JAKARTA memberi hidup tetapi tidak menjanjikan masa depan. Tidak
menurunkan harapan untuk mereka yang telah tersedot dari
pedalaman.
Banyak sekali pekerjaan yang bisa mengoper sesuap nasi ke
perut. Tapi tidak selamanya diikuti kondisi sosial yang wajar.
Hidup sebagai gelandangan misalnya, menggantungkan nasib pada
puntung rokok, juga 'pekerjaan'. Atau dengan sebuah sekop
sebagai kuli borongan.
Seribu macam pembangunan menjamah ibukota dan sekitarnya. Buruh
kasar dengan bayaran rendah amat diperlukan. Setiap pagi
truk-truk melesat di jalan-jalan tertentu menyerobot
tenaga-tenaga manusia untuk ditumpahkan dalam pekerjaan mahal
dan deras itu. Kesibukan yang tidak memerlukan keahlian: cukup
sebuah sekop, otot dan keikhlasan untuk tidak membicarakan masa
depan.
Mencuri Sekop
Slamet, berusia 22 tahun dari Solo, telah meninggalkan
kandangnya untuk memasuki kubangan baru. Ia berbekal pendidikan
kelas II sekolah teknik. Ia sudah jadi kerbau, karena dengan
mudah dipikat mulut manis rekannya. Di umpan, bahwa ia ditunggu
oleh sebuah: pekerjaan lumayan dari sebuah pabrik yang bonafid,
ia pun berangkat. Dengan bekal Rp 20 ribu yang ditentukan
sebagai syarat, ia angkat tabik pada ibu tirinya.
Sekarang ia sudah hampir 4 tahun makan garam ibukota. Bakat
teknik, pabrik yang bonafid, lamunan untuk memperbaiki hidup,
harus dilupakan saja. Di tangannya sekarang hanya ada sekop. Ia
berdiri di sana, di samping buruh-buruh lain di sepanjang Jalan
Halim. Menunggu sebuah truk untuk membawanya ke proyek di mana
ia boleh mempergunakan sekopnya untuk pasir atau batu koral.
Kalau supir mengacungkan jarisatu, maka sejumlah orang harus
kecewa --sampai datang truk lain menawarkan pekerjaan. Tidak ada
jaminan untuk nafkah tetap. Siapa yang lebih dahulu, siapa yang
gesit, siapa yang sabar, dan siapa yang bernasib baik, boleh
dapat rejeki.
Pada suatu hari, Slamet dengan topi hijau, baju coklat dan
celana yang sudah belar berkata kepada Widi Yarmanto dari TEMPO:
"Sudah sejak pagi saya belum makan." Ucapan ini agak
bertentangan dengantubuhnya yang kekar dan keling. Apalagi
lagunya memelas. Duit bekalnya mula-mula dulu, sudah lama ludes.
Anak tunggal yang lari ini pernah ditampik oleh setiap proyek
yang disampernya. Ia hampir menangis pada masa-masa itu.
Lututnya gemetar karena capek dan lapar. "Selama 2 bulan
betul-betul saya jadi gelandangan. Tapi saya tidak sampai cari
puntung rokok dan minta-minta, biar begini saya masih punya
harga diri Oom."
Tetapi apa yang dinamakannya harga diri jadi kabur tatkala suatu
kali ia memutuskan untuk mencuri sekop. Jadi gelandangan telah
membosankan. Ia masih berharap jadi orang. Misalnya saja sebagai
kuli jalanan. Maka pergilah ia ke Pancoran. Di sana ada sebuah
truk yang berisi dua buah sekop yang dicarinya. Setelah memilih
yang terbaik, ia segera menyambar dan ngabur ikut truk lain yang
kebetulan lewat. "Yah sekali itu saja tak apa," katanya membela
diri.
Sejak itu kemudian ia jadi kuli jalanan. Bergabung dengan
kuli-kuli di perempatan Halim sebagai tenaga kasar menurunkan
pasir. Meskipun sodokan-sodokan pertamanya semrawut mengenai
kawan-kawannya sendiri, sehingga ia kena umpatan pedas, toh ia
senang bukan main. Upah pertama yang diterimanya waktu itu
(1973) hanya Rp 250. Tapi heran sampai sekarang ia tetap betah.
"Orang Bodoh"
Berbeda dengan Slamet, Anta, lelaki 25 tahun dari Jatiluhur,
meninggalkan desa bukan karena terpikat. Kampung miskin, daerah
minus menyebabkan ia membawa sebuah sekop untuk dikaryakan di
Jakarta sejak 1965. Tanpa mimpi muluk ia langsung mencari
perlindungan di perempatan Halim. Waktu itu kuli jalanan belum
begitu populer. Berbeda sekali dengan sekarang: kadang tenaga
kerja jauh lebih banyak dari kesempatan. Sehingga sering kita
melihat manusia tersia-sia di pinggir jalan sepanjang hari,
karena tidak kebagian tempat dalam truk. Anta sampai sekarang
tidak pernah ngotot atau bentrokan soal pekerjaan. Bagi Anta
pekerjaannya sebagai kuli bukan merupakan sambilan. Ia memang
memiliki seperempat hektar sawah warisan. Tapi itu hanya
memerlukan tenaganya selama l bulan pada saat musim anam. Lewat
masa itu, ia 100 prosen bisa tinggalkan begitu saja, karena
masih ada isteri yang melanjutkan mengurus. Sebulan sekali ia
pulang menengok, sambil meninggalkan sedikit-sedikit hasil cucur
keringat dari sekopnya. Ya sekitar Rp 2000. Malahan sering juga
tidak meninggalkan apa-apa . "Boro-boro buat anak isteri, untuk
makan sendiri saja pas-pasan," katanya.
Anta dengan KTP Purwakarta, termasuk jorok di antara
kawan-kawannya. Ia jarang mandi. Dua hari tidak mandi, lumrah.
Bajunya hanya satu untuk satu bulan. Ia pikir tak ada gunanya
menjaga kebersihan: toh sebentar kalau sudah kerja, kotor lagi.
Dengan stelan coklat, topi lebar, sandal jepit, kulit kaki
bersisik serta daki tebal di leher, ia menjadi satu dengan
pekerjaannya, mengangkut dan menurunkan pasir. Kadangkala ke
Cilincing, kadangkala terlempar ke Bogor dibawa truk.
Ia pernah bergaul dengan batu-batu besar sehingga kelima
kukunya sempat terkelupas karena kena gencet. "Tapi saya tidak
kapok, habis mau kerja apa lagi. Inilah kalau orang bodoh Oom,
kalau tidak bodoh mestinya kan tidak begini," katanya dengan
tenang. Barangkali ini memang bukan model yang suka mengluh.
Meskipun paling top penghasilannya satu hari hanya Rp 100 untuk
kerja non stop dari pagi hingga petang.
Jumlah itu sudah mendingan dibanding penghasilan Slamet yang
hanya Rp 1000 sehari. Itupun dulu, sebelum ada "tekanan dari
Opstib". Sekarang Slamet hanya mampu merebut sekitar Rp 600
sehari. Jumlah yang hanya cukup untuk isi perut dua hari. Karena
itu memang dapat dimaklumi klau banyak kali tidak punya
tabungan. Di samping kekasaran pekerjaan, lingkunan, kondisi,
barangkali putus asa telah membuat mereka berpikir lebih praktis
untuk tidak memikirkan masa depan. Hidup untuk hari ini, dengan
filsafat "biarin".
Hujan Rintik-Rintik
Di kalangan kuli-kuli ini ada yang dinamakan kepok - berarti
menurunkan dan mengangkut pasir atau batu ke atas truk. Kerja
itu hanya dibayar Rp 1200 untnk satu rit. Dikerjakan oleh paling
banyak 5 orang. Umumnya hanya 4 orang, karena dalam satu hari
tak mungkin bekerja lebih dari 5 rit. Jadi satu hari kelompok
itu hanya menerima Rp 6000. Pukul rata setiap orang hanya bisa
terima Rp 1200 - seperti yang diutarakan Anta. Akan tetapi ini
sudah termasuk rezeki nomplok.
Dari pasar tenaga liar di Halim, truk-truk memboyong mereka ke
Cilincing, Krawang, Bekasi atau Tangerang di mana ada pangkalan
pasir. Dari sana mereka mengawal pasu sampai ke proyek-proyek
yang membutuhkan. Misalnya ke Jalan Sudinnan, Simpruk atau ke
proyek-proyek pribadi. Yang jelas tidak ada mandor-mandoran
Semuanya kerja borongan, sehingga yang malas boleh terus tidak
dap..t apa-apa. Karenanya orang yang tidak kuat bokongnya
seperti Slamet, tidak akan sempat mengumpulkan banyak duit.
Padahal kebutuhan kerja itu tidak sedikit. "Bayangkan," kata
Slamet. "Untuk beli sekop yang harganya hanya Rp 2000 saya sudah
pusing. Empat bulan sekali harus diganti, karena dalam sebulan 1
cm giginya termakan pasir."
Di samping penghasilan, cara hidup kuli-kuli yang tak punya KTP
ini menarik sekali. Selain tidak peduli masa depan, mereka juga
seakan tidak peduli keselamatan jasmani mereka. Slamet yang
memulai debutnya sebagai gelandangan yang tidur di sembarang
tempat, meneruskan tidur di bawah papan reklame ban Intirub
selama 3 bulan - tatkala mula-mula main sekop. Siang malam,
panas atau dingin, di situlah ia nempel seperti ayam. "Kalau
cuma hujan rintik-rintik itu saya anggap kayak ber-AC saja,"
katanya.
Anehnya kehidupan primitip itu tidak pernah membetot
kesehatannya. Kalau cuma pusing sih lumrah. "Tapi sekali telan
puyer cap macan lalu dibawa tidur di rumput satu jam, puyeng itu
akan hilang," ujarnya tenang. Kemanjuran cara itu dibenarkan
oleh Anta yang juga tidur sembarang. Cuma Anta pernah mengalami
salah seorang kawannya sakit berat: tidak mempan lagi dihibur
dengan puyer. Tidak pikir panjang terus dicarikan karcis dan
dikirim ke kampung. "Habis mau dibawa ke mana? Tempat tinggalnya
saja di rumput," kata Anta.
Slamet kini sudah ada kemajuan tinggalnya. Setelah jadi pengawal
poster, ada orang baik hati dikirim oleh nasib. Slamet mendapat
tawaran untuk hidup bersama dalam bedeng. Tawaran itu
menyebabkan ia berkumpul dengan 30 orang lelaki satu korps.
Bedeng, yang juga terletak di sekitar perempatan Halim ini,
tidak menyediakan dipan atau balai-balai. Hanya tikar saja.
Tetapi dengan adanya perlindungan ini keadaan Slamet agak
berubah.
Kalau dulu ia sama saja dengan Anta, yakni hanya memiliki satu
stel pakaian untuk segala cuaca, kini ia bisa memiliki 2 buah
baju keren. Ini penting, sebab Slamet selain banting tulang,
juga doyan nonton bioskop di Penas dengan harga karcis Rp 250 -
asal jangan film Indonesia yang cengeng atau drama percintaan.
Ia paling suka film detektip spionase. Dan sekali-sekali main
perempuan pula.
Beton Pemisah Jalan
Ia juga tidak perlu misalnya mengalami nasib sial digerayangi
copet selagi tidur, seperti pernah dialami Anta. Kawan kita yang
dekil dan agak menutup diri itu pernah disikat karena
menggeletak di mana saja dan kapan saja. Uangnya yang sedikit,
tersimpan di kantong yang merangkap lemari, digerayangi dengan
silet. Anta terpesona setelah terbangun: baru tahu bahwa copet
tidak merasa risih merogoh kantong orang miskin. Ia kemudian
hanya bisa membungkam, karena takut diancam kemudian hari. "Saya
kerja di sini, jadi kan gampang ketahuan," katanya kepada TEMPO,
sementara kawan-kawannya membenarkan.
Anta pernah tak dapat kerjaan berturut-turut 2 hari. Itu berarti
menahan lapar. Belum lagi kemungkinan mati ditabrak truk, lecet
kalau salah loncat dari truk. Atau mati dibetot mobil waktu
sedang tidur di beton pemisah jalan - seperti sejawat Anta.
Memang ada juga kesempatan ngobyek kalau ada mobil mogok di
perempatan. Sekali dorong bisa dapat sampai Rp 200. Tapi ini
sama sekali bukan daya pikat.
Slamet berkata, ia akan berhenti 3 tahun lagi. "Kalau 3 tahun
lagi saya belum berhasil, saya akan pulang. Jakarta memang
terlalu kejam buat orang bodoh," katanya. Seringkali ia bertemu
dengan orang tuanya yang telah meninggal, dalam mimpi. Bahkan
satu kali, tatkala meloncat ke truk, ada seseorang yang
memperhatikannya. Ia yakin itu tetangganya. Mau menegur, tak
mampu, rasa malu karena kepergok melakukan kerja sekasar itu. Ia
berpaling dari wajah tetangganya yang kelihatannya tercengang
melihat pekerjaan bekas anak sekolah teknik itu. Dalam hati kini
Slamet merencanakan merubah profesi: menjadi sopir taksi
misalnya. Tapi itu memerlukan biaya sekitar Rp 100 ribu untuk
belajar nyetir, kontrak membawa taksi dan biaya-biaya lainnya.
Berat.
Barangkali Anta lebih damai. Karena ia murni tidak peduli. Ia
mengatakan akan tetap bertahan - sampai kapan tidak tahu. Masa
depan anaknya pun tidak mau ia pikirkan. "Saya kan orang bodoh.
"Kalau saya jadi orang pintar pasti tidak begini. Sekarang
pokoknya saya kerja dan cari duit," katanya acuh. Yang
dimaksudkannya sebagai kerja dan cari duit sama dengan cari
pengganjal perut tanpa ada yang nyuruh dan ngemandorin. Sikap
acuh ini kelihatannya sudah begitu merasuk.
Anta, siapa Presiden sekarang?
Ia kelihatan terkejut, heran. Dan jawabnya nyaris sebuah
pertanyaan: "Pak Harto, kan?".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini