Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minggu, 18 Mei 2014, pukul 05.00, penata tari Retno Maruti menelepon saya. Dengan suara bergetar, ia membisikkan kabar duka: Farida Oetoyo telah kembali ke haribaan Tuhan. Lahir di Solo, 7 Juli 1939, Farida belajar balet pada usia 8 tahun di studio Fine Arts of Movement, Singapura. Pada 1950-1954, ia mengikuti pendidikan balet di Royal Academy of Dancing Australia dan menggelar pertunjukan pertama di Albert Hall, Canberra.
Fari-panggilan Farida Oetoyo-tumbuh menjadi balerina cantik dengan postur tubuh langsing yang didambakan publik. Di balik wajahnya yang tenang, perangai yang halus-ramah, dan pendiam, tersimpan pribadi yang kuat serta dedikasi tinggi terhadap tari. Pada 1956-1958, Fari bergabung dengan Ballet der Lage Landen di Amsterdam, Belanda. Kembali ke Jakarta, ia mengajar di sekolah balet pimpinan Wim Roemers dan bersama Yulianti Parani mendirikan sekolah balet Nritya Sundara. Pada 1961-1965, Fari mendapat beasiswa belajar di akademi balet klasik Bolshoi di Moskow, Rusia. Lulus dengan predikat cum laude, ia sering mengikuti pertunjukan Bolshoi dalam repertoar opera dan balet klasik.
Balet klasik tidak membuat Fari menutup mata pada tari tradisi Indonesia. Sepulang dari Rusia pada akhir 1960-an, dia bergabung dengan workshop tari Sardono W. Kusumo di Jakarta. Di sana ia bertemu dan saling belajar dengan sesama peserta yang berlatar budaya beragam, antara lain Sardono Kusumo, Senthot Sudiharto, dan S. Kardjono dari Jawa; I Wayan Diya, I Made Netra, dan I G. Kompiang Raka (Bali); serta Huriah Adam (Minang). Ketika Farida pada 1970 ikut membidani lahirnya Departemen Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta bersama Edi Sedyawati dan Yulianti Parani, interaksi dia dengan tari tradisi makin luas.
Dibukanya Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (1968), membuka kesempatan bagi Fari menari tarian bernuansa daerah garapan teman-temannya, seperti Malinkundang (1970) karya Huriah Adam (Minangkabau) dan Plesiran-Cokek (1974) karya Yulianti Parani (Betawi). Karier Fari di bidang penciptaan tari juga berkembang pesat. Pada 1972, ia menggubah balet Rama & Sinta yang menunjukkan rona Indonesia. "Tapi itu hanya lewat cerita dan sedikit kostum. Lainnya masih sangat balet," ujar Farida, yang pada 1982 menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Pada 1973, Fari mendapat beasiswa Fulbright untuk belajar tari di New York, Amerika Serikat. Di samping kuliah di Columbia University, dia belajar di studio tari modern Merce Cunningham dan Martha Graham. Lima bulan ia belajar jazz di Billy Mahony dan mendalami balet di Robert Joffrey Studio. Kembali ke Indonesia pada Juli 1974, Fari mengungkapkan apa yang diperolehnya selama delapan bulan di Amerika kepada Jasso Winarto. "Sepulang dari AS, sudut pandangku untuk mencipta menjadi lebih luas dan mantap. Indonesia memberikan kemungkinan yang tak terhingga untuk kreasi tari. Setelah belajar di sana, seluruh perhatianku bertumpu di tanah airku sendiri. Kini saya telah bebas untuk bergerak dan menari apa saja. Saya tidak mau terikat lagi pada disiplin dan etik balet klasik. Ini lebih baik, karena dengan demikian kemungkinan baru lebih terbuka," katanya.
Hal ini ia tunjukkan dalam karya-karyanya kemudian, antara lain Gunung Agung Meletus (1979), Daun Pulus (1983), serta seri Putih-putih (1976), Putih Lagi (1978), dan Putih Kembali (1995), yang tampil dalam Indonesian Dance Festival 1996. Untuk karya yang terakhir, Fari meminta Aksan, putranya yang musikus-komponis, membuat musik pengiring. Hasilnya, Fari menyampaikannya ke majalah Femina: "Dengan Putih Kembali, aku merasa lega dan puas. Hanya itulah sekadar yang dapat kulakukan untuk ikut menyemarakkan syiar Islam di negeriku melalui bidang kesenian. Dan aku tak dapat menyembunyikan keharuanku bisa menyatu dengan anak kandungku sendiri dalam melahirkan suatu karya seni."
Komitmen untuk melahirkan penari yang berbobot dan mengembangkan kreativitas tari ia wujudkan pula dengan mendirikan sekolah balet Sumber Cipta dan kelompok tari Kreativiteit. Sebagai pengelola Gedung Kesenian Jakarta (1987-2001), dua kali Fari menyelenggarakan Lomba Koreografi (1997 dan 1999) untuk memacu kreativitas seniman muda Indonesia dalam tiga kategori: tradisi, kontemporer, dan populer. Ia juga menunjuk Gumarang Sakti sebagai Residence Company GKJ yang boleh berlatih gratis dan didorong berkarya dengan baik.
Bagi Farida Oetoyo, aktivitas berkesenian telah mendarah daging. Kesenian merupakan panggilan jiwa dan napas bagi kehidupannya. Itulah mimpi masa kanak-kanaknya, "Menari… akan kujadikan sebagai pekerjaan yang kusukai seumur hidup." Fari berhasil mewujudkan mimpinya. Kepada angkatan muda, ia berpesan, "Latihan intensif bersama para penari sangat merampas waktuku. Tetapi tak ada jalan pintas, seni tari memang identik dengan latihan. Semakin banyak berlatih hasilnya akan semakin bagus!"
Selamat jalan, Fari. Engkau sungguh sebuah inspirasi!
Sal Murgiyanto (pengamat tari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo