Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di rumah Ian Antono, boks gitar memiliki fungsi ganda. Selain untuk menyimpan gitar elektrik, kotak hitam sepanjang 1,2 meter itu bisa digunakan sebagai rintangan agar Maximus, anjing Ian, tak lompat ke luar rumah. Jika daun pintu tak diberi rintangan, anjing golden retriever cokelat itu bisa loncat dari ruang tengah menuju ruang tamu dan seterusnya kabur ke halaman. Maxi punya teman sesama golden retriever bernama Zippo, yang dipanggil Popo. Warna bulunya lebih terang, tapi ia tak perlu diberi perintang. "Popo pemalu. Dia takut kalau ada orang baru," ujar Ian.
Selasa siang dua pekan lalu, kami bertandang ke rumah gitaris bernama lengkap Jusuf Antono Djojo ini di Villa Cibubur Indah, Jakarta Timur. Di rumah itulah Ian, yang kini berusia 63 tahun, tinggal bersama istrinya, Titiek Priati Saelan, serta ketiga anaknya, Stevanus, Rocky, dan Monica Yana Kristiani Antono. "Tahun ini tepat 20 tahun kami tinggal di rumah ini," ujar Titiek.
Hampir di setiap sudut rumah itu terdapat pernak-pernik yang berkaitan dengan gitar. Di dekat meja kerja Ian ada amplifier mini Vox seukuran kardus sepatu. Di sebelah sofa di ruang tengah terdapat gitar listrik cokelat merek Hamer. "Bangun tidur pun mesti ada gitar di sebelah saya. Harus tetap latihan agar jari tidak kaku," kata Ian, yang memiliki belasan gitar.
Rumah yang mulai dibangun pada 1992 itu merupakan buah kerja keras Ian sepanjang 45 tahun berkarier di bidang musik. Lahir di Malang, Jawa Timur, 29 Oktober 1950, Ian merupakan anak keempat dari enam bersaudara keluarga Darmo Pusoko Djojo dan Siti Mariani. Sejak kecil dia sudah bersentuhan dengan musik lewat kakak-kakaknya yang membentuk band. Ian remaja mulai ikut ngeband dengan bermain ketipung, bongo, drum, dan akhirnya gitar.
Lingkungan musikal itulah yang kemudian mempengaruhi dia memilih musik sebagai jalan hidupnya. Sejak lulus SMA, ia total bermain musik. Dan kepada instrumen enam senar itulah hidupnya bertumpu. Sepanjang hidupnya, Ian terlibat dalam penggarapan puluhan album. Ia membuat empat album bersama God Bless, empat album Duo Kribo, empat album Iwan Fals (yang fenomenal album 1910 dan Mata Dewa), tujuh album Nicky Astria, tiga album bersama Gong 2000, serta belasan album lainnya, termasuk bersama Chrisye, Erros Djarot, dan Berlian Hutauruk. Ian pun pernah meraih penghargaan sebagai Penata Musik Terbaik dalam BASF Award 1992 lewat album Mata Dewa.
Bagian-bagian rumah dibangun bertahap sesuai dengan rezeki Ian sebagai musikus dan arranger. Jika ada uang, rumah dibangun. Jika honor belum datang, tukang-tukang dipulangkan. Setiap bagian rumah Ian punya cerita. "Ada lantai dari album Nicky Astria, ada pintu dari album Doel Sumbang, ada tembok dari album Iwan Fals," ujar Titiek. Rumah dengan halaman rumput di depan dan belakang itu dibangun tanpa mencicil ataupun mengambil kredit dari bank. Ian, menurut Titiek, paling takut kalau meminjam kredit. Takut tidak bisa bayar cicilan. "Namanya seniman, pendapatannya kan tidak tentu," katanya.
Di rumah itu pula Ian merekam album terbarunya bertajuk Song Book I, yang dirilis pada 23 Mei lalu. Tepatnya di studio Rumah Kita, yang terletak di bagian belakang rumahnya. Studio itu juga buah "proyek" bermusik Ian. Sebagian besar peralatan di dalamnya sebelumnya merupakan inventaris Gong 2000. Band ini dibentuk pada 1991, saat Ian memutuskan keluar dari God Bless. Sejak Gong 2000 bubar pada akhir 2000 dan Ian kembali ke God Bless, alat-alat musik band itu yang kadung dibeli dialihkan ke rumah Ian.
Boleh dibilang membuat album solo merupakan cara Ian menjaga jiwa berkarya dia agar tetap menyala. Jika tak dipaksakan berkarya, bisa-bisa dia jadi tumpul. "Harus tetap dibiasakan," ujarnya. Rilis terbarunya terdiri atas sepuluh lagu: dua lagu instrumental, enam lagu aransemen ulang, dan dua lagu baru, yakni Suara Cinta dan Lari. Lagu Lari menjadi soundtrack film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Tembang ini juga meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2010 kategori Penata Musik Terbaik, yang diterima Ian bersama Thoersi Ageswara.
Song Book I merupakan album solo pertama Ian. Alasan lain Ian membuat album solo: ia ingin memancing God Bless agar kembali ke studio menggarap album. "Saya mau kasih tunjuk ini, ayolah main lagi," katanya.
Ian paling dikenal sebagai gitaris God Bless kendati ia sebenarnya terlibat di banyak kelompok musik. Dia masuk God Bless pada 1975, menggantikan gitaris Ludwig Lemans. Dia diajak pemain keyboard Yockie Suryoprayogo untuk bergabung dan bermusik bersama Achmad "Iyek" Albar (vokal) dan Donny Fattah (bas).
Bagi Ian, bergabung dengan God Bless merupakan suatu "lompatan" hidup. Ia harus rela "turun derajat" pindah dari band Bentoel, grup musik yang dibentuk perusahaan rokok Bentoel, Malang, ke God Bless. "Pada zamannya, Bentoel adalah band dengan peralatan terlengkap dan terbaik se-Indonesia," ujar Ian.
Ian juga harus rela hijrah dari kampung halamannya di Malang ke Jakarta. Karena merasa bosan bermain di band Bentoel, Ian mengiyakan tawaran Yockie. Ia pindah ke Jakarta dan tinggal menumpang di daerah Tebet, Jakarta Selatan.
Masa-masa awal di Jakarta adalah periode perjuangan bagi Ian. Di rumah kontrakan di Tebet, ia tinggal dan tidur berenam di kamar 3 x 4 meter. Saban pekan, karena tawaran manggung tak menentu, bersama God Bless ia bolak-balik Tebet-Menteng mencari-cari klub yang butuh band penghibur. "Kami jalan kaki dan menunggu bus, sambil bawa gitar dan keyboard," kata Ian, yang sempat bermain di klub malam di hotel Marco Polo, Jakarta Pusat.
Beruntung, Ian tak banyak tuntutan. Makan seadanya pun tak jadi masalah bagi dia. "Saya malah tak bisa kalau makan macam-macam," ujarnya. Ia juga bersyukur hidupnya tak dirusak narkotik. Ian urung ngeboat (memakai obat-obatan) karena takut jarum suntik. "Apalagi jarum suntik zaman dulu besar-besar," ucapnya.
Pada 1975, God Bless merilis album pertamanya, God Bless, di bawah label Pramaqua. Album ini merupakan proyek pertama Pramaqua, perusahaan rekaman kerja sama antara radio Prambors dan PT Aquarius Musikindo, merilis album musikus dalam negeri. Label rekaman itu tertarik kepada God Bless, yang saat itu masih meniru band asing, seperti Deep Purple, Grand Funk Railroad, dan Kansas. Lagu Huma di Atas Bukit menjadi nomor hit di album itu.
Sekitar lima tahun kemudian God Bless meluncurkan album Cermin. Boleh dibilang, di album kedua inilah warna Ian terlihat. Materi album Cermin direkam langsung dari studio tanpa menggunakan metronom. Musiknya cenderung progresif dengan durasi panjang. Selain Balada Sejuta Wajah, lagu-lagu di album ini penuh dengan komposisi yang cukup rumit. Sebut saja komposisi Anak Adam (12 menit), Sodom & Gomorah, dan Selamat Pagi Indonesia.
Kendati secara musikalitas banyak mendapat pujian dari kritikus, album Cermin tak laku. Saat itu pasar musik Indonesia tengah terbuai oleh tembang-tembang cinta dengan komposisi sederhana. "Pada zaman itu musik rock tidak pernah laku," kata Ian. "Boleh dibilang, karya God Bless terkenalnya terlambat. Baru belakangan lagu-lagu kami diperhatikan," Ian menambahkan.
Toh, God Bless kemudian bisa berhasil menciptakan gelombang rock di Indonesia, dan Ian menjadi gitaris pelopor yang berkibar di jalur rock. "Pada zaman itu, kami, pendengar musik keras, menunggu-nunggu apakah ada artis rock dari Indonesia," ujar gitaris Eet Syahranie. "Lalu muncullah God Bless. Nah, ini nih yang ditunggu-tunggu. Rock bikinan Indonesia. Pada zaman itu tidak ada yang bermain seperti mereka," kata Eet, yang pernah menjadi personel God Bless.
Sebenarnya gitar bukan instrumen pertama yang dikuasai Ian. Di Bentoel, ia penabuh drum. Cukup lama ia bermain drum untuk Bentoel. "Saya main pop dan jazz," ujarnya. Ia mulai merasa bosan bermain drum karena kurang atraktif. "Pemain drum itu di belakang. Main sambil tidur pun tidak ada yang tahu," katanya. Terlebih lagi karena pinggangnya menjadi sakit jika berlama-lama main drum. Akhirnya, alat musik pukul itu ia tinggalkan. Ian beralih ke gitar.
Gitaris idola Ian adalah Hank Marvin dari The Shadows, grup musik rock Inggris. Permainan Marvin sedikit-banyak mempengaruhi gaya Ian memetik gitar. Marvin tak bertumpu pada kecepatan dan penguasaan teknik, tapi pada melodi dan kebersihannya menyapu nada. "Permainannya sangat jernih," ujar Ian. Begitu pula Ian. Lagu-lagunya jarang bertumpu pada kecepatan. Ia lebih mengutamakan progresi dan melodi.
Ian belajar gitar secara otodidak. Tak pernah sekali pun ia mengikuti les. Yang dia lakukan hanya mengulik lagu-lagu The Shadows. Tapi di masa itu kaset sulit didapat. Walhasil, jika ingin mengulik suatu lagu, ia harus nongkrong di radio menunggu tembang kesukaannya diputar. Itulah satu-satunya kesempatan mempelajari lagu yang disuka. "Makanya dulu kalau mengulik satu lagu bisa sampai tiga bulan," katanya.
Filosofi Ian dalam bermain gitar adalah pada rasa. Menerjemahkan rasa ke dalam tema suatu lagu bukan perkara mudah. "Bagaimana menerjemahkan rasa marah, sedih, takut. Gitarnya pun harus dibuat marah, sedih, atau takut," ujarnya.
Theodore K.S., wartawan senior yang sempat membuat lirik bersama Ian, menyebut soal "rasa"-lah yang jadi keistimewaan Ian. Menurut dia, Ian mampu menangkap emosi dari sebuah lirik dan menggubah nada yang tepat untuknya. Salah satu sumbangan lirik Theodore adalah lagu Rumah Kita dari album Semut Hitam God Bless. "Kebetulan pada masa itu saya dan Ian sama-sama mendambakan rumah untuk keluarga. Jadilah lagu itu," kata Theodore.
Ananda Badudu, Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo