Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kuli jalanan apa perlu masa depan ?

"kepok", berarti menurunkan dan mengangkut pasir atau batu. pembangunan ibukota hanya memberi hidup, tidak menjanjikan masa depan. mencari pekerjaan ke jakarta dengan sebuah sekop sebagai kuli borongan. (sd)

3 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA memberi hidup tetapi tidak menjanjikan masa depan. Tidak menurunkan harapan untuk mereka yang telah tersedot dari pedalaman. Banyak sekali pekerjaan yang bisa mengoper sesuap nasi ke perut. Tapi tidak selamanya diikuti kondisi sosial yang wajar. Hidup sebagai gelandangan misalnya, menggantungkan nasib pada puntung rokok, juga 'pekerjaan'. Atau dengan sebuah sekop sebagai kuli borongan. Seribu macam pembangunan menjamah ibukota dan sekitarnya. Buruh kasar dengan bayaran rendah amat diperlukan. Setiap pagi truk-truk melesat di jalan-jalan tertentu menyerobot tenaga-tenaga manusia untuk ditumpahkan dalam pekerjaan mahal dan deras itu. Kesibukan yang tidak memerlukan keahlian: cukup sebuah sekop, otot dan keikhlasan untuk tidak membicarakan masa depan. Mencuri Sekop Slamet, berusia 22 tahun dari Solo, telah meninggalkan kandangnya untuk memasuki kubangan baru. Ia berbekal pendidikan kelas II sekolah teknik. Ia sudah jadi kerbau, karena dengan mudah dipikat mulut manis rekannya. Di umpan, bahwa ia ditunggu oleh sebuah: pekerjaan lumayan dari sebuah pabrik yang bonafid, ia pun berangkat. Dengan bekal Rp 20 ribu yang ditentukan sebagai syarat, ia angkat tabik pada ibu tirinya. Sekarang ia sudah hampir 4 tahun makan garam ibukota. Bakat teknik, pabrik yang bonafid, lamunan untuk memperbaiki hidup, harus dilupakan saja. Di tangannya sekarang hanya ada sekop. Ia berdiri di sana, di samping buruh-buruh lain di sepanjang Jalan Halim. Menunggu sebuah truk untuk membawanya ke proyek di mana ia boleh mempergunakan sekopnya untuk pasir atau batu koral. Kalau supir mengacungkan jarisatu, maka sejumlah orang harus kecewa --sampai datang truk lain menawarkan pekerjaan. Tidak ada jaminan untuk nafkah tetap. Siapa yang lebih dahulu, siapa yang gesit, siapa yang sabar, dan siapa yang bernasib baik, boleh dapat rejeki. Pada suatu hari, Slamet dengan topi hijau, baju coklat dan celana yang sudah belar berkata kepada Widi Yarmanto dari TEMPO: "Sudah sejak pagi saya belum makan." Ucapan ini agak bertentangan dengantubuhnya yang kekar dan keling. Apalagi lagunya memelas. Duit bekalnya mula-mula dulu, sudah lama ludes. Anak tunggal yang lari ini pernah ditampik oleh setiap proyek yang disampernya. Ia hampir menangis pada masa-masa itu. Lututnya gemetar karena capek dan lapar. "Selama 2 bulan betul-betul saya jadi gelandangan. Tapi saya tidak sampai cari puntung rokok dan minta-minta, biar begini saya masih punya harga diri Oom." Tetapi apa yang dinamakannya harga diri jadi kabur tatkala suatu kali ia memutuskan untuk mencuri sekop. Jadi gelandangan telah membosankan. Ia masih berharap jadi orang. Misalnya saja sebagai kuli jalanan. Maka pergilah ia ke Pancoran. Di sana ada sebuah truk yang berisi dua buah sekop yang dicarinya. Setelah memilih yang terbaik, ia segera menyambar dan ngabur ikut truk lain yang kebetulan lewat. "Yah sekali itu saja tak apa," katanya membela diri. Sejak itu kemudian ia jadi kuli jalanan. Bergabung dengan kuli-kuli di perempatan Halim sebagai tenaga kasar menurunkan pasir. Meskipun sodokan-sodokan pertamanya semrawut mengenai kawan-kawannya sendiri, sehingga ia kena umpatan pedas, toh ia senang bukan main. Upah pertama yang diterimanya waktu itu (1973) hanya Rp 250. Tapi heran sampai sekarang ia tetap betah. "Orang Bodoh" Berbeda dengan Slamet, Anta, lelaki 25 tahun dari Jatiluhur, meninggalkan desa bukan karena terpikat. Kampung miskin, daerah minus menyebabkan ia membawa sebuah sekop untuk dikaryakan di Jakarta sejak 1965. Tanpa mimpi muluk ia langsung mencari perlindungan di perempatan Halim. Waktu itu kuli jalanan belum begitu populer. Berbeda sekali dengan sekarang: kadang tenaga kerja jauh lebih banyak dari kesempatan. Sehingga sering kita melihat manusia tersia-sia di pinggir jalan sepanjang hari, karena tidak kebagian tempat dalam truk. Anta sampai sekarang tidak pernah ngotot atau bentrokan soal pekerjaan. Bagi Anta pekerjaannya sebagai kuli bukan merupakan sambilan. Ia memang memiliki seperempat hektar sawah warisan. Tapi itu hanya memerlukan tenaganya selama l bulan pada saat musim anam. Lewat masa itu, ia 100 prosen bisa tinggalkan begitu saja, karena masih ada isteri yang melanjutkan mengurus. Sebulan sekali ia pulang menengok, sambil meninggalkan sedikit-sedikit hasil cucur keringat dari sekopnya. Ya sekitar Rp 2000. Malahan sering juga tidak meninggalkan apa-apa . "Boro-boro buat anak isteri, untuk makan sendiri saja pas-pasan," katanya. Anta dengan KTP Purwakarta, termasuk jorok di antara kawan-kawannya. Ia jarang mandi. Dua hari tidak mandi, lumrah. Bajunya hanya satu untuk satu bulan. Ia pikir tak ada gunanya menjaga kebersihan: toh sebentar kalau sudah kerja, kotor lagi. Dengan stelan coklat, topi lebar, sandal jepit, kulit kaki bersisik serta daki tebal di leher, ia menjadi satu dengan pekerjaannya, mengangkut dan menurunkan pasir. Kadangkala ke Cilincing, kadangkala terlempar ke Bogor dibawa truk. Ia pernah bergaul dengan batu-batu besar sehingga kelima kukunya sempat terkelupas karena kena gencet. "Tapi saya tidak kapok, habis mau kerja apa lagi. Inilah kalau orang bodoh Oom, kalau tidak bodoh mestinya kan tidak begini," katanya dengan tenang. Barangkali ini memang bukan model yang suka mengluh. Meskipun paling top penghasilannya satu hari hanya Rp 100 untuk kerja non stop dari pagi hingga petang. Jumlah itu sudah mendingan dibanding penghasilan Slamet yang hanya Rp 1000 sehari. Itupun dulu, sebelum ada "tekanan dari Opstib". Sekarang Slamet hanya mampu merebut sekitar Rp 600 sehari. Jumlah yang hanya cukup untuk isi perut dua hari. Karena itu memang dapat dimaklumi klau banyak kali tidak punya tabungan. Di samping kekasaran pekerjaan, lingkunan, kondisi, barangkali putus asa telah membuat mereka berpikir lebih praktis untuk tidak memikirkan masa depan. Hidup untuk hari ini, dengan filsafat "biarin". Hujan Rintik-Rintik Di kalangan kuli-kuli ini ada yang dinamakan kepok - berarti menurunkan dan mengangkut pasir atau batu ke atas truk. Kerja itu hanya dibayar Rp 1200 untnk satu rit. Dikerjakan oleh paling banyak 5 orang. Umumnya hanya 4 orang, karena dalam satu hari tak mungkin bekerja lebih dari 5 rit. Jadi satu hari kelompok itu hanya menerima Rp 6000. Pukul rata setiap orang hanya bisa terima Rp 1200 - seperti yang diutarakan Anta. Akan tetapi ini sudah termasuk rezeki nomplok. Dari pasar tenaga liar di Halim, truk-truk memboyong mereka ke Cilincing, Krawang, Bekasi atau Tangerang di mana ada pangkalan pasir. Dari sana mereka mengawal pasu sampai ke proyek-proyek yang membutuhkan. Misalnya ke Jalan Sudinnan, Simpruk atau ke proyek-proyek pribadi. Yang jelas tidak ada mandor-mandoran Semuanya kerja borongan, sehingga yang malas boleh terus tidak dap..t apa-apa. Karenanya orang yang tidak kuat bokongnya seperti Slamet, tidak akan sempat mengumpulkan banyak duit. Padahal kebutuhan kerja itu tidak sedikit. "Bayangkan," kata Slamet. "Untuk beli sekop yang harganya hanya Rp 2000 saya sudah pusing. Empat bulan sekali harus diganti, karena dalam sebulan 1 cm giginya termakan pasir." Di samping penghasilan, cara hidup kuli-kuli yang tak punya KTP ini menarik sekali. Selain tidak peduli masa depan, mereka juga seakan tidak peduli keselamatan jasmani mereka. Slamet yang memulai debutnya sebagai gelandangan yang tidur di sembarang tempat, meneruskan tidur di bawah papan reklame ban Intirub selama 3 bulan - tatkala mula-mula main sekop. Siang malam, panas atau dingin, di situlah ia nempel seperti ayam. "Kalau cuma hujan rintik-rintik itu saya anggap kayak ber-AC saja," katanya. Anehnya kehidupan primitip itu tidak pernah membetot kesehatannya. Kalau cuma pusing sih lumrah. "Tapi sekali telan puyer cap macan lalu dibawa tidur di rumput satu jam, puyeng itu akan hilang," ujarnya tenang. Kemanjuran cara itu dibenarkan oleh Anta yang juga tidur sembarang. Cuma Anta pernah mengalami salah seorang kawannya sakit berat: tidak mempan lagi dihibur dengan puyer. Tidak pikir panjang terus dicarikan karcis dan dikirim ke kampung. "Habis mau dibawa ke mana? Tempat tinggalnya saja di rumput," kata Anta. Slamet kini sudah ada kemajuan tinggalnya. Setelah jadi pengawal poster, ada orang baik hati dikirim oleh nasib. Slamet mendapat tawaran untuk hidup bersama dalam bedeng. Tawaran itu menyebabkan ia berkumpul dengan 30 orang lelaki satu korps. Bedeng, yang juga terletak di sekitar perempatan Halim ini, tidak menyediakan dipan atau balai-balai. Hanya tikar saja. Tetapi dengan adanya perlindungan ini keadaan Slamet agak berubah. Kalau dulu ia sama saja dengan Anta, yakni hanya memiliki satu stel pakaian untuk segala cuaca, kini ia bisa memiliki 2 buah baju keren. Ini penting, sebab Slamet selain banting tulang, juga doyan nonton bioskop di Penas dengan harga karcis Rp 250 - asal jangan film Indonesia yang cengeng atau drama percintaan. Ia paling suka film detektip spionase. Dan sekali-sekali main perempuan pula. Beton Pemisah Jalan Ia juga tidak perlu misalnya mengalami nasib sial digerayangi copet selagi tidur, seperti pernah dialami Anta. Kawan kita yang dekil dan agak menutup diri itu pernah disikat karena menggeletak di mana saja dan kapan saja. Uangnya yang sedikit, tersimpan di kantong yang merangkap lemari, digerayangi dengan silet. Anta terpesona setelah terbangun: baru tahu bahwa copet tidak merasa risih merogoh kantong orang miskin. Ia kemudian hanya bisa membungkam, karena takut diancam kemudian hari. "Saya kerja di sini, jadi kan gampang ketahuan," katanya kepada TEMPO, sementara kawan-kawannya membenarkan. Anta pernah tak dapat kerjaan berturut-turut 2 hari. Itu berarti menahan lapar. Belum lagi kemungkinan mati ditabrak truk, lecet kalau salah loncat dari truk. Atau mati dibetot mobil waktu sedang tidur di beton pemisah jalan - seperti sejawat Anta. Memang ada juga kesempatan ngobyek kalau ada mobil mogok di perempatan. Sekali dorong bisa dapat sampai Rp 200. Tapi ini sama sekali bukan daya pikat. Slamet berkata, ia akan berhenti 3 tahun lagi. "Kalau 3 tahun lagi saya belum berhasil, saya akan pulang. Jakarta memang terlalu kejam buat orang bodoh," katanya. Seringkali ia bertemu dengan orang tuanya yang telah meninggal, dalam mimpi. Bahkan satu kali, tatkala meloncat ke truk, ada seseorang yang memperhatikannya. Ia yakin itu tetangganya. Mau menegur, tak mampu, rasa malu karena kepergok melakukan kerja sekasar itu. Ia berpaling dari wajah tetangganya yang kelihatannya tercengang melihat pekerjaan bekas anak sekolah teknik itu. Dalam hati kini Slamet merencanakan merubah profesi: menjadi sopir taksi misalnya. Tapi itu memerlukan biaya sekitar Rp 100 ribu untuk belajar nyetir, kontrak membawa taksi dan biaya-biaya lainnya. Berat. Barangkali Anta lebih damai. Karena ia murni tidak peduli. Ia mengatakan akan tetap bertahan - sampai kapan tidak tahu. Masa depan anaknya pun tidak mau ia pikirkan. "Saya kan orang bodoh. "Kalau saya jadi orang pintar pasti tidak begini. Sekarang pokoknya saya kerja dan cari duit," katanya acuh. Yang dimaksudkannya sebagai kerja dan cari duit sama dengan cari pengganjal perut tanpa ada yang nyuruh dan ngemandorin. Sikap acuh ini kelihatannya sudah begitu merasuk. Anta, siapa Presiden sekarang? Ia kelihatan terkejut, heran. Dan jawabnya nyaris sebuah pertanyaan: "Pak Harto, kan?".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus