Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Korban kontet dari cileungsi

Tiga bersaudara dari cileungsi menderita kretin, penyakit yang tidak bisa tumbuh besar. terjadi juga di subang dan cirebon. belum bisa dipastikan sebab-sebab penyakit tersebut. (ksh)

2 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WIAH alias Gawin menurut kabar sudah berumur 18 tahun. Tetapi selintas kelihatannya mirip bayi yang baru berusia 10 bulan. Tingginya hanya setengah meter, dengan bobot tiga setengah kilo. Gadis dari Kampung Tegalpeusar, Cileungsi, Bogor, ini memang belum diperiksa dokter, tapi diduga dia merupakan korban kesekian dari penyakit mandeknya produksi kelenjar pertumbuhan (hypophysis) yang terletak dekat otak. Sementara itu, ibunya, Nyonya Mini, yang mengaku berusia 35 tahun, mempunyai versi khusus mengenai anaknya yang luar biasa itu. "Waktu mengandungnya saya bermimpi didatangi laki-laki (kakek-kakek). Orang itu membawa dua ekor ikan, besar dan kecil. Saya disuruh memilih, dan saya memilih yang kecil. Tak sangka, anak saya jadi kecil," katanya bercerita kepada wartawan TEMPO, A. Lookman, yang datang meninjau. Sesudah lahir, pertumbuhan Wiah normal saja. Cuma, menurut ibunya, sampai usia 10 bulan ada tanda-tanda aneh pada anak itu. "Tubuhnya masih lunak seperti telur yang belum jadi. Saya beri makan bubur, ya, pokoknya biasa saja, semampu keuangan kami," kata Mini. Sampai sekarang ini pertumbuhan Wiah benar-benar berhenti hanya sampai sebesar bayi usia 10 bulan. Dia tidak bisa berjalan. Kalau mau bergerak ke muka ke belakang dia menyeret pantatnya. Sore itu ia asyik bermain mobil-mobilan di lantai rumah orangtuanya yang terbuat dari pelupuh bambu. Kelihatan jari-jarinya yang kecil-kecil dan pendek. Meski begitu, secara keseluruhan tubuh Wiah dari Cileungsi tetap proporsional. Ketika dimandikan kelihatan tubuhnya yang mulus seperti bayi. Payudaranya tak lebih besar dari tutup gelas. "Sampai sekarang si Gawin belum pernah menstruasi. Padahal, teman-teman sebayanya sudah pada nikah. Bahkan ada yang sudah punya anak," kata ibunya. Malahan kalau mau buang air dia terpaksa harus dibantu. "Kalau tak ingat bahwa ia manusia sudah saya buang. Tapi saya takut kepada Tuhan. Saya pasrah kepada-Nya," ujar ayahnya, Alwi, 40, yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh kasar. Jalan nasib keluarga Alwi rupanya ditakdirkan lain. Dia menghadapi cobaan yang menyedihkan. Sebab, bukan Wiah saja yang memberikan warna kelabu buat keluarga miskin itu. Dua anak laki-laki kembar, adik Wiah, juga mengalami penyakit yang serupa. Dari lima putra-putri hanya dua orang yang tumbuh normal. Yang terkecil, Mimin, yang berusia 4 tahun, tingginya 80 cm, mcngalahkan tinggi ketiga kakaknya yang berumur 7 tahun dan 18 tahun itu. Sedangkan adik Wiah - abang si Mimin tadi - yang bernama Mihad, sudah berusia 11 tahun. Lincah dan ramah, duduk di kelas IV madrasah. Bila dilihat selintas, Gawin dan adik kembarnya yang kontet-kontet itu hampir sama wajahnya. Kulit mereka kuning, hidung pesek, mata bulat besar dan agak menonjol ke luar. Mulut kecil dengan bibir yang tipis. Hanya pipi Wiah lebih tembem dan menggelambir. Dari tiga serangkai ini hanya seorang yang bisa berjalan. Mereka mendapat perhatian istimewa. Kalau mau buang air ibunya baru turun tangan. "Mak, Gawin bade kiih (mau buang air)," begitu Wiah berteriak minta bantuan ibunya. Sang ibu, yang sedang sibuk mendandani saudaranya yang lain, tiba-tiba menyambarnya dari lantai. Gadis berusia 18 tahun itu "diletakkan" ibunya di tanah, di bawah pohon pisang. Tak lama kemudian, Wiah berteriak lagi, "Enggeus, era di tenjo ku batur, (Sudah selesai, malu dilihat orang)," katanya seraya menutupkan kedua tangannya ke mukanya. Sehari-hari mereka habiskan bermain. Sekalipun mereka bersenda gurau di pelataran rumah, ibu mereka selalu cemas. "Takut terinjak orang atau katalapung (tersepak) ayam," ujar Nyonya Mini. Memang, di lingkungan rumah itu banyak berkeliaran ayam-ayam kampung. Bergaul dengan anak-anak tetangga, mereka tidak rendah diri. Boleh dikatakan, mereka juga jarang sakit. Cuma pantang dimarahi atau dibentak. "Bila dibentak badannya tiba-tiba bisa panas dan terus sakit," kata ayahnya, Alwi. Ada terasa suasana ikut prihatin dari para tetangga. Orang-orang asing yang bekerja di pabrik semen yang terletak di dekat situ sering mampir. Menyatakan simpati, memberikan uang dan pakaian. Dari Jakarta, Prof. Utojo Sukaton, ahli endokrinologi (kelenjar), menyatakan keingmannya untuk menjenguk tiga bersaudara dari Cileungsi itu. Kepala Bagian Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, itu tidak bisa memastikan apa yang menyebabkan penderitaan mereka. "Mungkin saja hypophysisnya tak berfungsi dengan baik, sehingga tidak.mengeluarkan hormon pertumbuhan. Mungkin juga karena tumor. Untuk itu, kepala mereka harus diperiksa," katanya. Dia sendiri pernah mengobati penderita seperti itu, dan berhasil menambah tinggi sebanyak 8 cm. Tidak dia jelaskan dalam jangka berapa lama. Menurut Utojo, jika kontet bukan disebabkan oleh kelenjar gondok yang tidak berfungsi, biasanya IQ penderita biasa-biasa saia. Ini terlihat pada Beni Syarifuddin, yang erusia 7 tahun, dari Desa Sindangsari, Subang, Jawa Barat. Tingginya 80 cm, berat cuma 12 kilo. Pelajar Tsanawiyah kelas II ini, kalau tidak juara, paling tidak nomor dua di kelasnya. Dia pandai melawak dan main silat. Kalau ada kegiatan, Pak Lurah selalu memintanya untuk menjadi pengantar acara. Tak heran, ayahnya, seorang buruh di sebuah perkebunan, menyebut anaknya itu "Si Jimat". "Sejak dia lahir, kehidupan saya agak lumayan," kata Toto Suryadi, ayahnya. Beni lahir prematur dalam umur kandungan tujuh bulan. "Bayinya sebesar kepal, dan terpaksa dilistrik," kata ibunya, Maryati, 30. Maksudnya, dimasukkan dalam inkubator. Pengalaman yang sama terjadi juga pada Nyonya Sawiah, penduduk Desa Cipinang, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Bayinya, yang panjangnya cuma sejengkal, lahlr ketika kandungannya baru enam bulan (TEMPO, September 1982). Iing Solichin, nama anak itu, ketika berumur 8 tahun, tingginya cuma 60 cm dan beratnya 3,75 kg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus