Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Award dokter puskesmas

Laporan penelitian dari tiga dokter ui tentang kekebalan infeksi malaria terhadap obat antimalaria yang kemudian mendapat hadiah dari majalah medika. (ksh)

2 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA ahli dari Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Tengah tahun 1961 melaporkan soal mulai kebalnya infeksi malaria terhadap obat antimalaria. Kabar buruk itu kemudian menjalar pula ke Asia, terutama Asia Tenggara. Di Indonesia, kasus pertama ditemukan di daerah endemis malaria Kalimantan Timur. Kemudian menyusul laporan serupa dari Irian Jaya (1976), diikuti Sumatera Selatan, Java Tengah, dan Timor Timur (1980). Kejadian itu ternyata menyengat Wita Pribadi dan dua teman sejawatnya, Legia S Dakung dan Sumarni A. Adjung, dari Bagian Parasitologi Universitas Indonesia. Sejak 1977 sampai 1981 mereka melakukan pemeriksaan terhadap 291 penderita, baik di laboratorium maupun secara klinis. "Setiap minggu rata-rata kami kedatangan satu atau dua orang penderita malaria," cerita Dokter Wita Pribadi, 55. Penelitian mereka mendapat bantuan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dari penelitian itu, mereka menemukan 14 orang yang kebal terhadap klorokuin, suatu jenis obat malaria sitesis. Sebelum penelitian yang memakan waktu lima tahun itu berakhir, mereka sendiri belum percaya bahwa malaria mulai kebal terhadap obat. "Mungkin karena dosisnya yang rendah. Tetapi, ternyata, setelah dosis itu ditambah, pasien tetap tidak sembuh. Sehingga akhirnya kami berikan obat lain, Fansidar," ujar Wita. Dan hari Minggu pekan ini barangkali mereka kaget. Sebab, hasil penelitian itu, yang secara "iseng-iseng dlkirimkan ke Medka", dinyatakan memenangkan hadiah utama sebesar Rp 500.000. Medika, majalah kedokteran dan farmasi yang terbit di Jakarta, memberikan hadiah itu dalam rangka ulang tahun kesembilan. Hadiah yang dinamakan "Medika Award" itu diberikan kepada tulisan yang muncul selama setahun di majalah khusus itu. Tulisan mengenai malaria dari trio ahli dari UI itu muncul tahun lalu. "Uang itu akan kami gunakan untuk cadangan riset," kata Wita. SELAIN hadiah utama tadi, majalah bu lanan yang beredar 16.000 eksemplar V itu juga memberikan hadiah untuk tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan penelitian, hanya merupakan tinjauan kepustakaan dan opmi. Yang terakhlr inl mirlp laporan pandangan mata para dokter puskesmas yang bekerja di pedalaman. Misalnya laporan dokter dari pedalaman Irian Jaya April yang lalu mengenai gondok. Begitu parahnya penyakit itu di sana, sehingga bukan cuma orang yang dlserang, melam an kambing juga menggendong gondok di lehernya. Tradisi pemberian hadiah itu dimulai sejak 1979. "Tujuan kami adalah untuk merangsang dokter menulis. Kalau tak dirangsang kerja dokter hanya praktek saja. Dan kalau mereka tldak menelitl dan mcnuhs, kita hanya akan tergantung pada hasil penelitian dokter luar," kata Kartono Mohamad, pemimpin redaksi majalah yang diterbitkan Gabungan Perusahaan Farmasi dan Grafiti Medika Pers itu. Sambutan dokter terhadap niat itu kelihatannya lumayan. Dari tahun ke tahun jumlah tulisan bertambah banyak dan mutunya meningkat. Sehingga dewan juri, yang terdiri dari lima orang ahli, memerlukan juri praseleksi untuk mempermudah pekerjaan mereka. Sekali terbit majalah itu memuat sekitar 10 artikel. Yang diharapkan Kartono Mohamad adalah tulisan-tulisan yang relcvan dengan kepentingan Indonesia. Boleh dicatat, dua tahun lalu Medika menurunkan tulisan mengenai hasil penelitian tim dokter dari Lombok Barat yang menemukan Lombok sebagai daerah endemi gondok. Padahal, dalam peta penyakit Departemen Kesehatan, daerah itu tidak termasuk daerah endemi gondok. Penulis tidak terbatas pada dokter Indonesia. Orang asing juga boleh, asal ditulis daiam bahasa Indonesia. Di majalah itu pernah tampil penelitian terhadap kuman tifus pada makanan yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan Jakarta. Tetapi arena ditulis dalam bahasa Inggris oleh seorang dokter dari Amerika yang sedang dinas di sini, tulisan itu gagal merebut hadiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus