KAPAL KM Permata II, yang berlayar pulang-balik Asam-Asam
(Kalimantan Tenggara) - Kotabaru (Pulau Laut), sebenarnya cuma
boleh membawa penumpang paling banyak 17 orang. Tapi ketika
tenggelam di Selat Laut, tengah hari 14 Agustus lalu, membawa
penumpang sebanyak 81 orang termasuk 5 awak kapal. Kabar
terakhir menyatakan: 26 penumpang ditemukan mati terapung di
lepas pantai Bonati dan Bamban. Sedang 2 penumpang masih belum
diketahui nasibnya. Nakhoda Abdul Rasyidi selamat bersama sisa
penumpang lainnya.
Hari Minggu itu penumpang dari Asam-Asam memang banyak. Dimuat
juga 2 ton beras. Permata II sebenarnya, berkekuatan 22 PK (dari
mesin Yanmar) adalah kapal barang. Namun, untuk kelancaran
pengangkutan rakyat, kapal ini bersertifikat untuk mengangkut 17
penumpang. Menjelang kecelakaan itu kapal bertolak jam 6 pagi
dengan penumpang memenuhi geladak sampai atap. Cuaca,
sebenarnya, biasa-biasa saja apalagi nakhoda Abdul Rasyidi sudah
berpengalaman laut 11 tahun.
Tapi, karena sarat, kapal mudah oleng hanya oleh hempasan ombak
biasa saja. Nah, ketika muncul apa yang oleh orang laut disebut
"gelombang tiga," yaitu gelombang yang beruntun tiga kali,
datanglah maut. Kapal miring. Penumpang yang memadati geladak
dan atap tergeser ke salah satu pinggir. Permata II kehilangan
keseimbangan. Lalu terbalik. Kejadian di Selat Laut, 6 jam
perjalanan dari Asam-Asam, sekitar jam 12 siang.
Siapa bertanggungjawab atas kecelakaan ini? Pertama-tama tentu
si nakhoda Abdul Rasyidi. Tapi pelaut ini cuma bisa bilang:
"Saya sudah berpengalaman memecah gelombang tiga, tapi kali ini
penumpang terlalu banyak dan menghilangkan keseimbangan kapal."
Begitu katanya kepada TEMPO. Tapi ia tak dicegah untuk
mengangkut penumpang melebihi ketentuan?
Pejabat yang berwenang memberi izin Permata II berlayar, seperti
kenyataannya, saling melempar tanggungjawab. Apalagi bagi
Permata II ada dua instansi yang mengurusnya: Syahbandar dan
Dinas LLASDF (Lalulintas Sungai, Danau dan Ferry). Permata yang
bertolak dari pelabuhan Asam-Asam, yang berada di sungai
(pedalaman), tentunya berada di bawah pengawasan LLASDF. Tapi,
untuk tujuan Kotabaru dan karena harus melalui laut, tentu
operasinya tak lepas dari mata Syahbandar. Dan akhirnya, untuk
diketahui, Permata Il bertolak setelah mendapat izin dari Lurah
Asam-Asam.
Ingat tenggelamnya KM Klingi, bulan Maret lalu, di teluk
Jakarta? Mahkamah Pelayaran, yang memeriksa dan mengadili
perkara nakhoda Klingi, mcnyatakan: Kapal itu tcnggelam akibat
kesembronoan nakhoda dan ketidaktelitian aparat pemerinah yang
seharusnya melakukan pengawasan. Jadi kasusnya hampir sama
dengan tenggelamnya Permata II.
KM Klingi 7 Maret lalu masih berada di teluk Jakarta. Semalaman
kapal yang sarat itu sudah membuang jauh dekat Pulau Nyamuk.
Nakhodanya sudah memutuskan hendak kembali ke Tanjung Priok.
Tapi jam 2 siang kapal tak tertolong lagi. Tak lama setelah
tanda SOS dikumandangkan Klingi tenggelam. Korbannya: 2 awaknya
tewas bersama 5 penumpang untuk Belawan. Empat penumpang
lainnya dinyatakan hilang.
Mahkamah Pelayaran yang selesai bersidang 14 Mei lalu banyak
menemukan fakta-fakta yang tak seharusnya ada dan mengakibatkan
kecelakaan. KM Klingi. bcrbobot mati 1800 dw ialah kapal barang
milik PT Sriwijaya Paya Lines yang dibangun tahun 1947. Kapal
ini memang punya fasilitas untuk penumpang sekitar 35 orang.
Tapi karena tak bersertifikat maka ia tak dizinkan mengangkut
seorang penumpang pun.
Sudah Miring
Tapi nakhoda Olden Dalentang, berijazah MPB 111 ternyata tak
keberatan kapalnya ditumpangi orang. Menurut pengetahuan nakhoda
ada 19 penumpang - 16 di antaranya penumpang bertiket. Namun di
luar pengetahuan nakhoda ternyata jumlah penumpang ada 22
orang.
Ketika kapal bertolak dari dermaga gudang 111, kapal sebenarnya
sudah miring ke kanan. Keadaan ini jelas oleh berat muatan yang
kelewat batas. Berapa jumlah muatan ? Macam-macam keterangan
yang diperoleh oleh mahkamah. Menurut keterangan nakhoda
sendiri cuma 1493,437 tom itu berarti masih di bawah takaran
yang diharuskan: tak lebih dari 1500 ton.
Kesyahbandaran memberikan kesaksian lain. Di geladak Klingi
dipadati muatan 0 ton. Itu terdiri dari 300 sepeda motor, 15
mobil, beberapa karton mi dan tiang-tiang listrik. Muatan di
geladak utama ada 80 ton terdiri dari: tepung terigu, thinner,
limun, bir, drum-drum minyak pelumas dan tiang listrik. Di
palka-palka juga penuh dengan barang yang sama sekitar 1370 ton.
Dalam pemeriksaan oleh petugas khusus dalam pemuatan barang,
menyatakan: muatan Klingi waktu tenggelam itu sebenarnya
1.617,256 ton. Itu sesuai dengan yang dibukukan di kantor B & C
Tanjung Priok untuk 53.038 koli.
Sebelum kapal bertolak pandu sebenarnya sudah memperingatkan
nakhoda bahwa kapal miring ke kanan sekitar 2 derajat. Tapi
nakhoda menganggap enteng: "Itu tak soal, nanti diselesaikan
dalam pelayaran." Dan pandu sendiri, akhirnya, tak peduli lagi:
kapal diserahterimakan kepada nakhoda kembali sebelum lepas dari
bandar.
Diteken Di Rumah
Cuaca memang tak begitu baik. Namun juga tak buruk sekali.
Buktinya hari itu ada sekitar 14 kapal, yang lebih berat maupun
lebih kecil dari Klingi, yang dilepas oleh pandu dan tak
mengalami kesulitan - apalagi harus kembali ke Tanjung Priok.
Hujan turun rintikrintik. Klingi yang sudah miring itu terus
berlayar. Tapi, sampai satu mil dari Pulau Nyamuk, kapal
berhenti. Jangkar dibuang. Nakhoda akhirnya memerintahkan
mengirim berita ke perusahaan: "Klingi kembali ke Priok, cuaca
buruk, usahakan sandar lagi, kurangi muatan."
Klingi hanya sempat berputar haluan. Sebab angin dari arah
barat, yang berkecepatan 30 Km per jam, menghantam lambung:
Klingi terbalik.
Nakhoda, dalam pemeriksaan mahkamah, banyak mengakui
kesalahannya. Sebagai hukuman, ijazah MPB IIInya dicabut. Dan
tak diperkenankan menakhodai kapal selama 20 bulan. Mahkamah
Pelayaran yang dipimpin oleh Capt. S.Z. Pattinasarany
menyesalkan bahwa sesungguhnya sebelum berangkat dari Tanjung
Priok, kapal itu sedang dalam pengawasan yang berwajib. Tapi apa
boleh buat. Surat izin Berlayar (SIB) Klingi ternyata
ditandatangani oleh petugas kesyahbandaran pada hari Minggu. 6
Maret, tidak di kantor tapi di rumahnya. Dengan begitu kapal
berangkat tanpa pemeriksaan fisik. Petugas. yang meneken SIB
Klingi cuma nengajukan sebuah pertanyaan: apakah tidak memuat
penumpang dan barang di geladak atas? Orang Sriwijaya Lines
menjawab: tidak. Dan semuanya lalu dianggap beres. Apakah
peristiwa KM Permata II akan mengungkap keadaan serupa itu pula?
Masih ditunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini