Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Telur-telur Suta

Apa kabar Wayan Suta? Inilah kisah tentang seniman telur yang karyanya pernah menjadi cendera mata utama Bali tapi kini kejayaannya berakhir.

26 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahdan, Raja Gusti Wayan Dahat berutang budi kepada patihnya. Untuk membalas jasa, ia menghadiahkan wanita cantik. Tapi pada suatu hari ia terpesona sendiri oleh wanita itu. Sang patih dibunuh. Tapi wanita itu kemudian bunuh diri. Gusti Wayan sendiri akhirnya sinting.

Kisah memilukan sekaligus memalukan itu tak terbaca dalam kitab mitologi, tapi tergambar dalam lukisan. Dan gambar kisah itu tak tervisualisasi di kertas atau kanvas, tapi di permukaan bulatan kulit telur. Pencipta seni lukis telur itu adalah I Made Suta, 61 tahun, kelahiran Bitera, Gianyar, Bali.

I Made Suta memang perintis seni lukis kulit telur, yang pada 1980-1990-an menjadi kriya-seni (art craft) sangat populer di Bali. Tak cuma jadi perintis, ia pun terbilang maestro untuk jenis seni ini. Itu sebabnya, sementara di berbagai art shop lukisan telur berharga Rp 300 ribu sebutir, karya Suta bisa mencapai US$ 300 atau sekitar Rp 3,2 juta. Bahkan, untuk karya yang rumit, dengan gelap-terang dan dimensi fotografis, serta dengan sungging, ngewarna, nyawi (ornamentasi) serta mbuluin (arsir) yang amat detail, harganya bisa US$ 600. Syahdan, pada akhir 1980-an, sejumlah galeri luar negeri bertubi memboyong seni lukis telur untuk dipamerkan dan dijual, dengan label "Balinese Eggs".

Antusiasme ini dibaca di dalam negeri. Maka, dalam pameran konferensi Pacific Asia Travel Association (PATA) di Nusa Dua, Bali, pada 1991, karya Suta memperoleh tempat. Istri Suta, Ni Wayan Padmi, memamerkan karya lukis telur kreasi Suta dan lukisan telur produk industri. Dalam sekejap ludes. Ibu Tien Soeharto lalu menghampiri Padmi dan menganjurkan agar menyediakan lagi 600 butir. "Kalau tidak habis, saya yang akan membeli sisanya," tutur Suta menirukan Ibu Tien. Pada akhir acara sisa telur hanya sedikit, dan Ibu Tien memang membeli semua, untuk dibagi-bagikan kepada tamunya. Sejak itu, atas dorongan pematung Edith Ratna yang bekerja di Direktorat Industri Kecil Kementerian Perindustrian, lukisan telur Suta senantiasa diikutkan dalam pameran besar Kerajinan Indonesia Dalam Interior (KIDI) di Jakarta.

Lalu, berkaitan dengan perayaan 50 tahun kemerdekaan RI pada 1995, karya-karya Suta diangkat untuk mewakili kriya-seni Indonesia dalam aneka pameran di mancanegara. Karya seni lukis telur Suta pun dipamerkan di Boston, Den Haag, Rotterdam, Paris, London, sampai Budapes. Dalam pameran itu ia diminta melakukan demo melukis oleh Mbak Tutut, putri Presiden Soeharto. "Aha, tukang telur keliling dunia!" kata Suta.

Sinar moncer lukisan telur Suta tentu tak datang begitu saja. "Sebelumnya saya melewati riwayat yang sulit," ujarnya.

Pada akhir 1960-an, selulus dari bangku sekolah menengah pertama, Made Suta berniat jadi pelukis. Tapi hidup dengan mengandalkan penjualan lukisan sungguh tidak mudah. Setelah mencari nafkah di Ubud, ia pindah ke Batuan dan bekerja di Art Shop Dewata milik Wayan Regug, yang tak lain adalah ayah pemusik Balawan. Di sini ia bekerja apa saja, dari menjaga toko, mengemas lukisan, ikut membantu melukis, sampai mengurus rumah tangga. Suta pun pernah loncat ke Denpasar untuk bekerja serabutan, dari menggali got sampai menjual tiket pertunjukan.

Menjelang 1980, Suta kembali ke Bitera untuk jadi pelukis lagi. Pada masa inilah datang Weber, juru masak asal Swiss. Ia ingin Suta melukis di atas kulit telur. Ide ini berawal dari telur berhias yang biasanya dibikin manakala umat Kristen merayakan hari raya Paskah. Suta mengamati gambar telur Paskah yang ditunjukkan Weber. Gampang, saya bisa bikin jauh lebih bagus, katanya dalam hati. Namun, karena belum ada uang untuk membeli telur, ia menjumput telur sesajen yang sedang ditaruh di atas canang, di tepian jalan. Sesampai di rumah, telur itu ia rajah. Ia gores-gores dengan penelak (pena yang terbuat dari batang daun enau yang diruncingkan) atau dengan rapido.

Pada awalnya ia menemui kesulitan teknis. Namun pengalaman menjadikan ia mahir. Telur ayam atau bebek itu ia lubangi di salah satu ujungnya. Kemudian isinya disedot dengan pipet. Agar tidak ada bau, telur dicuci dengan cuka belanda dan dibilas air garam. Setelah dinding kulit telur dihaluskan dengan ampelas, proses melukis dilakukan.

Melukis di atas telur, dengan tetap taat pada tema tradisional, tidaklah mudah. Bidang yang bulat menyulitkan pelukis merancang komposisi. Padahal salah satu tuntutan lukisan telur adalah menarik dilihat dari semua sisi. Order untuk Suta bergelindingan datang. Bahkan ia juga diminta mengajar, di antaranya kepada 40 pelukis asal Tabanan.

Bersamaan dengan itu, lahirlah puluhan industri seni lukis telur, dengan melibatkan ratusan perajin. Dari sini format telur berkembang lebih besar. Yang tadinya telur ayam atau bebek, muncul gagasan melukis di kulit telur burung unta. Juga burung kasuari, yang kini tak bisa lagi didapat lantaran burung ini dilindungi dari kepunahan. Dari sini muncul ide menetaskan telur-telur palsu yang terbuat dari kayu. "Ya, akhirnya yang penting bulat," kata Suta. Kerajinan seni lukis telur kayu Bali ini bahkan diekspor ke sejumlah negara.

Namun kejayaan seni lukis telur rontok setelah reformasi. Suta menganalisis kebangkrutan ini terjadi lantaran infrastruktur apresiasi dan distribusi tidak ada lagi. Pemerintah lalai menyediakan, sedangkan seniman dan perajin belum terdidik membangun infrastruktur sendiri. Situasi seni setelah reformasi dianggap terlalu meluhurkan hura-hura perubahan, sambil tidak memelihara aset seni istimewa yang sudah ada.

Memasuki tahun 2000, ekonomi Suta-begitu juga para perajin seni lukis telur-pelan-pelan melorot. Suta kembali melukis di atas kanvas, yang dalam konstelasi harus bersaing hebat dengan ribuan pelukis Bali lain. Ia harus menaruh karya itu di galeri, kemudian berbulan-bulan menunggu lukisannya laku. Sebuah proses ekonomisasi seni yang sangat lamban.

Padahal, menurut dia, mencipta karya seni lukis telur secara spiritual dianggap jauh lebih membahagiakan daripada melukis di kanvas. Lukisan telur sanggup menstimulasi ratusan orang untuk ikut berkarya, menciptakan pasar baru, dan menyejahterakan ekonomi. Mengkreasi seni lukis telur disebut sejalan dengan konsep tri hita karana, yang di antaranya menaruh seni sebagai medium kerja sosial. Sedangkan seni lukis di kanvas cenderung kerja individual.

Kini, untuk melanjutkan hidup, ia pun membuka usaha pembuatan bed cover, seprai, dan sarung bantal dari batik, bersama anaknya, I Gede Pasurahadi. Usaha yang sangat umum dan kadang menjemukan.

I Made Suta membayangkan kebangkitan seni lukis telur di Bali. Senyumnya agak masam ketika memandang sebaskom telur berlukis yang ada di pangkuannya. "Apakah presiden baru dan menteri-menterinya nanti mau ngurusi telur?"

Agus Dermawan T., pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus