DENGAN mengucapkan terlma kasih kepada Duta Besar Prancis, Direktur Jenderal Pariwisata, dan Direktur Jenderal Kebudayaan lewat katalog, sebuah pameran pelukis-pelukis besar Prancis dibuka dua kali. Yaitu 24 Mei dan 26 Mei lalu - penyelenggaranya berbeda, walaupun materi pameran sama. Masih ada keanehan lain: pameran dinyatakan tidak terbuka untuk umum. Dengan sendirinya, masa pameran juga tidak jelas, kapan dan berapa lama - kesempatan melihat hanya pada cocktail reception pembukaan pameran. Padahal, pameran itu cukup menarik. Sebab, menampilkan karya asli beberapa nama besar, seperti Fernand Leger dan Francis Picabia. Karena itu, tidak aneh apabila Direktur Jenderal Kebudayaan besar kemungkinan menganggap pameran ini penting. Dan pada katalog tercantum: awal pertukaran kebudayaan Indonesia-Prancis. Toh ada yang mengganggu. Selain tertutup, pada pembukaan pameran tak tampak tokoh-tokoh seni rupa yang bisa menjadi mediator pameran itu. Yang datang, mereka yang agaknya diperkirakan bisa membeli "buah karya besar" pelukis-pelukis Prancis kenamaan - sebagian dari mereka sudah meninggal. Lewat bisik-bisik pada pembukaan pameran - dari sumber yang layak dipercaya - terungkap bahwa lukisan-lukisan "besar" itu memang dijual. Tapi, sedikit tak biasa, lukisan yang dibeli harus diambil di Singapura. Di sisi lain, Hotel Borobudur, yang ikut menyelenggarakan pameran, tidak mengetahui bahwa lukisan-lukisan itu dijual. Pameran ini agaknya memang perpanjangan pameran sama yang diselenggarakan di Singapura dengan nada menjual. Bujukan itu tertulis sebagai: "Lukisan-lukisan ini bukan cuma benda dekorasi, tapi juga sarana investasi yang prestisius." Nada bisnis itu kian jelas, karena penyelenggara pameran bukan suatu badan kebudayaan Prancis, melainkan Galerie Art Contemporain, yang umumnya dikenal punya niat berdagang. Di samping itu, Singapura belakangan ini memang menjadi salah satu pos penjualan karya-karya seni Eropa Barat, karena konon kolektor di Eropa dan Amerika sudah sangat kritis dan selektif dalam membeli. Indonesia, kini, barangkali menjadi "kawasan" uji coba. Pada pameran pelukis besar Prancis di Borobudur itu memang ada kadar koleksi. Dua nama, Fernand Leger dan Francis Picabia, terbilang perintis seni lukis modern yang menjadi akar seni lukis dunia, termasuk yang kemudian dianut beberapa pelukis Indonesia. Namun, baik karya Fernand Leger maupun Francis Picabia yang muncul pada pameran bukan karya-karya puncak. Tak adanya data - misalnya tahun Fembuatan - menyulitkan penilaian pada episode mana corak lukisan mereka harus ditempatkan dalam perkembangan seni lukis modern. Fernand Leger, misalnya dikenal sebagai perintis gaya yang disebut Kubisme Sintetis. Tak merintis pola-pola datar dalam bentuk kotak-kotak. Juga susunan dekoratif dan garis-garis lurus yang bersih atau akurat. Ketika itu gaya lukisan yang dominan masih penggambaran obyek. Sementara itu, Kubisme masa awal ragu-ragu antara penggambaran obyek dan penyederhanaan bentuk (sekadar memotong-motong obyek). Gaya Leger yang terhhat pada pameran sekadar usaha penyederhanaan bentuk yang tanpa arah - mungkin ketika masih mencari. Bahkan pola datar tak bisa ditemukan. Francis Picabia, nama besar yang lain, tokoh gerakan yang sangat terkenal: Dada. Ia perintis citra "mesin" dan sangat fanatik pada gambar "konstruktif". Pelukis ini juga terbilang perintis "bentuk kongkret", dan bersama pelukis terkenal Marcel Duchamp memperkenalkan karya "obyek jadi" atau "karya barang bekas". Pada pameran itu, lukisan Picabia jauh dari "mesin". Mungkin, karya-karyanya ketika masih belajar. Corak yang muncul: ckspresi khayalan dengan garis yang belum tersusun rapi Leger dan Picabia, bagi yang kelebihan uang, barangkah bisa dikoleksi - karya yang lain dalam pameran tak tercantum -dalam perkembangan seni lukis modern. Kolektor biasa bilang, nilai atau mutu suatu lukisan tak penting. Yang penting: nama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini