Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kelompok nelayan di Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur menerapkan aturan buka-tutup penangkapan gurita.
Memberikan jeda bagi gurita selama tiga bulan dan membantu pemulihan karang rusak.
Meningkatkan jumlah tangkapan masyarakat nelayan secara signifikan.
SEJAK 2019, Erwin Risky Hidayat, 40 tahun, tak pernah mendapatkan tangkapan gurita dengan berat di atas satu kilogram. Sejak tahun itu pula, nelayan asal Pulau Langkai, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut mesti melaut sejauh minimal 10 mil (sekitar 18,5 kilometer) untuk memperoleh gurita dengan bobot seadanya. Tangkapannya kerap tak sebanding dengan tenaga, waktu, dan ongkos yang dikeluarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut nelayan yang menangkap gurita sejak 2005 itu, semula lautan di sekitar Pulau Langkai dikenal sebagai "rumah gurita". Kabar tentang banyaknya gurita di sana dan harganya yang tinggi membuat nelayan dari luar Langkai berbondong-bondong ikut menangkap satwa laut tersebut. "Sayangnya, banyak yang memakai cara yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya, terumbu karang sebagai rumah gurita rusak," kata Erwin, Rabu, 1 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saking jarangnya bertemu dengan gurita besar dan makin ketatnya persaingan di lautan untuk mendapatkan gurita, Erwin melanjutkan, para nelayan terpaksa mengangkut gurita yang masih sangat kecil untuk dijual dengan harga murah. "Ini yang membuat gurita makin lama makin jarang. Rumahnya dirusak, yang masih anak-anak sudah diambil," tuturnya.
Pemasangan penanda buka-tutup wilayah penangkapan gurita yang dilakukan oleh nelayan, 18 Februari 2022/Yayasan Konservasi Laut Indonesia, Sulawesi Selatan
Paceklik gurita juga dirasakan Abdul Halik Mappa, Ketua Kelompok Nelayan Sipakullong, dari Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Para nelayan gurita di desa itu malah harus menginap tiga-empat malam di tengah laut demi mendapatkan gurita yang kebanyakan merupakan grade C—berbobot 0,5-0,9 kilogram. Mereka bahkan acap harus puas dengan tangkapan gurita berbobot 3-4 ons yang tergolong grade D.
Menurut Abdul, gurita grade B (1-1,9 kilogram) sudah jarang didapatkan. Apalagi gurita grade A (di atas 2 kilogram). Meski nelayan sudah bermalam di tengah lautan, kata Abdul, gurita yang dapat dibawa pulang hanya seberat 15-20 kilogram. "Sudah ongkosnya cukup banyak, risikonya juga besar karena kami harus melaut sampai ke luar daerah."
Situasi itu membuat Abdul rindu melaut di dekat pantai. Ia juga sangat menginginkan gurita, kerapu, dan berbagai hewan lain kembali ke laut Torosiaje yang berada di Teluk Tomini. Sama seperti Abdul, Erwin ingin mengulang kejayaan nelayan gurita Langkai. Ia ingin kembali dapat menangkap gurita berbobot di atas 2 kilogram.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut Indonesia Nirwan Dessibali mengatakan lembaganya melakukan riset mengenai potensi tangkapan nelayan dan kondisi sosial-ekonomi nelayan di Pulau Langkai dan Lanjukang sejak 2020. Riset awal itu mengungkap terus turunnya jumlah tangkapan nelayan. Komunitas nelayan di dua pulau terluar itu juga menghadapi beragam ancaman akibat praktik penangkapan ikan yang merusak ekosistem perairan.
Menurut Nirwan, kedua pulau itu sebetulnya memiliki biodiversitas tinggi. "Di sana ada biota laut dilindungi dan terancam punah seperti hiu, penyu, dan dugong," ucap Nirwan, Selasa, 31 Januari lalu. Ia lantas mengajak nelayan melakukan pemetaan sederhana. Setiap hari nelayan diminta mencatat apa saja tangkapan di hari itu, berapa jumlahnya, di mana gurita ditangkap, apa jenis alat tangkap yang digunakan, berapa beratnya, dan berapa harganya. Secara rutin hasil analisis diberitahukan kepada nelayan.
Nirwan juga memfasilitasi para nelayan bertemu dengan akademikus yang piawai di bidang kelautan. Nelayan belajar banyak hal terutama mengenai gurita dan aspek konservasi yang diperlukan. "Gurita adalah pintu masuk untuk mengajak nelayan mengkonservasi terumbu karang dan menjaga perairannya," ujarnya. Selain itu, gurita adalah komoditas yang memiliki nilai tinggi dan dapat ditangkap dengan alat tangkap ramah lingkungan.
Setelah itu, Nirwan memfasilitasi para nelayan belajar mengenai praktik konservasi yang dilakukan nelayan Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang menerapkan aturan buka-tutup penangkapan hasil laut. Ia mengajak lima nelayan dari Langkai dan Lanjukang tinggal di Wakatobi dan belajar langsung kepada nelayan di sana selama hampir sepekan. Salah satunya Erwin.
Direktur Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Nurain Lapolo melakukan hal yang hampir sama dengan Nirwan. Selama dua tahun Japesda berjibaku dalam pendataan awal mengenai gurita dan kondisi sosial-ekonomi kelompok nelayan di tiga desa. Tiga desa itu adalah Torosiaje; Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah; dan Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah—termasuk bagian dari Taman Nasional Kepulauan Togean.
Saban tiga bulan sekali, Nurain mengungkapkan, Japesda memberikan umpan balik kepada nelayan sambil menguatkan pemahaman mengenai perlunya konservasi untuk meningkatkan jumlah tangkapan gurita. "Para nelayan jadi tahu tangkapan mereka terus menurun akibat pola tangkap yang tak ramah lingkungan dengan memakai metode yang merusak dan penangkapan berlebihan," ucapnya. Kesadaran para nelayan berbuah kesepakatan bersama menerapkan pola tutup-buka penangkapan gurita.
Di Uwedikan, penutupan dilakukan di empat titik seluas 147 hektare pada 21 Agustus 2021. Lokasi itu dibuka kembali pada 20 November 2021. Kadoda dan Torosiaje menyusul setahun kemudian. Di Kadoda, penutupan dilakukan di Karang Dambulalo dengan luas 8 hektare dan karang perairan Kadoda seluas 41 hektare pada 17 Oktober 2022. Di Torosiaje, penutupan dilakukan di Pulau Torosiaje Besar dan Torosiaje Kecil pada 9 Oktober 2022 dengan luas 283 hektare.
Nelayan sedang memantau keberadaan gurita di dasar laut, 14 September 2022/Yayasan Konservasi Laut Indonesia, Sulawesi Selatan
Aturan tersebut diterapkan dengan menutup aktivitas penangkapan komoditas tertentu atau semua penangkapan ikan hanya di lokasi yang sudah ditentukan dan dipasangi tanda. Jika periode penutupan disepakati berlangsung selama tiga bulan, pada bulan ketiga nelayan kembali diperbolehkan melakukan penangkapan di kawasan itu. Di masa penutupan, dilakukan pengawasan secara bergilir setiap malam dan setiap pelanggar dikenai sanksi.
Abdul Halik Mappa sangat bergembira ketika pembukaan dilakukan pada 9 Januari lalu. "Hanya dalam waktu dua setengah jam kami sudah dapat 236,5 kilogram dari 30 nelayan yang melaut. Bahkan ada yang dapat gurita yang beratnya 4,2 kilogram," kata Abdul dengan suara riang. Ia senang karena tak perlu lagi melaut hingga ke luar pulau dan menginap bermalam-malam.
Moji Tiok, 50 tahun, yang menjadi nelayan gurita di Torosiaje sejak 2014, tak kalah girang. Sebelum aturan tutup-buka penangkapan gurita diberlakukan, ia hanya bisa menangkap paling banyak 7 kilogram gurita setelah menginap bermalam-malam di laut. "Sekarang cuma dua jam saja saya bisa memperoleh paling sedikit 10 kilogram. Waktu pertama kali pembukaan saya mendapatkan 20 kilogram dan baru itulah saya melihat ada gurita yang beratnya sampai 4 kilogram," tuturnya.
Dengan tangkapan gurita grade A dan grade B, para nelayan yang berasal dari pulau berbeda ini tak lagi menangkap gurita kecil. "Kalau dapat yang kecil, kami lepaskan. Semoga bertemu di periode ke depan atau tahun depan," kata Moji, tertawa. Saat diwawancarai Tempo melalui sambungan telepon pada Rabu, 1 Februari lalu, Moji baru saja pulang melaut dan memamerkan tangkapan gurita seberat 8 kilogram yang ia peroleh dari melaut sekitar satu jam.
Moji menerangkan, ia makin paham bahwa terumbu karang adalah rumah gurita dan gurita memerlukan waktu untuk berkembang biak. "Jadi, ibarat rumah, kalau rumahnya kami rusak, mana mau gurita datang? Kalau guritanya masih kecil sudah kami tangkap, bagaimana bisa punya anak lagi? Itu saja yang kami jadikan pegangan sekarang," ujarnya.
Menurut Nurain, nelayan juga berhasil mendorong pengakuan sistem buka-tutup penangkapan gurita oleh pemerintah desa. Buah dari pengakuan itu adalah terbitnya Peraturan Desa Torosiaje Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perikanan Gurita. Abdul Halik mengatakan, dengan adanya peraturan desa ini, kelompok nelayan gurita makin mudah melakukan sosialisasi dan memberlakukan sanksi bagi pelanggar.
Dari inisiatif buka-tutup penangkapan gurita tersebut, menurut Abdul, Kelompok Nelayan Sipakullong kini memiliki bangunan organisasi yang kuat dengan beragam kegiatan. "Untuk ketahanan finansial, kami membuat koperasi agar nelayan dapat menabung. Selain itu, kami ada pelatihan pengelolaan keuangan untuk rumah tangga," ucapnya. Tak berhenti di situ, mereka juga membuat unit usaha pengembangan produk. "Gurita dibuat jadi bakso dan kerupuk."
Erwin Hidayat yang baru kembali dari Wakatobi membagikan pengetahuan yang ia dapatkan kepada para nelayan di kampung halamannya. "Setelah tahu bahwa gurita bisa berukuran dua kali lipat selama sebulan dan ada contoh buka-tutup yang dapat dilakukan nelayan, kami sepakat menerapkan sistem ini," katanya. Para nelayan kemudian bertemu dengan perangkat desa dan berbagai pemangku kepentingan lain.
Erwin mengatakan hal yang paling penting dalam proses ini adalah diskusi matang di kelompok nelayan hingga tercapai kesepakatan bersama, termasuk untuk bergotong-royong melakukan pengawasan secara mandiri. Setelah itu, dia melanjutkan, kelompok nelayan gurita di Langkai menggelar sosialisasi bagi kelompok nelayan lain. Hal yang sama dilakukan oleh kelompok nelayan di Lanjukang.
Para nelayan memasang penanda buka-tutup wilayah penangkapan gurita , 18 Februari 2022/Yayasan Konservasi Laut Indonesia, Sulawesi Selatan
Pada Maret 2022, uji coba sistem buka-tutup dilakukan di enam titik di sekitar Taka Salangang, daerah laut di antara Langkai dan Lanjukang seluas 203 hektare, dengan durasi tiga bulan. Pada uji coba pertama, Erwin mengungkapkan, hasilnya masih belum memuaskan nelayan karena bertepatan dengan awal musim angin muson timur. Tapi, dia menambahkan, hasilnya terlihat. "Ikan kerapu, kakap, yang sebelumnya kami pikir sudah habis, kembali terlihat," tuturnya.
Sistem buka-tutup lalu diterapkan kembali pada Agustus-November 2022. "Kami cukup senang di periode kedua ini setiap nelayan bisa menangkap rata-rata enam gurita dengan berat 1,5-2 kilogram per ekor setiap hari," kata Erwin. Pada periode kedua, persiapan nelayan lebih matang. Mereka sudah mendapatkan kesepakatan bersama dengan berbagai dinas terkait hingga Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut serta kepolisian air dan udara setempat.
Baik di Makassar maupun di Gorontalo dan Sulawesi Tengah, para nelayan tengah menanti keseriusan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mendukung kegiatan buka-tutup penangkapan ini. Nurain dan Nirwan mengatakan mereka berharap ada peraturan di level kabupaten dan provinsi yang mendukung pelaksanaan sistem ini.
Sistem buka-tutup penangkapan gurita di Pulau Flores
Inisiatif buka-tutup penangkapan gurita juga diterapkan nelayan di Desa Arubara, Kelurahan Tetandara, Ende Selatan; dan Desa Maurongga, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Menurut Ketua Badan Pengurus Yayasan Tananua, Hieronimus Pala, pendekatan buka-tutup penangkapan gurita di Pulau Flores itu diinisiasi pada 2019. "Saat itu nelayan menangkap gurita dengan cara mencungkil karang. Ada juga yang memakai bom," ujar Hieronimus.
Selama hampir dua tahun nelayan di dua desa tersebut bekerja bersama Yayasan Tananua membangun basis data tangkapan gurita. Menurut Hieronimus, berbagai cara dilakukan untuk menebalkan pemahaman nelayan mengenai konservasi terumbu karang. Salah satunya mempelajari aspek konservasi dalam sistem buka-tutup penangkapan gurita yang mampu meningkatkan pendapatan nelayan.
Uji coba penutupan pertama kali dilakukan di Desa Arubara setelah para nelayan di desa itu bersepakat mengimplementasikan sistem tersebut. Buka-tutup dilakukan pada 29 Juli 2021-29 Oktober 2021 di lima titik. "Awalnya sebagian nelayan ragu akan keberhasilan buka-tutup ini. Namun, setelah diimplementasikan, banyak nelayan membawa gurita yang beratnya di atas 2 kilogram," kata Hieronimus.
Keberhasilan di Arubara memantik semangat nelayan di Maurongga. Penutupan pun dilakukan pada 23 November 2021- 23 Februari 2022. Nelayan Maurongga bersepakat menutup tiga lokasi penangkapan gurita seluas 2,7 hektare. Menurut Hieronimus, pada panen perdana, nelayan Maurongga berhasil mendapatkan gurita dengan bobot rata-rata di atas 2 kilogram.
Tangkapan gurita kelompok nelayan Sipakullong, Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, setelah buka tutup dilaksanakan/Japesda Gorontalo
Keberhasilan ini menjalar ke nelayan di Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende. "Kami juga bersama nelayan di Kotodurimali dan Pedonura, Kabupaten Nagekeo, tengah memperkuat pelaksanaan buka-tutup penangkapan gurita yang sebenarnya dulu menjadi bagian dari praktik adat," ucap Hieronimus. "Pada saat pembukaan kemarin, nelayan di Nagekeo berhasil menangkap gurita yang beratnya mencapai 3 kilogram dan banyak mendapatkan lobster."
Kini nelayan di desa-desa tersebut sedang mempersiapkan waktu dan lokasi terbaik untuk kembali melaksanakan sistem buka-tutup penangkapan gurita. Begitu pula Abdul Halik dan Moji Tiok di Gorontalo. Mereka bahkan bersepakat ingin meluaskan wilayah penerapan sistem tersebut. "Kami ingin dapat menjadi contoh. Kami mampu mengkonservasi, dan upaya kami terbayar dengan tangkapan yang bagus," kata Abdul.
Di Langkai dan Lanjukang, Erwin Hidayat dan puluhan nelayan gurita lain tengah bersiap memasuki periode buka-tutup ketiga. Pada periode ini, ia berharap sudah ada sinergi dengan nelayan dan pemerintah desa di pulau lain, seperti di Barrang Caddi, Bonetambung, dan Lumulumu. "Dengan keterlibatan kelompok nelayan dan pemerintah desa di pulau lain, kami terbantu dalam pengawasan selama penutupan dan mensosialisasi ini ke kelompok nelayan di pulau tersebut," tuturnya.
Menurut Nurain Lapolo, nelayan tidak boleh gegabah menentukan periode buka-tutup. Ia mengatakan gurita memiliki masa hidup singkat, 12-15 bulan, dan seekor gurita dewasa betina mampu menghasilkan hingga 170 ribu telur dengan puncak periode pemijahan diperkirakan antara Juni dan Desember. "Karena itu, nelayan harus memperhitungkan waktu terbaik untuk melakukan penutupan agar mendapatkan gurita yang sudah tumbuh besar dan tidak mengganggu siklus perkembangbiakan gurita," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo