Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang gadis Prancis mengamati dengan saksama seri lukisan Hunter Clowns, karya Tatang Ramadhan ÂBouqie, yang penuh warna terang. Lukisan itu terdiri atas empat panel setinggi orang dewasa, yang masing-masing menggambarkan seorang badut berpupur putih dan berhidung merah sedang menangkap "kupu-kupu" dengan jaring di tangan. Tapi "kupu-kupu" yang dikejarnya itu adalah ikan, jantung bertunas daun, kitab-kitab bersayap, dan otak bersayap. Di sekitarnya terdapat badut lain, wayang orang bertopeng, anjing, burung gagak, serta tokoh wayang, seperti Semar dan Petruk. "Ah, saya kenal wayang ini," kata gadis itu kepada teman di sampingnya.
Mereka adalah dua di antara sejumlah pengunjung yang menyaksikan pameran seni rupa kontemporer Indonesia "Picturing Pictures" di Ho Chi Minh City Fine Arts Museum di jantung Ho Chi Minh, kota di Vietnam yang dulu dikenal sebagai Saigon. Inilah pertama kalinya sebuah pameran seni rupa kontemporer Indonesia digelar di negara yang terhitung masih tetangga Indonesia di kawasan ASEAN itu. Panitia memperkirakan seribu orang telah mengunÂjungi pameran yang berlangsung selama dua pekan terakhir di bulan Juni lalu di gedung yang berdiri tepat di seberang Pasar Ben Thanh yang terkenal itu.
Seri lukisan Tatang itu memang paling besar di antara 26 lukisan karya 21 perupa muda dan senior yang dipajang di sana. Karya seniman kelahiran Bandung pada 1953 itu memenuhi seluruh dinding pada satu dari empat ruang museum yang digunakan untuk pameran ini. Meski banyak figur pada Hunter Clowns, jelas ada pola yang konsisten: setiap panel punya satu tokoh badut utama yang sedang menangkap "kupu-kupu", yang keluar dari figur lain. Figur-figur itu juga tersusun sedemikian rupa sehingga membingkai sang badut utama.
Yang menonjol pada karya seniman lulusan Institut Teknologi Bandung ini adalah pemakaian idiom populer, seperti badut, tokoh wayang, dan tokoh film kartun Bart Simpson, untuk menggambar dunia yang porak-poranda. Lihatlah telinga Semar bertindik pensil, Bart masuk penjara, dan sepasang pria-wanita menggigit kaki badut. Ada pula "superhero" berkepala tiga dengan lambang di dada bertulisan "from zero to zero".
Menurut Jim Supangkat, kurator pameran ini, salah satu ciri seni kontemporer adalah upayanya berkomunikasi dengan publik. "Itu sebabnya banyak seniman kontemporer yang memanfaatkan ikon budaya yang sudah dikenal agar dapat berkomunikasi dengan penikmatnya, karena komunikasilah yang lebih utama," ujar pria lulusan Fakultas Seni Rupa ITB ini. Hal itu berbeda, kata dia, dengan seni rupa modern, yang menekankan ekspresi pribadi senimannya, sehingga bahasanya lebih personal.
Penggunaan ikon-ikon budaya yang dikenal awam juga muncul pada lukisan lain. Heri Dono memakai idiom wayangnya yang khas dalam A Face Behind the Head. R. Sumantri memakai figur Kartini dalam R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Kartini dalam kebaya modern tampak berdiri dengan latar pola-pola batik yang separuh berwarna gelap dan separuh lagi terang. Gaya manga dan komik tampak pada The Journey karya Roeayyah Diana Prabandarie, Duel karya Andi Wahono, dan Caping karya Ridwan Nur. Kecuali Ridwan yang otodidak, semuanya lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Dalam lukisan, seniman sebetulnya berusaha mengidentifikasi realitas melalui gambaran. Namun, kata Jim, seniman kontemporer tidak lagi melukis untuk meniru kenyataan, seperti yang dilakukan seniman sebelumnya, tapi melalui gambar yang sudah jadi, seperti foto dan komik. Gagasan itulah yang kemudian menjadi tema pameran ini: menggambarkan gambar-gambar.
Tatang dan Heri Dono menggambarkannya melalui karikatur. Yang lain memakai gambar yang lazim muncul di buku komik. Ada pula seniman yang menggambar suatu gambar, misalnya foto, secara realistis. Lukisan realistis ini muncul pada Dia Menatapku #5 karya Agung Mangu Putra, yang melukis dengan rinci wajah seorang lelaki tua bermata muram. Merangkai Sejarah karya Cadio Tarompo, finalis Jakarta Art Award 2008, menggambarkan seorang anak berbaju merah dengan punggung berlambang bintang kuning, yang mengingatkan kita pada bendera Vietnam, sedang menyusun puzzle wajah seorang lelaki tua, yang mirip Paman Ho (Chi Minh), bapak bangsa Vietnam.
The Old Scale karya Chusin Setiadikara berisi potongan-potongan gambar timbangan, pedagang ikan, dan seekor ikan dalam timbangan. Backstage karya Masagoeng melukis tiga pose perempuan berkaus hitam berdasarkan foto. Adapun Bisa Membuat Aku Tersenyum karya Suwandi Waeng menggambar lukisan seorang gadis di bak belakang truk, lengkap dengan rincian cat yang terkelupas di sana-sini.
Pameran yang digelar Art Xchange Gallery Singapura ini didukung penuh oleh Konsulat Jenderal Indonesia di Ho Chi Minh, bekerja sama dengan Direktur Ho Chi Minh City Fine Arts Museum Ma Thanh Cao dan konsultan seni Vietnam, Thanh Kieu Moeller. "Pameran ini hendak menjembatani seni rupa Indonesia dan Vietnam, agar para seniman kedua negara dapat saling belajar," kata Direktur Art Xchange Gallery Benny Oentoro. Pada mulanya direncanakan akan ada karya seniman Vietnam juga, tapi belakangan diputuskan pameran ini hanya berfokus pada karya seniman Indonesia.
Seni rupa kontemporer di sana belum berkembang sepesat di Indonesia, sehingga pameran ini juga upaya memperkenalkan wajah seni rupa kontemporer kepada masyarakat negeri itu. "Saya menyusun pameran ini agar tidak terlalu progresif," ujar Jim. Itu sebabnya yang dipilih adalah lukisan, bukan video seni dan instalasi, meskipun ada seniman Vietnam yang sudah membuat video seni.
Beberapa seniman Indonesia, seperti Tatang dan Chusin, sempat berdiskusi dan berbagi pengalaman dengan sejumlah seniman Vietnam dalam seminar yang menyertai pameran ini. Dari pertemuan tersebut, kata Jim, tampak bahwa seniman di negeri itu sangat antusias terhadap seni kontemporer. "Mereka bertanya, misalnya, soal peran kurator dan mengapa harus melukis foto."
Seni rupa modern Vietnam sebetulnya sudah lama muncul, karena pada masa penjajahan Prancis, sejak awal abad ke-19 hingga pecah Perang Dunia II, akademi seni rupa didirikan di sana. Sekolah seni yang mengajarkan metode dan teknik seni rupa Eropa itu menghasilkan seniman-seniman terkenal, seperti Bui Xuan Phai, Tran Van Can, dan To Ngoc Van. Seni rupa yang tumbuh kemudian adalah jenis kesenian yang kental dengan tradisi pertanian, kehidupan di kampung, serta pengaruh ajaran Konghucu, Buddha, dan Tao, yang dianut mayoritas penduduknya. "Bukan berarti seni rupa Vietnam tidak berkembang. Tapi kebanyakan senimannya nyaman dengan bentuk yang sudah dicapai, sehingga jenis karya garda depan tidak terlalu kuat di sini," ujar Jim.
Namun sejumlah seniman Vietnam mulai menengok ke seni rupa kontemporer. Dino Hien, perupa muda lulusan Ho Chi Minh City University of Fine Arts, misalnya, membuat lukisan "pohon manusia". Ia menggambar orang dengan sulur-sulur tumbuhan, daun, dan bunga. "Pameran seni rupa Indonesia ini sangat menarik, memberi pengalaman bagi kami mengenai seni rupa kontemporer," katanya.
Kurniawan (Ho Chi Minh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo