Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBANYAK 50-60 peserta program Mindful Escape berdatangan ke kawasan hutan di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka mengikuti program healing di alam terbuka yang diselenggarakan setiap dua atau tiga bulan oleh oleh startup Bersama Lewati yang dibentuk Yayasan Pemuda Hijrah Indonesia, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama dua hari satu malam mereka mengikuti Mindful Escape yang digelar di lokasi Forest Camp yang dikelola Yayasan Pemuda Hijrah Indonesia yang diinisiasi Ustad Hanan Attaki di kaki Gunung Manglayang. Mindful Escape adalah kegiatan relaksasi di alam terbuka untuk mengusir kepenatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Maksud dan tujuan programnya untuk menghadirkan pengalaman secara eksklusif kepada peserta yang ingin melepaskan stres secara berkepanjangan,” kata Rizky Putra Amandafa, Creative Marketing Strategy Yayasan Pemuda Hijrah Indonesia, kepada Tempo, Rabu, 16 Oktober 2024.
Berbiaya sekitar Rp 3 juta per orang, kuota per angkatan kerap penuh selama 17 kali program tersebut digelar. Rizky memaparkan, beberapa peserta yang tidak kebagian jatah kadang dialihkan ke program berikutnya.
Peserta mengikuti kegiatan forest bathing yang diadakan Pondok Ashitameru di kawasan Poncokusumo, Malang, Jawa Timur./Dok Pondok Ashitameru
Menurut Rizky, sasaran utama program tersebut adalah menggaet warga kota besar, seperti Jakarta dan sekitarnya. Mereka dinilai rentan mengalami stres dengan kesehatan mental yang terganggu. “Seperti depresi hingga ingin bunuh diri karena masalah pekerjaan, keuangan, atau hubungan dengan orang lain,” ujarnya.
Peserta lain berasal dari Bandung dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Malaysia. Mereka datang dengan perbekalan menginap yang cukup, sementara urusan akomodasi dan makan ditanggung panitia penyelenggara.
Rizky menerangkan, usia peserta kegiatan itu 25-45 tahun dan mayoritas perempuan berumur kurang dari 35 tahun. “Kami menyasar orang-orang yang level gangguan kesehatan mentalnya masih rendah, enggak separah orang dengan gangguan jiwa,” katanya.
Melibatkan konselor, pelatih profesional, dan mentor, panitia penyelenggara menyiapkan sembilan program terapi pemulihan di alam terbuka. Program itu dimulai dengan pelatihan lewat kelas seminar untuk memberikan wawasan tentang isu kesehatan mental.
Kemudian ada mindful breathing untuk melenyapkan stres dan melepaskan emosi lewat pola pernapasan. Meditasi di alam terbuka juga digunakan untuk relaksasi dan melepaskan stres. “Kami membuka kesadaran peserta untuk berfokus dan menyingkirkan mental block,” ujar Rizky.
Peserta juga diajak menerapkan mindful eating, yaitu makan dengan penuh kesadaran dan fokus, tidak terburu-buru atau sambil bermain telepon seluler. Aktivitas lain adalah sesi penyembuhan diri dan pelepasan emosi via flora dan fauna. Praktiknya antara lain merangkul pohon serta mengusap dan memberi makan hewan atau berjalan-jalan dengan kuda yang disiapkan panitia.
Kegiatan lain dalam program Mindful Escape adalah diskusi spiritual, zikir, dan doa untuk menenangkan jiwa. Lalu peserta membuat rencana atau aksi nyata untuk menghilangkan stres. Pada malam hari, peserta diajak berkumpul untuk makan juga menyanyi bareng.
Kegiatan terapi pemulihan diri di hutan dan alam terbuka yang dikenal dengan forest healing atau forest bathing belakangan ini kian marak. Sebagian besar pesertanya anak muda dari sejumlah kota di Indonesia dan mancanegara.
Selain program Mindful Escape, kegiatan terapi pemulihan di hutan digelar tim dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat. Koordinator tim, Hammad Zahid Muharram, mengajak belasan mahasiswanya mengikuti kegiatan healing di kawasan hutan di lereng Gunung Mandalawangi di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut, Jawa Barat, pada 11 September 2024.
Pesertanya adalah mahasiswa program pertukaran dari Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, dan mahasiswa psikologi Universitas Padjadjaran. Mereka diajak menjelajah ke tempat baru yang sangat berbeda dengan lingkungan keseharian.
Para peserta yang dipandu tim dosen berjalan kaki menyusuri lereng pegunungan yang basah dan agak licin setelah tersiram hujan. Rutenya dimulai dari sebuah pondok sebagai titik singgah awal, kemudian mereka menyusuri ladang tanaman hingga terus naik dan menerobos semak tanpa jalan setapak.
Anneliese Valerie Ong alias Annel yang mengikuti kegiatan forest healing itu mengaku terkesan dan banyak mendapat pengalaman baru. Dia sengaja bertelanjang kaki agar telapak kakinya merasakan langsung tanah dan alas hutan yang basah tersiram hujan.
Separuh perjalanan itu kemudian terbayar dengan pemandangan lembah yang indah dan deretan pegunungan serta lautan awan putih di kejauhan. Di tengah suasana yang tenang itu, Annel merasakan hawa dingin. Telinganya menangkap suara pepohonan yang bergerak tertiup angin dan kicau burung, sementara hidungnya menghidu kuat bau tanah basah.
Untuk pertama kalinya juga Annel yang tidak suka minum kopi mencicipi buah kopi yang merah dan terasa manis di ladangnya. Ketika dia diminta memeluk dan berbicara dengan pohon, awalnya dia merasa aneh dan bingung. “Aku bercerita yang dirasakan saja, lama-lama mengalir seakan-akan lagi ngobrol sama seorang teman,” ujarnya.
Awalnya dia menceritakan perjalanannya ke tempat itu, juga aktivitas harian dan kuliahnya. Lalu, sambil duduk dengan suara pelan, Annel juga berkisah tentang rasa kesepian. Sebagai anak rantau dari Medan yang tanpa kerabat di Bandung, ia berharap bebannya bisa berkurang setelah berinteraksi dengan pohon. “Mungkin pohonnya bisa merasakan sedikit,” katanya.
Annel mengaku kadang merasa sedih karena hidup jauh dari keluarga. Apalagi akhir tahun ini dia tidak bisa pulang karena wajib mengikuti kuliah kerja nyata. Meskipun komunikasi dengan orang tua sering dilakukannya lewat gawai, dia tetap merasa berjarak.
Peserta lain, Melani Putri Rosa, memilih berbincang dengan tanaman yang bunganya sedang mekar di samping sebatang pohon. Bunga itu, menurut dia, bisa tumbuh dengan cantik walau berhadapan dengan angin, hujan, dan panas sehingga terasa berhubungan dengan pengalamannya.
“Kalau saya juga berhadapan dengan tantangan perkuliahan dan berorganisasi serta tekanan dari luar,” ujar perempuan 21 tahun itu. Dia ingin bisa seperti bunga itu dan memberikan hasil yang baik kepada orang-orang di sekitarnya.
Dari kegiatan forest healing itu, Melani mendapat wawasan yang mendalam ketika mengapresiasi alam dengan mengaktifkan pancaindra. Ketika dijauhkan dari gawai yang biasa dipakai, ia merasa tenang karena bisa lepas sejenak dari kejaran sesuatu dan tekanan.
Sedangkan Annel yang menyukai suasana hutan merasa puas dan senang pada forest healing. “Aku membiarkan jiwaku bebas, enggak takut kotor, sakit, luka, terobos aja,” tuturnya.
Annel tidak sekadar datang dan melihat pemandangan. Pengetahuannya tentang alam pun bertambah. Refleksinya di hutan membuatnya tenang, bahagia, dan puas pada kehidupannya. Annel ketagihan mengikuti kegiatan healing di hutan untuk menikmati sensasinya.
Di bagian akhir program, peserta diajak turun ke sungai, bermain dengan air, dan mencoba menangkap ikan dengan menggunakan jala. Menurut Hammad Zahid Muharram, serangkaian kegiatan itu bukan tanpa makna, melainkan dilakukan agar pancaindra peserta bisa teraktivasi dan terkoneksi dengan empat elemen alam, yaitu tanah, air, udara, dan api.
“Fungsinya, selain mereduksi stres, agar peserta merasakan kehadiran mereka dalam ekosistem yang lebih luas,” ucap koordinator tim dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran itu.
Penyelenggara ikut menerapkan prinsip mindfulness yang mengajak peserta sepenuhnya hadir dalam kegiatan healing tersebut. Zahid mencontohkan aktivasi dan koneksi indra perasa dengan elemen tanah lewat cara berjalan tanpa alas kaki serta interaksi indra penciuman dengan elemen udara, seperti mencium aroma bunga dan pohon di hutan.
Sedangkan elemen api dimaknai sebagai kehangatan yang dirasakan peserta ketika berbicara kepada pohon dan memeluknya. Cara itu dinilai dapat menjadi alternatif atau solusi ketika orang takut berbincang dengan orang lain karena bisa dihakimi atau dianggap macam-macam.
Dalam kegiatan kegiatan healing itu, peserta juga dibekali kaca pembesar untuk melihat aneka serangga di hutan. Dengan begitu, Zahid melanjutkan, proses terapeutik itu tidak hanya melibatkan unsur emosional, tapi juga unsur kognitif peserta.
Seorang peserta Walking With Me Healing Journey melakukan terapi memeluk pohon di kawasan destinasi wisata Bumi Perkemahan Pleseran, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu./Dok. Walking With Me Healing Journey
Zahid memaparkan, penyelenggara masih berupaya menyusun metode baku forest healing tersebut. Saat ini mereka mengadaptasi prinsip shinrin-yoku atau forest bathing dari Jepang.
Zahid menjelaskan, forest healing adalah pendekatan untuk memulihkan kondisi psikologis seseorang dengan cara menghubungkan diri dengan alam. “Walau namanya healing, bukan berarti untuk menyembuhkan, melainkan hanya membantu meredakan perasaan sedih, marah, emosi, dan lain-lain,” ujarnya.
Sebelum kegiatan berlangsung, tim dosen memeriksa kondisi kesehatan peserta, dari tekanan darah, detak jantung, hingga kecukupan tidur. Sebab, kondisi fisik bisa mempengaruhi mental seseorang. Selain itu, ditanyakan soal pengalaman peserta yang signifikan dalam tiga bulan terakhir.
Berbeda dengan aktivitas hiking atau mendaki gunung, Zahid menjelaskan, forest healing dirancang tanpa melibatkan olah fisik. Karena itu, peserta cukup berjalan pelan dan area jelajahnya sangat dibatasi, tidak lebih dari radius 2 kilometer. “Ritme jantung peserta dijaga agar selalu pelan, stabil, tidak sampai deg-degan,” tuturnya.
•••
METODE terapi healing di hutan dan alam terbuka juga ditawarkan Acintya Sakti, konselor kesehatan mental asal Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, lewat program Walking With Me Healing Journey. Acintya menggelar program tersebut di kawasan Bumi Perkemahan Pleseran, Tawangmangu, Karanganyar, yang berudara segar dan sejuk khas daerah pegunungan.
Program healing tersebut dimulai dengan mengajak peserta duduk berlesehan untuk rileks sejenak sambil menikmati panorama alam dan sejuknya udara pagi. Lalu, dengan suara lembut, Acintya memandu terapi.
Diawali dengan berdoa, Acintya meminta peserta menulis pada selembar kertas tentang perasaan yang tengah dirasakan. Setelah itu, ia meminta peserta menggambar sesuatu yang sedang terlintas di pikiran. “Nah, sekarang silakan ceritakan apa yang dirasakan tersebut, juga arti gambar yang sudah dibuat,” katanya.
Dalam serangkaian terapi yang Tempo ikuti pada Senin pagi, 14 Oktober 2024, itu, ada pula sesi meditasi dengan iringan musik nan lembut. Selama meditasi berlangsung, tak lupa Acintya mengingatkan peserta agar senantiasa bersyukur kepada Tuhan atas anugerah dalam hidup dan bersikap ikhlas.
Acintya memprakarsai program Walking With Me Healing Journey sebagai sebuah perjalanan penyembuhan bagi mereka yang mengalami luka batin dan trauma masa lalu. Program itu berawal dari pengalaman dia sendiri yang pernah menghadapi permasalahan hingga harus berkonsultasi kepada psikolog.
Namun upaya itu belum maksimal membantu Acintya menyelesaikan permasalahan. Jadi ia pun kemudian belajar self-healing dan mempraktikkannya sendiri. “Dari situ saya merasa terbantu hingga mampu menyelesaikan masalah pribadi saya,” ujarnya.
Acintya kemudian mencoba membantu orang lain mengatasi permasalahan mereka. Ia mengikuti sertifikasi konselor dan penyembuhan energi Reiki dan Shambala.
Program Walking With Me Healing Journey yang ia ciptakan terinspirasi dari metode shinrin-yoku, yakni kebiasaan tradisional orang Jepang melakukan forest bathing atau “memandikan” diri sendiri di hutan atau dengan suasana alami untuk memperoleh manfaat terapeutik.
Tradisi shinrin-yoku dimulai pada 1980-an dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat Negeri Sakura karena memberikan banyak manfaat untuk kesehatan jiwa. “Shinrin-yoku merupakan metode terapi kuno di Jepang dengan cara mendekat dengan alam, termasuk hutan,” tuturnya.
Dalam metode tersebut, Acintya menambahkan, orang yang melakukannya akan terhubung dengan alam di sekitarnya. Tubuh serta pikiran akan menyerap energi positif dari berbagai elemen pembentuk hutan, seperti pepohonan, tanah, air, embusan udara, makhluk hidup, dan apa pun yang ada, untuk kemudian melepaskan energi negatif dari dalam diri.
Sama halnya dengan metode shinrin-yoku, peserta program Walking With Me Healing Journey turut dikenalkan pada lingkungan hutan sebagai tempat pemandian jiwa dan raga untuk melepaskan energi negatif dan menyerap energi positif. Hal ini dilakukan dengan proses relaksasi terapeutik. Peserta harus meluangkan waktu di tengah suasana alami hutan dengan berfokus pada keterlibatan pancaindra dan batin mereka agar terhubung dengan alam sekitarnya.
Perjalanan pemulihan diri melalui metode terapi interaksi dengan alam tersebut menjadi pilihan pribadi bagi Acintya untuk membantu orang-orang sembuh dari kondisi trauma dampak luka emosional masa lalu. Dia mengungkapkan, masalah kesehatan mental masih sangat tabu. Kebanyakan orang yang sebenarnya sedang mengalami masalah kesehatan mental tidak mau berkonsultasi kepada psikolog lantaran takut dicap gila.
“Dan saya sebagai konselor kesehatan mental ingin memberikan sebuah saran preventif bahwa kita bisa menyembuhkan diri sendiri,” ucapnya.
Acintya mulai menawarkan layanan terapi atau konsultasi secara online sekitar setahun lalu. Adapun program Walking With Me Healing Journey baru dia tawarkan enam bulan terakhir. Karena program itu terbilang baru, Acintya menerangkan, peminatnya belum banyak, rata-rata ada tiga klien yang dia dampingi selama sebulan.
Aktivitas dalam program tersebut antara lain memacu kesadaran diri dengan latihan meditasi bernapas bebas di alam. Peserta juga melakukan grounding dengan menapaki tanah tanpa alas kaki, yang manfaatnya untuk menetralkan diri dari energi negatif dari dalam bumi.
Acintya menawarkan program secara online dan offline. Untuk program offline, ada dua paket yang terdiri atas terapi tiga jam dari pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Paket ini berbiaya Rp 222 ribu. Lalu ada paket dua hari atau dengan menginap semalam di Bumi Perkemahan Pleseran seharga Rp 555 ribu.
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran melakukan kegiatan forest healing di Gunung Mandalawangi, Rabu 11 September 2024./Dok.Unpad
Selama dua hari, peserta mendapatkan edukasi secara teori sekaligus praktik melepas trauma masa lalu, self-love, berdamai dengan diri sendiri, dan hipnoterapi menerapkan pola pikir baru yang positif. “Peserta juga diberi pemahaman tentang grounding, mindful breathing, dan forest bathing serta manfaatnya,” tutur Acintya.
Peserta juga dia ajari berinteraksi fisik dengan benda di sekitar hutan, seperti memeluk pohon, sebagai salah satu terapi pertukaran energi. Ada pula terapi di telaga, yakni mandi atau berendam untuk pembersihan energi negatif pada tubuh. “Pada prinsipnya, metode terapi ini adalah memanfaatkan energi positif dari alam sebagaimana dilakukan manusia pada zaman dulu,” katanya.
Acintya mengungkapkan, setiap pagi sebelum beraktivitas ia juga kerap menyambangi hutan pinus di kawasan Bumi Perkemahan Pleseran. Ia meyakini perasaan tenang dan bahagia ketika memeluk pohon selaras dengan fakta bahwa tanaman evergreen, seperti pinus dan cemara, melepaskan senyawa antimikroba phytoncide. “Aroma yang keluar dari pohon pinus bisa meredakan stres,” ujarnya.
Sebelum memeluk pohon, Acintya akan berdoa dan meminta izin dulu kepada pohon. Biasanya, saat memeluk pohon, ia juga membisikkan beberapa pesan. “Yang saya sampaikan, misalnya, ‘Pohon, maaf, ya, untuk semua proses yang kamu lewati sampai detik ini. Terima kasih sudah ada di bumi ini. I love you.’ Intinya bertukar energi positif,” ucapnya.
Dian, 30 tahun, merasakan manfaat program Walking With Me Healing Journey yang telah dia ikuti beberapa kali. Berawal dari permasalahan pribadi yang dia hadapi, Dian mengaku sering mencurahkan isi hatinya kepada Acintya. “Dari situ saya kemudian diajak menjalani terapi ini,” tutur warga Kabupaten Karanganyar itu.
Karena keterbatasan waktu, Dian memilih paket tiga jam untuk menjalani sesi terapi. Hasilnya, ia mengaku merasa lega dari persoalan yang sebelumnya terasa membebani hati dan pikirannya. “Yang jelas rasanya plong, lega, dan lebih tenang,” katanya. “Konsultasi dengan Mbak Acintya ini juga menjadi lebih nyaman karena merasa didengarkan. Netral.”
Klien Acintya lainnya, Nadia Della, juga merasakan manfaat program terapi healing di hutan tersebut. Awalnya Nadia berkonsultasi secara online. Warga Kediri, Jawa Timur, itu kemudian memutuskan mengikuti program offline-nya. “Saat itu saya mengambil privat bareng seorang teman dari Jawa Barat dan menginap di Tawangmangu,” ujarnya.
Setelah mengikuti program itu, Nadia mengaku perasaannya lebih plong. Ia juga kini lebih mampu menganalisis diri dan menjadi lebih percaya diri. “Beda, lah, dengan sebelumnya. Saya sebelumnya pemalu, tidak berani berbicara di depan publik. Kalau mau ngomong pasti mikir dulu, omongan saya berlebihan atau tidak, dan sebagainya. Tapi sekarang lebih percaya diri,” ucapnya.
•••
HUTAN pinus di kawasan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, juga menjadi tempat kegiatan healing. Salah satu penggagasnya adalah Pondok Ashitameru, pengembang wisata minat khusus yang berbasis nilai-nilai lokal dan pelestarian alam. Direktur Pondok Ashitameru Purna Irawan mengungkapkan, paket wisata forest bathing pondoknya baru dibuka pada April 2024.
Berawal dari pandemi Covid-19, Purna melihat banyak orang jarang melakukan kegiatan fisik lantaran adanya kebijakan pembatasan aktivitas di luar rumah. Kurangnya aktivitas fisik ini berdampak pada kesehatan psikis seseorang. “Kalau sakit secara fisik, kan, ada obatnya. Kalau sakit psikis, menurut saya, harus dikembalikan ke alam,” kata Purna.
Warga perkotaan pun menjadi target utama Pondok Ashitameru dalam menjaring peserta paket mereka. Sebab, menurut Purna, orang-orang kota memiliki jam kerja yang cukup padat dan menguras fisik serta merasa jenuh terhadap rutinitas mereka. Apalagi mereka sering terpapar polusi. Dengan adanya forest bathing, Purna berharap warga perkotaan bisa punya tempat berkunjung.
Pondok Ashitameru mematok tarif untuk paket forest bathing seharga Rp 330 ribu per orang. Bila ditambah perkemahan, tarifnya menjadi Rp 460 ribu. Peserta bakal diajak melakukan serangkaian kegiatan. Mereka dilarang membawa ponsel agar lebih berfokus pada aktivitas.
Diawali dengan trekking dari Banyu Tamu menuju Banyu Biru, dalam perjalanan itu, peserta diajak melakukan nature breathing, yaitu menghirup udara segar. Kemudian mereka memeluk pohon untuk melepaskan stres dan beban pikiran. Di sesi ini, Purna menuturkan, ada beberapa peserta yang sampai menangis. “Mungkin mereka merasa curhat gitu, lebih intim, dan merasakan manfaat atau anugerah Tuhan yang sudah banyak diterima, tapi lupa mensyukurinya,” ujarnya.
Sesi berikutnya, peserta diajak meminum air dari mata air alami dengan kandungan mineral yang tinggi. Mata air ini terletak di Banyu Biru.
Noer Fauzi Rachman, pengajar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, menunjukkan biji kopi kepada mahasiswa dalam kegiatan forest healing di Gunung Mandalawangi, Rabu, 11 September 2024./Dok. Unpad
Lalu mereka mengadakan upacara minum teh. Purna mengatakan minuman yang disuguhkan adalah teh ashitaba yang diproduksi dan diolah sendiri. Tanaman herbal asal Jepang ini dikenal kaya akan antioksidan.
Setelah seharian forest bathing di area yang berbatasan dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu, peserta bisa menikmati pemandangan bintang-bintang di langit apabila mengambil paket berkemah.
Purna menuturkan, kebanyakan peserta yang mengikuti minat wisata forest bathing ini adalah anak-anak muda. Selain dilirik masyarakat lokal, wisata ini menarik wisatawan mancanegara. Pondok Ashitameru pernah mendampingi peserta dari Palestina, Jerman, Yordania, Mesir, Wales, Prancis, dan Swiss.
Untuk satu kali kegiatan forest bathing, Pondok Ashitameru hanya membuka slot bagi 10 orang. Pernah suatu kali ada sampai 15 peserta yang mendaftar. “Cuma, yang efektif 10 orang,” katanya. “Para peserta umumnya mengikuti kegiatan forest bathing untuk healing karena suntuk bekerja ataupun kuliah.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Anwar Siswadi dari Bandung dan Septhia Ryanthie dari Solo berkontribusi dalam penulisan artikel ini