Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada camar. Hanya horizon."
"Bagaimana ombak? Tidak ada? Lalu apa?
Hamm buta. Penyakit menggerogotinya. Berbagai macam selimut, kain, dan gombal menyumpal tubuhnya. Kaus kakinya pun bukan pasangan. Ia teronggok di sebuah kursi kayu beroda. Ia selalu ingin melihat dunia luar. Bila begitu, ia menyuruh Clov, lelaki idiot pelayannya, mengintip di jendela. Clov lalu akan membawa tangga, naik, dan melaporkan pandangan mata. Tapi Hamm selalu tak mempercayai penglihatan Clov, bahkan bila Clov menggunakan teropong. Hamm lebih mempercayai realitas yang ada dalam benaknya.
Lima belas tahun lalu, di Teater Utan Kayu, empat sekawan dari Yogya, Yudi Tajudin, Whani Darmawan, Kusworo Bayu Aji, dan Erythrina Baskoro, dengan sutradara Landung Simatupang, menyajikan Endgame. Suasana pentas saat itu menekan. Ruang Teater Utan Kayu sangat sempit. Langit-langit tidak tinggi. Posisi aktor yang begitu dekat dengan penonton membuat suasana makin menekan. Dalam bayangan saya saat itu, Hamm dan Clov tinggal di sebuah gudang pengap, gorong-gorong, bunker, atau lokasi tempat para tunawisma terbuang.
Melihat pementasan ulang Endgame di Teater Salihara, yang pertama-tama terasa adalah Hamm dan Clov tampak tinggal di suatu ruangan yang lebih lapang. Set bagaikan sebuah tong raksasa. Kayu-kayu melingkar sampai tinggi ke atas. Tatkala Clov memutar-mutar kursi roda Hamm, masih banyak ruang kosong. Pintu ke dapur tempat Clov keluar-masuk mengambil apa saja juga tampak bukan pintu mati. Imajinasi interior dan eksterior di situ timbul. Apalagi lamat-lamat terdengar derap orang berjalan, terkadang nyanyian yang disapu angin, yang menandakan tempat itu bukan tempat terpencil yang susah dijangkau.
Endgame adalah karya Samuel Beckett yang menyajikan bagaimana sesungguhnya manusia modern susah menjalani komunikasi di antara sesama. Bersama Hamm dan Clov di ruangan itu juga ada orang tua Hamm, yaitu Nagg dan Nell. Mereka tinggal di dalam tong. Mereka lumpuh. Sesekali kepala mereka menyembul merintih meminta bubur. Meski mereka dan Hamm merupakan orang tua dan anak, tidak ada hubungan yang menandakan kekerabatan. Setiap hari Hamm mendedahkan roman-roman membingungkan ciptaan dirinya sendiri yang harus didengar orang tuanya yang meringkuk di tong (meski tentu saja tak sampai ke kuping mereka) dan Clov yang cacat mental.
Pada pertunjukan 15 tahun lalu, terasa Hamm dan Clov dekat secara fisik, tapi sebenarnya komunikasi di antara mereka putus total. Bila yang satu ngomong ke arah mana, yang satu ke arah lain. Bila bersinggungan, itu hanya kebetulan. Makna yang timbul dari dialog-dialog mereka sesat. Memang Beckett ingin menekankan dalam dramanya ini bahwa alienasi tidak hanya karena mereka sosok yang mengalami isolasi ruang, tapi juga karena kegagalan berbahasa.
Itu yang berubah pada pertunjukan pekan lalu. Betapapun Hamm merendahkan orang tuanya, ia tetap menyapa Nagg (Kusworo Bayu Aji) sebagai bapak. Terasa masih ada asosiasi keluarga. Dan komunikasi antara Hamm (Yudi Tajudin) dan Clov (Whani Darmawan), meski tak bisa dibilang intim, cenderung hangat. Dialog mereka bukan jenis komunikasi yang gagal. Dialog-dialog Hamm malah berpotensi lucu. Gestur tubuh Whani yang berjalan seperti penguin dan serangkaian intonasi kalimatnya yang ganjil saat menjawab pertanyaan-pertanyaan Hamm kocak.
Tapi mungkin itu juga yang dimaui Beckett. Naskah ini memiliki kemungkinan-kemungkinan manusiawi. Naskah ini memang naskah absurd, tapi bukan berarti harus ditampilkan secara gelap dengan dialog serba terputus-putus. Sosok-sosok tokohnya yang cacat mental, cacat fisik, dan berkelakuan ganjil bukan berarti harus diwujudkan sebagai makhluk antah-berantah. Situasi kesepian yang dihadapi adalah situasi umum yang dihadapi manusia. Agaknya itulah yang dilihat Landung. Meski lakon ini bukan lakon realis tulen, faset-faset kemanusiaan lebih ditonjolkan. Namun itu bukannya tanpa risiko. Sedikit saja terpeleset, drama ini bisa menjadi drama keluarga. Sedikit saja tergelincir, bisa menjadi komedi bodor.
Dan di sinilah letak ketenangan Landung. Seraya mencoba keluar dari atmosfer Endgame yang konvensional, ia tetap mampu mempertahankan esensi kesuraman Beckett. Pertunjukannya tidak keluar dari batas-batas kegetiran Beckett.
"Clov, kenapa kau tak segera menghabisi aku?"
Ini pertanyaan kunci. Dan ini dilakukan dengan bagus oleh Yudi Tajudin. Saat ia mengucapkan kalimat itu, segera bisa terbayang sesungguhnya Clov mudah saja membunuh Hamm: tinggal mengambil pisau dan menghunjamkannya ke perut sang majikan. Tapi itu tak pernah dilakukannya. Setiap peluit itu melengking dari mulut Hamm, ia selalu menaati apa saja perintah tuannya. Seolah-olah mentalitas budak inheren dalam dirinya. Membebaskan diri dari kungkungan dominasi itulah pergulatan eksistensial Clov sebenarnya.
"Tapi nanti kau akan menguburkanku, bukan?"
Di situ juga, Yudi mantap. Ketika ia mengucapkan itu, kita sekonyong-konyong mendapat gambaran bahwa Hamm sesungguhnya bukan seorang nihilis. Ia tahu seluruh ruangan akan berbau bangkai. Orang tuanya akan menjadi mayat di dalam tong. Sebentar lagi dirinya sendiri—karena obat penahan sakit sudah habis. Tapi ia tak ingin menjadi bangkai telantar seperti bangkai orang mati di gurun yang dipatuk nasar. Ia ingin dikuburkan normal sebagaimana seorang Katolik. Meski sinis, ia juga ingin berdoa kepada Tuhan.
Di akhir adegan, sekonyong-konyong Clov berdiri tegak di depan Hamm. Penampilannya berubah. Ia bukan lagi seorang idiot yang kikuk. Ia gagah, memakai topi laken, membawa koper. Ia ingin mengucapkan salam terakhir kepada tuannya. Tapi kita melihat kakinya tak bisa beranjak. Ia malah terpaku lama menatap tuannya. Ia seolah-olah bimbang meninggalkan Hamm, yang tak lama lagi bakal membusuk. Klimaks pertunjukan ini menyuguhkan ketidakberdayaan memang esensi manusia. Itu yang mengharukan.
Seno Joko Suyono
Landung Simatupang:
Lakon Ini Semacam Dagelan Kurang Ajar
Landung Simatupang, 62 tahun, tampak berhasil menampilkan sisi-sisi lain lakon Endgame karya Samuel Beckett. Lima belas tahun lalu, di Teater Utan Kayu, ia menyajikan naskah ini secara angker. Siapa saja yang menonton pertunjukannya saat itu akan merasakan pertunjukan begitu menekan. Kini atmosfernya terasa berbeda. Penonton cukup terlihat geli melihat dialog-dialog di panggung. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Landung.
Bagaimana Anda memahami Endgame?
Lakon Endgame, seperti lazimnya naskah-naskah absurd lain, melukiskan kesia-siaan perjuangan manusia di dunia, dunia yang tak jelas juntrungannya, makna, dan maksudnya. Namun, dalam penggarapan kami, semangat itu tidak dominan.
Kenapa?
Saya dan teman-teman menyadari bahwa ada sekian aspek lain lagi dari lakon Beckett ini. Lakon ini multilayered. Dan aspek-aspek lain itu kami usahakan hadir. Misalnya aspek hubungan saling tergantung, saling benci, dan saling kasar antartokoh. Kami menangkap Endgame sesungguhnya adalah lakon tragicomedy yang mirip dengan Waiting for Godot. Bedanya, dalam Waiting for Godot, Samuel Beckett terang-terangan menyatakan tragicomedy, sementara dalam Endgame tidak. Itulah mengapa pergelaran 1998 dan 2013 berbeda.
Suasana zaman mempengaruhi penafsiran?
Pada diri saya sendiri, 15 tahun silam, lakon ini terutama terbaca sebagai semacam catatan tentang kehidupan yang usang. Ingat, 15 tahun lalu, kita berada dalam masa keinginan besar meninggalkan Orde Baru. Naskah ini menjadi cermin dari kehidupan dengan kebiasaan-kebiasaan mekanis yang tanpa pikir panjang dan pertimbangan mendalam lagi.
Sekarang, setelah reformasi, lakon ini menjadi semacam dagelan kurang ajar dan urakan. Lakon ini menjadi potret kehidupan yang sarat inkonsistensi, disilusi, skeptisisme, dan sinisme. Melalui naskah ini, kami ingin menertawai diri sendiri, menertawai kekonyolan, megalomania, serta hipokrisi individual dan kolektif kita.
Itu yang membuat adegannya penuh potensi unsur banyolan?
Kami setia pada naskah. Kami tetap menjaga kesuraman. Endgame menurut saya sangat dekat dengan rumusan puitis Chairil Anwar: "Hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah." Dalam adegan, misalnya, ada percakapan Clov melihat seorang bocah laki-laki tapi dinafikan oleh Hamm. Itu menegaskan betapa sia-sia saja kedatangan makhluk belia itu. Hidup hanya pengulangan-pengulangan. Boleh dikata, kami bermain tanpa improvisasi dialog, dan penonton cukup sering tertawa.
Di hari terakhir, penonton banyak tertawa.
Tiga malam pertunjukan adalah tiga peristiwa yang berbeda-beda. Respons mereka yang berbeda-beda ikut menciptakan atmosfer tontonan yang berbeda-beda pula.
Mengapa ruang dibuat seperti berada dalam tong setan?
Tong setan diharapkan bisa menggarisbawahi citra keterpurukan, kejeblos ke lubang dalam, suasana klaustrofobik, berputar-putar tanpa ujung pangkal, sekaligus mengingatkan bahwa meski pola akting para aktornya realis, lakon ini bukan lakon realis tulen. Tidak semua yang ditampilkan di pergelaran bisa dengan mudah diverifikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo