Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas sebagai wadah untuk berkiprah bagi para perempuan yang hobi menari.
Komunitas Perempuan Menari ikut melestarikan tarian tradisional Nusantara.
Para perempuan anggota komunitas tari ini berasal dari berbagai usia dan kalangan.
AULA berukuran 20 x 12 meter itu dipenuhi 40 perempuan yang tengah bersiap berlatih menari pada Sabtu siang, 28 Januari lalu. Sebagian besar perempuan itu mengenakan kaus berwarna merah bertulisan “Perempuan Menari”. Mereka adalah anggota Komunitas Perempuan Menari yang hendak berlatih tari saureka-reka yang dikenal juga dengan nama gaba-gaba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan iringan musik bernada ceria, enam perempuan terlihat memegang tongkat sepanjang 2,5 meter. Berpasang-pasang, mereka mengangkat tongkat sembari merapatkan dan melebarkannya mengikuti iringan musik. Para perempuan lain bertugas melangkah di sela-sela tongkat yang melebar dan merapat. Sesekali para penari tertawa kecil ketika salah melangkah di antara tongkat sehingga harus mengulang gerakan tari yang berasal dari Maluku tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sedang latihan tari gaba-gaba sebagai persiapan mengikuti World Dance Day pada tahun ini,” kata Ketua Komunitas Perempuan Menari Sabena Betty Sihombing di Aula Pusat Pengkajian Strategis Penelitian dan Pengembangan Tentara Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu, 28 Januari lalu.
Betty menjelaskan, latihan tari itu merupakan bagian dari kegiatan Komunitas Perempuan Menari yang terbentuk pada 2018. Betty lantas bercerita tentang perjalanan komunitas yang dinakhodainya itu. Saat itu Betty bersama lima kawannya, Listiany Kartawijaya, Icca Miranti, Dwi Arlina, Made Kurniati, dan Pritha Nandini, bersepakat mencari aktivitas yang lebih bermanfaat ketika menunggu anak-anak mereka yang sedang mengikuti les menyanyi. “Awalnya kami dulu ikut sanggar tari, namanya Argahari,” tutur perempuan yang lahir di Jakarta pada 14 Juli 1973 ini.
Bersama Sanggar Tari Argahari, Betty dan kawan-kawan berlatih dua kali setiap Ahad siang di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Mereka pun pernah berpentas di bawah bimbingan Istiadi Bambang Sutidjo sebagai pelatih.
“Waktu itu kami memilih mendirikan komunitas sendiri karena tempat latihan tari di Kramat jauh dan susah kalau mau parkir. Kita tahu sendiri bagaimana kondisi Jalan Kramat yang sempit," ujar Betty, yang bekerja sebagai wiraswasta.
Akhirnya, Betty menambahkan, Komunitas Perempuan Menari (KPM) resmi terbentuk pada 6 Januari 2018. Saat itu mereka memanfaatkan lobi kantor salah satu badan usaha milik negara bidang properti sebagai tempat berlatih. Lokasi kantor itu di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, yang merupakan tempat kerja salah satu pendiri KPM, yakni Icca Miranti. “Sekitar setahun kami berlatih di Jalan Wijaya itu, sekaligus tempat latihan pertama kami,” ucap Betty.
Pendiri Komunitas Perempuan Menari, Sabena Betty Sihombing di Jakarta, 28 Januari 2023/Tempo/Hilman Fathurrahman W
Ketika jumlah anggota KPM mulai bertambah, Betty dan kawan-kawannya kemudian menyewa tempat di Jalan Cisanggiri, Jakarta Selatan. Sekitar setahun para anggota KPM berlatih di tempat tersebut.
“Akhirnya kami pindah ke aula Pusat Kajian TNI yang lebih luas ini sejak tiga tahun lalu karena anggota kami terus bertambah, dari awalnya hanya berlatih bersama sepuluh orang bertambah jadi belasan, dan sekarang anggota aktif kami 138 orang,” kata Betty, yang juga punya hobi traveling.
Betty menambahkan, usia anggota KPM berkisar 15-60 tahun. Selain usia yang beragam, pekerjaan anggota KPM berbeda-beda, dari ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dokter, hingga pegawai bank. Ada juga yang masih berstatus mahasiswi.
Menurut Betty, banyak perempuan khususnya di Jakarta dan sekitarnya yang berminat bergabung dengan KPM karena komunitas tari tersebut fleksibel dalam latihan. “Kalau kami itu dari mantan penari profesional sampai yang memang mau belajar tari dari nol silakan gabung. Kalau misalnya tidak bisa jongkok untuk menari, ya nanti kami carikan koreografi tarian lain oleh pelatih biar tetap bisa ikut berlatih,” tuturnya.
Betty menjelaskan perbedaan KPM dengan sanggar tari, yakni tidak adanya kenaikan tingkat. Dia mengatakan tujuan utama komunitas itu bukan menciptakan penari profesional, melainkan mengisi waktu luang dengan menjalani hobi secara serius sekaligus ikut melestarikan tari tradisional Indonesia yang beraneka ragam jenisnya.
“Dengan konsep seperti itu, kami menerima teman yang memang mau belajar dari nol, nanti yang bertugas mengajari yang lebih mahir dalam kelompok lebih kecil,” tutur Betty, yang memilih tari indang dan bajidor kahot sebagai tari favoritnya.
Latihan KPM, kata Betty, diadakan rutin setiap Sabtu. Durasi latihan berkisar lima-enam jam yang terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama dimulai pada pukul 12.00 hingga pukul 14.30. Adapun sesi kedua berlangsung mulai pukul 15.00 hingga pukul 17.30.
“Biasanya pembagian sesi pertama untuk event terdekat. Kalau sesi kedua untuk persiapan event reguler KPM yang berlangsung setiap November," ujar Betty, yang pernah tampil bersama KPM sebagai pembuka acara puncak Anugerah Revolusi Mental 2022.
Adapun untuk menjalankan aktivitas komunitas, ada iuran anggota sebesar Rp 250 ribu setiap bulan. Menurut Sekretaris dan Publikasi KPM Icca Miranti, uang yang terkumpul digunakan untuk menggaji pelatih dan membayar sewa gedung tempat berlatih.
Icca menambahkan, KPM juga menerapkan mekanisme cuti bagi anggota yang berhalangan, misalnya ketika harus pindah ke luar daerah. “Kalau yang cuti ini hanya bayar iuran Rp 25 ribu,” kata Icca. “Sebenarnya, kalau dihitung dengan yang sudah tidak aktif atau pindah ke luar daerah, jumlah anggota kami bisa lebih dari 200 orang.”
•••
SEJUMLAH anggota menceritakan motivasi mereka bergabung dengan Komunitas Perempuan Menari dan manfaat yang didapatkan setelah menjadi anggota. Ken Padmasari, salah satu anggota senior KPM, mengaku menjadi anggota untuk berjuang melawan lupa. Pensiunan sebuah bank di Jakarta ini mengatakan daya ingatnya tetap terjaga karena harus terus mengingat gerakan tari yang berbeda setiap pekan.
“Dengan begitu harus belajar terus, jadi bisa ingat terus,” ujar Ken, yang bergabung dengan KPM pada akhir 2018, ketika ditemui Tempo di sela-sela latihan di Aula Pusat Pengkajian Strategis Penelitian dan Pengembangan TNI, Sabtu, 28 Januari lalu.
Selain itu, perempuan yang lahir di Yogyakarta pada 27 April 1967 ini memilih bergabung dengan KPM karena gerakan tari bisa disesuaikan dengan usia penari. Dia menambahkan, pelatih tetap melibatkan penari dalam pertunjukan meski penari itu tidak bisa melakukan gerakan seperti jongkok atau loncat karena faktor usia. “Jadi, seperti saya yang tidak bisa loncat, nanti dicarikan koreografi lain,” ucap Ken.
Lain lagi cerita Nabilla Savitri Maharani, anggota KPM yang berusia muda. Perempuan yang lahir di Jakarta pada 18 Januari 2000 ini bergabung dengan KPM pada 2019. Saat itu Nabilla diajak ibunya, Harliati Asterlin Estiningsih, yang lebih dulu menjadi anggota KPM. “Senang sih gabung di KPM, karena bisa punya kakak-kakak, tante-tante baru,” ujar lulusan Universitas Bina Nusantara, Jakarta, ini.
Nabilla mengatakan memilih bergabung dengan KPM karena keinginan melestarikan tari tradisional Nusantara. Menurut dia, biasanya komunitas yang berisi perempuan seusianya cenderung memilih mempelajari tari kontemporer.
“Senangnya di KPM karena dulu pas di kampus juga sempat gabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Liga Tari yang basisnya tari tradisi,” tutur Nabilla.
Salah satu pelatih di KPM, Istiadi Bambang Sutidjo, mengatakan punya strategi khusus bagi anggota KPM yang tidak bisa melakukan gerakan tertentu. Ia bakal meminta rekannya sesama pelatih, Supriadi Arsyad, membuat koreografi. “Biasanya kendalanya enggak kuat lututnya. Kami biasanya mengakalinya dengan, misalnya, jika menarinya perlu jongkok, enggak usah pakai jongkok,” kata Bambang.
Masalah lain yang sering ditemui Bambang ketika melatih di KPM adalah keharusan mengulang gerakan terus-menerus. Dia menjelaskan, misalnya pada pekan ini suatu gerakan diajarkan, dalam pertemuan selanjutnya peserta latihan sudah lupa akan gerakan itu. Salah satu strategi yang ia terapkan dalam melatih anggota komunitas yang sebagian berusia di atas 40 tahun adalah rutin bergerak memberikan contoh dalam latihan.
Pendiri Komunitas Perempuan Menari, Icca Miranti di Jakarta, 28 Januari 2023/Tempo/Hilman Fathurrahman W
“Walaupun ada beberapa tantangan, saya lebih banyak sukanya karena ibu-ibu ini bersemangat banget dalam latihan,” ucap Bambang.
Supriadi Arsyad, yang akrab disapa Bang Ucuy, mempunyai misi khusus dalam melatih di KPM. Menurut dia, promosi tari tradisi cukup efektif melalui ibu-ibu. Bang Ucuy bertugas melatih para anggota KPM melakukan gerakan dasar tari tradisi. “Jadi nanti bisa diajarkan kepada anak-anak mereka,” katanya.
Sedangkan untuk pementasan, Bang Ucuy memilih berinovasi dalam koreografi tanpa mengurangi estetika gerakan. "Kalau saya paksakan beberapa tari tradisi dibawakan nanti bisa bermasalah kalau ada gerakan yang hilang. Mending saya buat baru saja biar mereka tetap bisa menjaga tradisi."
Salah satu cara Bang Ucuy dan Bambang merawat tradisi di KPM adalah rutin memanggil pelatih tamu. Dengan begitu, bisa lahir koreografi tari tradisional seperti dari Betawi atau Melayu.
•••
ICCA Miranti menuturkan, banyak kebanggaan yang ia dapatkan selama bergabung dengan Komunitas Perempuan Menari sejak 2018. Menurut perempuan yang lahir di Solo, Jawa Tengah, 28 Maret 1969, ini, salah satu kebanggaan terbesar adalah mendapat undangan tampil dalam acara instansi pemerintah dan lembaga lain.
Icca mengatakan kegiatan yang pernah menjadi panggung KPM dalam mempromosikan tari tradisi adalah Winner Conference, Week of Indonesia Nederland Education Research, di Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda, Jakarta, pada 22 Oktober 2022. “Saat itu KPM membawakan tari Melayu, puan malenggok,” ujar salah satu pendiri dan pengurus KPM ini.
Acara lain yang menjadi ajang unjuk kebolehan para anggota KPM, tutur Icca, adalah perayaan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada 25 November 2022. Mereka mendukung kampanye itu dengan menampilkan tari lenggang nyai asal Betawi.
“Kami juga pernah tampil di panti jompo, Rukun Senior Living, untuk memperingati Hari Lansia dengan menampilkan tari lenso asal Maluku dan lenggang nyai pada September 2022,” ucap Icca, yang pernah aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Liga Tari Universitas Indonesia.
Icca menjelaskan, sebagai panggung utama bagi para anggota, KPM rutin mengadakan pergelaran pada akhir tahun. Kegiatan itu melibatkan semua anggota dengan tema berbeda setiap tahun.
Pada 2018, misalnya, KPM mengangkat tema “Seloka Swarnadwipa”. Dalam pementasan ini, kata Icca, KPM menyuguhkan pertunjukan dengan membawakan beberapa tari Melayu, seperti gending Sriwijaya dari Sumatera Selatan, tortor tandok (Sumatera Utara), senandung kipas (Riau), dan indang (Sumatera Barat).
Anggota Komunitas Perempuan Menari di Jakarta, 28 Januari 2023/Tempo/Hilman Fathurrahman W
Lalu, pada 2020, KPM mengangkat tema “Pesona Timur”. Mereka menyuguhkan enam tarian dalam dua sesi, yaitu pakarena (Sulawesi Selatan), pagellu (Tana Toraja), tifa (Nusa Tenggara Timur), saureka-reka (Maluku), dadas (Kalimantan tengah), dan potong sagu sudah (Papua).
Ketika pandemi Covid mulai melanda pada Maret 2020, Icca menambahkan, pergelaran tahunan itu digelar secara online. Pertunjukan yang mengambil tema “Genderang Swargabhumi” ditampilkan secara langsung melalui YouTube.
“Waktu itu kami berlatih pun lewat Zoom. Dan sekitar dua bulan mendekati pementasan, kami akhirnya berlatih offline di Gedung Kesenian Jakarta, tapi dengan protokol kesehatan sangat ketat, seperti rutin melakukan tes swab antigen bagi para pesertanya,” ujar Icca.
Untuk pementasan pada 2022, Icca melanjutkan, KPM mengangkat tema “Dayana Dwipantara”. Acara berlangsung di Gedung Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan, 12 November 2022. KPM mempersembahkan beberapa tari daerah Nusantara serta sebuah tari garapan bertajuk Inong Bale.
Tari daerah persembahan KPM kali ini meliputi lenggang nyai, glipang (Jawa Timur), bajidor kahot, puspa mekar dan baris (Bali), gong (Kalimantan), puan melenggok (Sumatera), dan tari Papua. “Setiap tahun tema yang kami angkat memang berbeda,” tutur Icca.
Icca, Betty Sihombing, dan anggota KPM lain punya impian yang belum terwujud dalam bentuk pementasan. Mereka ingin membawa komunitas tari ini berpentas keliling Eropa. "Dulu sewaktu salah satu pendiri KPM, Pritha Nandini, masih aktif, kami pernah ditawari ke Belanda. Tapi waktu itu kami belum genap setahun, jadi belum berani,” ucap Icca. “Tahun depan kami menargetkan bisa ke Belanda dulu karena kebetulan Pritha tinggal di sana.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo