Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korespondensi Tempo dengan spesialis mata Johan Hutauruk berlangsung sepanjang pekan lalu, setelah satu klinik di Singapura menjanjikan dalam sebuah rilisnya pada awal Mei bahwa sekarang sudah ada teknologi canggih meminimalkan risiko kornea yang melemah setelah prosedur lasik.
Direktur rumah sakit mata Jakarta Eye Center ini tak banyak membahas ihwal kecanggihan teknologi lasik. Dia lebih menaruh perhatian pada pentingnya pengetahuan pasien tentang ketebalan kornea mata sebelum memutuskan suatu tindakan lasik, yakni minimal 500 mikron-ukuran normal pada umumnya.
Johan menegaskan, ketebalan menjadi aspek penting karena proses perbaikan lasik dilakukan dengan cara "mengikis" sebagian kornea-satu informasi dasar yang amat penting yang menurut dia wajib diketahui para peminat operasi lasik. Jika tetap dipaksakan menjalani lasik, kornea menjadi terlalu tipis dan melemah. "Kalau ketebalan kornea sudah di bawah 300 mikron, tekanan bola mata yang normal (intraocular pressure) akan menyebabkan bagian kornea menonjol," ujarnya kepada Tempo melalui surat elektronik. Alih-alih sembuh, kerusakan mata yang justru bisa didapat.
Karena itu, sebelum melakukan lasik, setiap pasien wajib menjalani pemeriksaan pendahuluan, terutama ketebalan kornea. Operasi dengan laser untuk memperbaiki kornea mata ini dianggap cara paling cepat dan jitu buat memperbaiki pandangan yang buruk akibat perubahan kornea. Namun siapa pun yang ingin melakukannya perlu memeriksakan ketebalan korneanya dengan cermat-atau bisa terkena musibah.
Guntur Gozali, 51 tahun, mengalami musibah itu. Dua tahun yang lalu, pemilik satu perusahaan jasa teknologi informasi di Jakarta ini memutuskan menjalani lasik untuk memperbaiki pandangannya yang buruk akibat perubahan kornea. Dua tahun setelah itu, Guntur menyesal.
"Setelah dilasik, kondisi minus saya menjadi nol, tapi kondisi plus mata saya tak berubah di angka 1,5," kata Guntur saat diwawancarai pada 22 Mei lalu. "Akibatnya, mata saya jadi berbayang," dia menambahkan.
Walhasil, hingga saat ini Guntur tak bisa lepas dari kacamata plus.
Kornea adalah bagian depan mata yang tembus pandang. Ia bertugas sebagai penghantar dan pembias cahaya yang masuk ke dalam mata. Fungsi lainnya membelokkan cahaya agar jatuh tepat pada retina. Proses ini dinamakan refraksi. Bila cahaya yang jatuh tidak tepat pada retina, gambar yang ditangkap menjadi tidak jelas. Karena itu, kornea diciptakan dengan tekstur yang bening. Selain berfungsi mengatur cahaya yang masuk ke dalam mata, kornea berfungsi sebagai dinding pelindung bola mata.
Secara alamiah, kornea tidak memiliki zat tanduk (kitin) atau zat pembentuk komponen keras dalam tubuh. Kornea juga tidak memiliki pembuluh darah. Kornea adalah organ yang terdiri atas jaringan ikat yang bersifat homogen dan teratur. Selain itu, kornea dapat mengatur kadar cairannya sendiri hingga di tingkatan tertentu.
Cahaya yang dibiaskan oleh kornea amat berpengaruh pada "hasil" yang dilihat oleh mata. Jika ada yang berubah dari kornea, penglihatan kita akan berubah. Karena itu, ada yang mengatakan kornea memegang dua pertiga dari kemampuan optikal mata. Operasi lasik bertugas mengoreksi bentuk kornea hingga dapat membiaskan cahaya dengan normal kembali.
Tak semua orang bisa menempuh prosedur lasik, di antaranya ibu hamil, penderita mata kering, dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun. "Kalau ukuran minus kacamata tidak ada kriteria tertentu," kata Johan.
Penyebab pelemahan kornea pada setiap orang berbeda-beda. Lasik hanyalah salah satunya. Menurut Johan, penyebab paling banyak terjadinya pelemahan kornea adalah kelainan kornea bawaan yang disebut keratoconus. Kelainan ini berupa penipisan kornea yang terjadi karena perubahan struktur organ di dalam kornea yang terjadi begitu saja. Seseorang yang mengalami rabun jauh, terutama dengan tingkatan minus di atas enam dan jangka peningkatan minus yang cepat, wajib waspada.
Hingga saat ini, penyebab keratoconus belum dapat dipastikan secara medis. Penelitian yang dilakukan pada setiap kasus keratoconus menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian menyebutkan keratoconus merupakan kelainan genetik yang dapat menjadi penyakit bawaan. Tapi ada pula yang mengatakan alergi adalah salah satu penyebab.
Umumnya orang yang memiliki keratoconus mempunyai aktivitas enzim protease-enzim yang bertugas memecah protein menjadi molekul sederhana-yang tidak normal. "Hal ini menyebabkan ikatan antar-stroma (jaringan ikat) menjadi lebih lemah," ucap Johan.
Pada penderita keratoconus, gejala yang muncul adalah kaburnya pandangan mata, lebih sensitif terhadap cahaya, dan gatal yang amat sangat. Pada beberapa orang, gejala itu disertai rasa sakit pada mata. Biasanya orang yang memiliki keratoconus akan kesulitan melihat benda dari jarak yang sangat dekat atau jauh.
Orang yang memiliki keratoconus akan mengalami hambatan saat menyetir atau membaca tulisan pada malam hari. Misalnya, saat mereka melihat tulisan di sebuah papan iklan pada malam hari, tulisan itu akan berbayang meski dipasang di tempat yang terang dan ukurannya besar. Selain itu, muncul efek "hantu". Efek ini muncul ketika mereka melihat obyek dengan warna kontras. Misalnya gambar titik putih pada latar bidang yang hitam. Sementara orang normal hanya melihat satu titik, orang yang memiliki keratoconus melihat titik lebih banyak.
Johan menyebutkan keratoconus membuat ujung atau puncak kornea menjadi lebih kecil. Bila diibaratkan, bentuk kornea menjadi seperti kerucut atau contong es krim. Ujung kornea akan semakin mengecil seiring dengan berjalannya waktu.
Yayasan Keratoconus Global (KC Global) dalam situsnya menyebutkan jumlah orang yang memiliki keratoconus dalam satu populasi kelainan mata dapat mencapai 400 per 2.000 orang. Biasanya keratoconus terdeteksi pada orang muda atau pasien Down syndrome. "Ada kemungkinan karena menjalani gaya hidup yang salah," ujar situs tersebut. Sebab, pada kornea mata orang muda yang memiliki keratoconus ditemukan protein pemecah glukosa (GRP 78) yang jumlahnya lebih banyak daripada orang muda yang korneanya normal.
Selain keratoconus, ada lagi penyebab pelemahan kornea, yaitu pellucid marginal degeneration (PMD). PMD hampir mirip dengan keratoconus, sama-sama merupakan penipisan kornea secara begitu saja. Hanya, arah penipisannya berbeda. Penipisan pada keratoconus dimulai dari area tengah kornea, lalu menyebar ke pinggiran kornea. Sedangkan PMD dimulai dari bawah pinggiran kornea, lalu ke tengah kornea. Bila dilihat melalui sebuah alat, penampang kornea dengan PMD mirip cakar kepiting.
Menurut Johan, ada dua cara yang digunakan untuk mengatasi pelemahan kornea. Cara pertama adalah dengan pencegahan. Tindakan ini diambil seiring dengan munculnya gejala awal penipisan kornea. Baik karena keratoconus maupun PMD, pemeriksaan gejala awal ini harus dilakukan dokter spesialis mata, terutama untuk mengetahui ketebalan kornea. Setelah itu, baru dilakukan tindakan yang disebut corneal collagen cross linking (CXL) atau proses kimiawi dengan penggunaan riboflavin yang bertujuan merekatkan rantai polimer di dalam kornea sehingga jaringan ikat pada kornea menjadi lebih kuat. CXL dilakukan melalui proses operasi dan pasien yang menerima CXL harus rajin memeriksakan diri, terutama pemeriksaan penampang kornea (corneal topography).
Cara kedua adalah dengan transplantasi atau cangkok kornea. Cara ini diambil bila gejala pelemahan kornea sudah sangat berat. Cangkok kornea atau dikenal dengan istilah keratoplasti tembus adalah pembedahan yang dilakukan terhadap kornea dengan cara mengganti kornea yang telah rusak dengan kornea lain yang diberikan oleh donor.
Seseorang yang melakukan cangkok kornea harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, kerusakan harus terletak di tengah kornea, tidak ada pembentukan pembuluh darah di sekitar kornea, relatif dalam keadaan tenang, jaringan kornea yang rusak tidak merekat dengan jaringan lain, tekanan bola mata normal, serta kondisi air mata dan selaput lendir relatif normal.
Cheta Nilawaty
Operasi Lasik
1. Dokter bedah membuat lapisan penutup yang merupakan irisan tipis dari kornea.
2. Mesin laser langsung bekerja pada kornea mata. Sebagian penutup masih menempel pada kornea.
3. Setelah tindakan laser, penutup akan dikembalikan pada posisi semula dan akan melekat erat tanpa perlu penjahitan.
Jika ketebalan kornea di bawah 500 mikron tetap dipaksakan menjalani lasik, kornea menjadi terlalu tipis dan melemah. Selain operasi lasik, penyebab paling banyak terjadinya pelemahan kornea adalah kelainan kornea bawaan yang disebut keratoconus.
Keratoconus membuat ujung atau puncak kornea menjadi lebih kecil. Bila diibaratkan, bentuk kornea menjadi seperti kerucut atau contong es krim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo