Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Laboratorium Tuberkulosis Unit Kerja Khusus Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Andriansjah, M.Biomed., PhD. mengatakan salah satu tantangan dalam mengatasi tuberkulosis adalah jumlah laboratorium yang sedikit di Indonesia. "Indonesia butuh lebih banyak laboratorium tuberkulosis yang berstandar baik, bukan laboratorium sembarangan," katanya kepada Tempo pada 24 Juni 2022.
Andriansjah mengatakan saat ini hanya ada 22 laboratorium kultur dan 14 laboratorium pemeriksa uji kepekaan tuberkulosis di Tanah Air yang harus melayani 34 provinsi. "Realita di lapangan itu berat karena jumlah kasus di Indonesia itu sangat besar. Sampel-nya banyak," katanya. Petugas beraktivitas di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Selain jumlah laboratorium yang perlu untuk ditambah, tentu kebutuhan sumber daya manusia pun perlu untuk disesuaikan. Ia mengingatkan kebutuhan sumber daya manusia yang bagus untuk laboratorium tuberkulosis. Seorang analisis laboratorium tuberkulosis tidak boleh salah dalam bekerja. Menurutnya kualitas sumber daya manusia di laboratorium itu pun perlu dijaga. "Analis laboratorium itu tidak boleh salah. Kalau tidak, kasihan pasiennya," kata Andriansjah.
Menurut Andriansjah, Laboratorium Tuberkulosis UKK LMK FK Universitas Indonesia sendiri menerima sample sputum (dahak) dari 8 provinsi untuk program TBC nasional. Selain dari DKI Jakarta, Laboratorium Tuberkulosis UKK LMK FK Universitas Indonesia juga menerima sampel dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau "Kami kira-kira bisa menerima 600an sample per bulan dari 8 provinsi itu. Dan dari sample itu ada sekitar 11 ribuan pemeriksaan yang dilakukan per tahun," kata Andriansjah yang menilai hal itu cukup membuat timnya kewalahan.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis. TBC dibagi menjadi Tuberkulosis Sensitif Obat (TBC SO) dan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO). TBC RO merupakan perkembangan dari TBC SO, sehingga pasien TBC RO kebal akan obat tertentu dan beberapa jenis obat lainnya. Fokus utamanya adalah kebal terhadap obat Bakteriosid, Rimfampisin dan Isoniazid. Akibatnya, ketika pasien TBC SO bisa berobat dalam jangka waktu minimal 6 bulan, pasien TBC RO harus menjalani pengobatan 9-24 bulan lamanya.Petugas beraktivitas di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak pasien Tuberkulosis setelah India dan Cina. Jumlah penderita TBC di Indonesia mencapai 824 ribu orang dengan tingkat fatalitas atau meninggal sebanyak 93 ribu per tahun. Angka ini setara dengan 11 kematian per jam. Skrining besar-besaran diperlukan untuk mendeteksi keberadaan kuman Tuberkulosis serta memberikan pengobatan terbaik baik pasien.
Saat ini alat pengecekan pasien penderita TBC SO atau TBC RO yang banyak diandalkan di pelayanan kesehatan di Indonesia adalah Tes Cepat Molekuler (TCM). Hingga 23 Maret 2022, jumlah TCM ini sudah ada 1.726 buah di 34 provinsi di Indonesia. Pengerjaan tes untuk menentukan apakah pasien merupakan TBC SO atau TBC RO melalui alat ini pun cukup cepat, yaitu hanya 2 jam saja. Sebagai salah satu pemeriksaan awal, TCM hanya bisa mendeteksi apakah pasien TBC RO ini resisten terhadap obat utama Tuberkulosis, Rifampicin. Rifampicin adalah obat antibiotik untuk mengobati dan mencegah beberapa penyakit akibat infeksi bakteri, seperti tuberkulosis.
Namun pemeriksaan ketika pasien sudah didiagnosis menderita TBC RO, tidak bisa berhenti sampai di situ. Andriansjah mengatakan pasien TBC RO bisa saja mengalami resisten lebih banyak jenis obat selain Rifampicin. Ada 5 kategori resisten obat anti TBC. Pertama adalah mono-resistance atau resisten terhadap salah satu obat anti TBC. Ada pula Poly resistance, resistan terhadap lebih dari satu jenis obat anti Tuberkulosis, selain kombinasi isoniazid dan rifampicin. Ada pula jenis TBC RO multidrug resistance (MDR), resistan terhadap isoniazid dan rifampicin dengan atau tanpa obat anti TBC lini pertama yang lain. Ada kategori TBC RO Extensively Drug Resistance yaitu TBC MDR disertai dengan resistensi terhadap golongan fluorokuinolon dan salah satu obat anti TBC injeksi lini kedua (Kanamisin, Amikasin, dan Kapreomisin). Juga ada kategori Tuberkulosis Rifampicin Resistant (TBC RR) yang resisten terhadap rifampicin (monoresistance, poli-resistance, TBC MDR, TBC XDR) yang terdeteksi dengan menggunakan metode fenotip dan genotip dengan atau tanpa resistan terhadap obat anti tuberkulosis lainnya. Kepala Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Andriansjah berpose di Jakarta, Jumat, 24 Juni 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W'
Dalam membantu mendeteksi obat apa saja yang resisten terhadap pasien dibutuhkan tes laboratorium lebih lanjut, Line Probe Assay (LPA) dan kultur resistensi. Dalam tes ini sample pasien akan dilihat apakah resisten terhadap isoniazid, Fluorokuinolon, obat injeksi lini dua serta obat lainnya seperti bedaquiline, linezolid, dan clofazimin. Pemeriksaan LPA ini membutuhkan 2 hari pemeriksaan, sedangkan kultur resistensi relatif membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 3-4 minggu menggunakan medium cair. Jenis tes ini hanya bisa dilakukan di laboratorium yang besar seperti laboratorium Mikrobiologi Universitas Indonesia. "Dengan semakin banyaknya laboratorium di Indonesia, lebih cepat juga diberikan informasi hasilnya dan informasi perawatan yang perlu diberikan kepada pasien khususnya pasien TBC RO," kata Andriansjah.
Selain kebutuhan laboratorium yang mumpuni, menurut Andriansjah, perlu juga ada penyesuaian teknologi TCM yang diperlukan dalam mendeteksi kasus pasien TBC. Menurutnya, saat ini TCM yang digunakan adalah jenis TCM dengan kit konvensional. "Teknologi yang kami punya saat ini, membutuhkan 100 sel bakteri Tuberkulosis dalam sampel sputum untuk menegakkan diagnosis TBC. Padahal teknologi terbaru hanya dengan 10 sel bakteri kita sudah dapat mendeteksi adanya kuman Tuberkulosis di dalam sampel, jadi lebih sensitif," kata Andriansjah.
Teknologi TCM terbaru itu dibutuhkan untuk mendeteksi bakteri pada sample dahak pasien yang hanya bisa mengeluarkan dahak dalam volume yang sedikit atau bakteri yang di dalamnya hanya sedikit. Salah satu kelompok yang sulit mengeluarkan sampel dahak adalah anak. Tidak seperti orang dewasa, kelompok anak tidak mudah untuk mengeluarkan dahak mereka sebagai sampel deteksi tuberkulosis. Selain itu ada pula kelompok terduga TB-HIV yang akan sangat terbantu penegakan diagnosisnya dengan teknologi ini.
Selain itu, masih banyak pula orang dewasa yang kurang tepat ketika diminta untuk mengeluarkan dahak. Akibatnya, sampel dahak yang diterima di laboratorium tidak memenuhi persyaratan sampel dahak yang berkualitas. Bila ada kit TCM yang lebih sensitif, tentu skrining TBC pada pasien akan lebih baik dilakukan.
Andriansjah mengatakan salah satu dahak yang berkualitas untuk mendeteksi kuman Tuberkulosis adalah dahak pagi hari. Dahak itu dikeluarkan setelah bangun tidur sebelum melakukan aktivitas lainnya seperti makan. "Masalahnya banyak sampel dahak yang kami dapatkan isinya malah lebih banyak air liur, sehingga sulit mendeteksi kuman tuberkulosis," kata Andriansjah. Walaupun demikian, dahak sewaktu yang berkualitas tetap dapat digunakan sebagai sampel pemeriksaan.
Upaya mengatasi masalah TBC di Indonesia terus dilakukan banyak pihak. Namun fasilitas deteksi tuberkulosis melalui lebih banyak laboratorium tuberkulosis dengan kualitas baik tentu diharapkan bisa lebih baik mendeteksi masyarakat dengan gejala tuberkulosis. Harapannya target Indonesia bebas TBC tahun 2030 bisa segera tercapai.
Baca: Agar Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Bisa Berobat Lebih Dekat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini