Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Lampu Kuning Kegemukan

Obesitas pada anak berpotensi mengundang penyakit ginjal. Anak harus melakukan diet, tapi caranya tak sama dengan orang dewasa.

21 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang Anda pikirkan saat melihat anak dengan pipi tembam dan perut gendut? Mungkin ingin mencubit. Iya, anak gendut memang menggemaskan.Tak mengherankan, sebagian orang tua ingin anaknya gendut karena lucu dan dianggap sehat. Kini tren anak berkelebihan berat badan terlihat meningkat terus.

Tapi hati-hati, di balik tampilan menggemaskan itu, badan gendut bisa jadi malah tak sehat. Berbagai macam penyakit, termasuk penyakit ginjal, sudah mengintai. "Orang tua memang sering salah menilai sehat-tidaknya anak tergantung gemuk atau tidaknya anak," kata dokter spesialis anak, Sudung O. Pardede, Selasa pekan lalu.

Padahal, menurut ahli ginjal anak ini, sama seperti orang dewasa, anak yang terlalu gemuk alias mengalami obesitas bisa berpotensi terkena penyakit ginjal. Obesitas menyebabkan microalbuminuria, yakni lolosnya sejumlah kecil albumin atau protein yang dikandung urine. Ini merupakan tanda ginjal tak berfungsi secara normal.

Obesitas juga bisa menyebabkan hipertensi, gangguan metabolisme lemak, dan diabetes. Semua penyakit ini bisa membuat ginjal rusak. Kadar gula yang tak terkendali akan merusak ginjal serta menurunkan kemampuannya menyaring darah dan membuang sisa-sisa metabolisme ke urine.

Hipertensi memicu kerusakan organ yang dilalui pembuluh darah, termasuk ginjal. Sedangkan gangguan metabolisme lemak menyebabkan hiperkolesterol, yang bisa menyempitkan pembuluh darah.

Wanti-wanti dari Sudung itu sebaiknya ditanggapi serius. Dibanding negara ASEAN lain, negeri kita memiliki anak obesitas terbanyak kedua setelah Singapura. Berdasarkan data United Nations Children's Emergency Fund (Unicef) dalam World Children Report tahun 2012, jumlahnya mencapai 12,2 persen. Sedangkan Singapura 19 persen. Barangkali angka itu bisa menjadi semacam tetenger penting guna menandai Hari Ginjal Dunia, yang jatuh pada Kamis dua pekan lalu.

Sudung pun menunjuk apa yang terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tempat dia bekerja. Menurut Pak Dokter, puluhan anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama saat ini mesti rutin melakukan cuci darah karena ginjalnya bermasalah. "Jika dari kecil sudah berpenyakit ginjal, besar kemungkinan akan terbawa hingga dewasa," ujarnya.

Apakah bisa dicegah? Sudung menyarankan orang tua agar berusaha menurunkan berat badan anaknya.

Dokter spesialis gizi klinik dari Fakultas Kedokteran Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Inge Permadhi, mengatakan kegemukan pada anak biasanya disebabkan oleh gaya hidup orang tua. Anak cenderung meniru apa yang dilakukan ayah-bundanya. "Misalnya, kalau orang tuanya jarang bergerak, anak juga jadi ikut malas-malasan."

Cara menurunkan berat badan anak, menurut Inge, berbeda dengan metode yang ditempuh orang dewasa. Anak tak boleh berdiet karena perlu banyak makanan guna mendukung pertumbuhannya. Cara yang benar adalah dengan mengubah pola makanannya. Jika anak sering minum soda, nanti mesti diganti minuman lain, seperti susu tanpa pemanis atau air putih. Atau kalau anak gemar makan junk food, ganti dengan makanan yang lebih bergizi.

Agar makanan yang dikonsumsi tak menumpuk menjadi lemak di badan, anak perlu banyak bergerak. Untuk memotivasinya, orang tua perlu beraktivitas juga bersama mereka. "Contohnya ikut jalan-jalan dan ikut bermain," kata Inge.

Orang tua juga mesti memantau pertumbuhan mereka. Acuannya adalah kurva pertumbuhan yang bisa dipakai sampai usia anak mencapai 18 tahun. Kalau berat badannya sudah di garis kuning atau merah, orang tua mesti waspada. Berat badan anak sudah mulai mengancam kesehatan. Jika dibiarkan, "Anak bisa terkena diabetes mellitus, kolesterol, dan hipertensi."

Lampu kuning bagi anak obesitas tampaknya menyala lebih terang.

Nur Alfiyah


Dibanding negara ASEAN lain, negeri kita memiliki anak obesitas terbanyak kedua setelah Singapura. Berdasarkan data United Nations Children's Emergency Fund (Unicef) dalam World Children Report tahun 2012, persentasenya mencapai 12,2%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus