tinggal di sana.
Becek, bahkan banjir, tentu menjadi langganan. Maklum, mereka tinggal di bantaran sungai, yang sebenarnya bagian dari sungai juga. Di musim kemarau, bantaran memang kering karena debit air yang kecil. Tapi, di musim hujan, bantaran akan tersapu luapan air. Kawasan itu seharusnya memang tidak ditinggali. Tapi kini di bantaran CiliÂwung ada lebih dari 30 ribu orang tinggal. Selain tak layak, bahkan berbahaya, tinggal di bantaran sama dengan menyumpal sungai. Lebar Sungai Ciliwung menyempit, dari 50-60 meter menjadi 15 meter. Akibatnya, hujan sedikit saja, Ciliwung luber.
Memindahkan penghuni bantaran CiliÂwung memang harus dilakukan, tapi itu tak mudah. Perlu dicarikan tempat tinggal baru yang tak terlalu jauh dari sana agar tidak memutus rantai ekonomi mereka. Masalahnya, mencari lahan kosong di dalam Jakarta yang bisa menampung mereka tidaklah mudah. Sudah penuh. "Untuk mengatasi kebutuhan lahan itu sebenarnya kita bisa memanfaatkan air rights ruang publik," kata arsitek sekaligus anggota Tim Ahli Teknis Rumah Susun Sederhana Sewa di Kementerian Perumahan Rakyat, Didi Haryadi.
Air rights adalah hak untuk memanfaatkan ruang di atas sebidang bangunan. Dalam kasus ini, yang dimaksud adalah memanfaatkan ruang di atas bangunan atau sarana milik negara. Awalnya Didi menawarkan pembangunan rumah susun di atas Kali Ciliwung. Rumah susun itu nantinya akan mengangkangi sungai, sehingga tidak butuh lahan baru. "Dari hitung-hitungan teknis, ini bisa dilakukan. Tidak berbahaya sama sekali," ucap Didi. Masalahnya, Kementerian Pekerjaan Umum, yang bertanggung jawab atas sungai, belum berani melakukan itu mengingat tidak ada aturan yang memayunginya.
Didi kemudian menawarkan tempat lain: di atas pasar. "Selama ini pasar hanya punya tiga lantai. Dengan demikian, di atasnya masih bisa dimanfaatkan untuk rumah susun. Rencana ini disetujui pemerintah. Pemerintah DKI Jakarta, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama untuk membangunnya. Anggaran sebesar Rp 600 miliar sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei lalu. "Kami (pemerintah Jakarta) hanya menyediakan lahan, lalu mereka (Kementerian Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum) yang membangun di atasnya," ujar Kepala Dinas Perumahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jonathan Pasodung, Jumat dua pekan lalu.
Pasar yang akan digunakan nantinya adalah Pasar Rumput dan Pasar Minggu—keduanya di Jakarta Selatan. Selain itu, pembangunan rumah susun ini akan memanfaatkan lahan bekas kantor Dinas Teknis DKI Jakarta di Jatinegara, Jakarta Timur. Jonathan menambahkan, rencana pembangunan dua rumah susun sewa terpadu di Pasar Rumput dan Jatinegara bakal dimulai September mendatang. "Estimasi perencanaan selesai Juli tahun depan," katanya. Bulan ini tender untuk pembangunan rumah susun di atas Pasar Rumput akan dilakukan.
Di atas Pasar Rumput akan dibangun 3.240 hunian. Ini bisa menampung sekitar 2.900 keluarga yang tinggal di bantaran Ciliwung—dari Manggarai sampai Kampung Melayu. Sedangkan di Jatinegara 880 hunian. Untuk rumah susun Pasar Rumput, pembangunan dikerjakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. Sedangkan rumah susun Jatinegara ditangani Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum di atas lahan 7.000 meter persegi.
Pembangunan rumah susun di atas pasar punya problem tidak sederhana. Menyatukan tempat tinggal dan pasar pasti akan menimbulkan dampak sosial. "Karena itu, pasar harus dibuat nyaman," ujar Didi. Nantinya Pasar Rumput hanya akan berlantai satu dan bisa menampung 1.700 pedagang. "Langit-langitnya dibuat tinggi, setinggi tiga lantai, agar tidak sumpek dan pengap. Penataan pasar tidak boleh lagi jorok," dia menambahkan.
Pasar akan diletakkan di bagian paling bawah, sedangkan hunian ada di atasnya. Di antara dua fungsi ini ada semacam "bumper", ruangan kosong. Gunanya untuk tempat berkumpul penghuni di waktu luang. Ruang terbuka bersama juga berfungsi sebagai pembatas hiruk-pikuk pasar dengan hunian yang lebih bersifat pribadi.
Ruang terbuka bersama ini didesain tidak menggunakan atap agar penghuni dapat menikmati udara bebas. Di ruang ini juga disediakan taman bermain anak dan kursi permanen untuk berbincang. Ruang terbuka ini juga dapat digunakan sebagai tempat pertemuan atau acara bersama, seperti musyawarah warga. "Tempat untuk bersosialisasi ini penting karena warga kelas menengahi-bawah tidak memiliki opsi hiburan yang banyak," kata Didi.
Di atas ruang terbuka bersama barulah dibangun hunian yang terdiri atas 2 menara dengan 24 lantai. Luas tiap unit hunian hanya 30 meter persegi dan didesain mampu menampung 1 keluarga yang terdiri atas 4 orang. Ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu dapur di dalamnya. Rencananya harga sewa tiap hunian sekitar Rp 300 ribu. "Sengaja tidak dijual karena itu kan berdiri di atas lahan negara. Selain itu, kalau dijual biasanya dibeli orang lain yang lebih mampu," ujar Didi.
"Konsep ini bagus karena memberi akses mudah kepada orang yang tinggal di sana ke pusat ekonomi," kata ahli tata kota Yayat Supriatna. Namun dia menekankan pentingnya sosialisasi. Maklum, penghuni rumah susun itu nantinya adalah orang yang selama ini tinggal di bantaran kali. "Kalau tidak disosialisasi dengan baik, akan jadi kumuh. Ruang bersama akan diklaim menjadi milik sendiri. Jadi sangat perlu pendampingan," ucap Yayat.
Bukan hanya itu, sosialisasi saat relokasi juga penting. Meski rumah susun ini nantinya lebih layak huni dan menjauhkan penghuni bantaran kali dari bahaya banjir, tak semuanya bisa menerima. Salah satu kendalanya adalah uang sewa. Maklum, selama menjadi penghuni liar bantaran kali, mereka tak dipungut biaya apa-apa, bahkan tak ada pajak bumi dan bangunan.
Selain itu, meski jarak rumah susun ini tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka sekarang, pemindahan tetap memberi dampak. Harti, misalnya. Ia lebih senang tinggal di daerah yang sempit dan kotor karena dekat dengan sekolah anak-anaknya dan tempat suaminya bekerja di Depo Kereta Bukit Duri. "Dari sini ke tempat bapaknya kerja bisa jalan kaki saja," katanya. "Kalau pindah, perlu ongkos lagi. Jauh juga dari tempat kerja dan sekolah anak."
Pekerjaan rumah lainnya adalah sosialisasi kepada para pedagang pasar agar mereka tidak menyangka pelaksanaan proyek ini berarti penggusuran. Pemerintah Provinsi DKI menyerahkan hal itu kepada Perusahaan Daerah Pasar Jaya. Sayangnya, hingga kini PD Pasar Jaya mengaku belum berkoordinasi dengan pemerintah Jakarta. "Belum sampai ke kami rancangannya dan rencana pembangunannya," ujar Humas PD Pasar Jaya Agus Lamun saat dihubungi Tempo, Kamis dua pekan lalu. "Karena itu, sampai sekarang kami masih belum bisa melakukan sosialisasi ke pedagang," katanya.
Sejumlah pekerjaan rumah itu tentu harus diselesaikan. Tapi pemindahan penghuni bantaran kali juga mesti dilakukan. "Hanya dengan pemindahan seperti itu fungsi Ciliwung bisa dinormalkan," ucap Didi.
Cheta Nilawaty, Andi Perdana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo