Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Lintas Darat di Sepenggal Asia

Singapura-Malaysia-Thailand lewat jalan darat hanya 3,5 juta perak. Murah meriah.

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah petang di Kuala Lumpur. Jalan Pudu Raya sedang di puncak keruwetan, mirip perempatan Pasar Senen, Jakarta. Bus kota, pejalan kaki, berseliweran ke segala arah. Suara klakson kereta angin bersahutan memekakkan telinga. Di pinggir jalan, encik pedagang roti canai dan puan penunggu kedai kopi sibuk melayani pelanggan.

Bergaya seolah turis bohemian yang kenyang melanglang ke delapan penjuru angin, sambil menggendong ransel, saya melangkah yakin ke sebuah hostel. Tarifnya cuma 5-10 ringgit (Rp 12.500-25.000) semalam. Murah. Cocok untuk tujuan pelancongan kali ini, yakni sendirian mengitari tiga negara—Singapura-Malaysia-Thailand—dengan ongkos semurah mungkin.

Inilah perjalanan impian petualang berkantong tipis, mengembara tanpa fasilitas kemudahan dari biro perjalanan. Seperti kata Ian Jack, dalam Granta Book of Travel, perjalanan semestinya adalah petualangan pribadi, berisiko, dan menyimpan berbagai kejutan.

Tapi kejutan rupanya datang terlalu cepat. Di ruang tunggu hostel di Pudu Raya itu, selusin turis, dari yang bule sampai yang gelap pekat, tumplek di lobi. Jelas, mereka sedang stone, melayang menikmati ganja dan heroin. Bau rokok, alkohol, juga keringat, menggantung pekat. Jantung saya berdegup cepat. Apa boleh buat, kantong boleh tipis, tapi mana mungkin saya tidur di tempat seperti itu? Kaki pun otomatis berbelok mencari penginapan yang sedikit beradab. Memang lebih mahal, Hotel Katari, 60 ringgit (kira-kira Rp 180 ribu) semalam.

Katari adalah kemewahan yang sedikit saya sesali. Tapi tak apalah. Toh, secara keseluruhan misi pelesiran ngirit mulai tercapai sejak langkah awal diayun. Pertama, saya terbang menuju Batam, Riau. Sampai di Dermaga Tanjung Balai, Karimun, Batam, menyeberang feri menuju Dermaga WTC (World Trade Center), Singapura. Ongkosnya cuma S$ 14 (sekitar Rp 75 ribu) ditambah fiskal Rp 500 ribu—ngirit separuh bila dibanding dengan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta yang mencapai Rp 1 juta.

Tak banyak yang bisa dijelajahi di Singapura. Seharian berkeliling dengan kereta listrik sudah cukup membosankan melihat pertokoan, gedung apartemen, mal, yang semuanya megah tapi angkuh. Sesekali terlihat tongkat bambu, jemuran pakaian, menyembul melengkung dari jendela apartemen. Tongkat bambu inilah yang mencelakakan banyak pembantu rumah tangga—kebanyakan pekerja wanita dari Indonesia—yang terpeleset ketika menjemur baju majikan.

Sore hari, perjalanan disambung dengan bus bernomor SBS 170 (S$ 2,4 atau Rp 15.000, tanpa AC cuma S$ 1,7) menuju Johor Bahru, Malaysia. Terminal bus ini terletak di pinggiran Singapura yang kebanyakan dihuni warga miskin—tampak dari apartemen yang compang-camping—beretnis Melayu dan India.

Aha, inilah wajah manusiawi Singapura. Sampah bertebaran, orang mengisap rokok dengan santai, sedikit grafiti tercoret di dinding terminal. Tak tampak rambu dan poster larangan no vandalism, no littering, atau no smoking. Sungguh pemandangan tidak lazim dari negeri yang begitu gemar mendenda warganya yang jorok.

Tak sampai 15 menit, bus SBS 170 sudah menginjak perbatasan Singapura-Malaysia. Di sini semua penumpang harus menjalani pemeriksaan keimigrasian. Sial bagi saya, karena pemerintah Malaysia sedang gencar menjaring pendatang haram, petugas imigrasi melotot curiga.

"Berapa Cik bawa bekal?" tanya petugas imigrasi.

"Banyak. Tunai Rp 25 juta dan Rp 50 juta di rekening tabungan," saya jawab sekenanya.

"Wah, Mak Cik ni orang kaya rupanya."

Hm..., andai saja dia tahu tiap malam saya memeriksa dompet dan selalu berakhir dengan penyesalan karena rasanya uang di dalamnya berkurang terlalu cepat.

Gaya sok kaya tadi rupanya berguna juga. Sementara pendatang Indonesia yang lain masih diperiksa, saya sudah mendapatkan stempel di paspor. Saya pun melenggang memasuki Johor Bahru. Inilah kota dengan langgam irama yang hangat, betul-betul berbeda dengan angkuhnya Singapura yang jaraknya cuma sepelemparan batu.

Kuil Hindu bertebaran di Johor Bahru. Bunga-bunga untuk pemujaan, melati, matahari, dijajakan di pinggir jalan. Ada juga kuil Cina yang dibangun pada awal abad ke-15 di Jalan Trus. Catatan sejarah menyebutkan, kuil ini adalah markas Laksamana Ceng Ho saat melakukan ekspedisi di dataran Malaka pada 1405-1433.

Cukup nikmat juga menghabiskan semalam di Johor Bahru. Ratusan tenda terbuka menjajakan makanan di sepanjang Jalan Abdul Razak. Suasananya mirip bazar. Di sini, makanan lebih murah ketimbang di Jakarta, cuma 2-5 ringgit per porsi (Rp 5.000-12.500), plus bonus sinar rembulan. Menunya sangat beragam, mulai dari laksa, udang goreng yang kemripik, sup tom yam kung, sampai kepiting saus tiram yang lekker.

Perut kenyang membuat mata dengan cepat lelap. Esoknya, Malaka, kota berjarak 220 kilometer dari Johor Bahru, sudah menunggu. Inilah kota cerminan Malaysia masa lampau. Gedung-gedung kuno yang masih terawat, peninggalan Portugis abad ke-16, membuat hidup di kota tepi pantai ini serasa tak begitu jauh berjarak dengan zaman silam.

Kota ini rupanya cukup populer bagi orang-orang Indonesia yang ingin berobat di Rumah Sakit Mahkota. "Bersih dan pelayanannya memuaskan," kata Wiryono, karyawan Pertamina Riau, yang saya jumpai di ruang tunggu RS Mahkota. Maklum, Malaka bisa dijangkau dengan menumpang feri dari Dumai, Riau.

Malaka juga kental dengan pengaruh Cina. Perkampungan Baba-Nyona—terkenal dengan masakan ala Baba-Nyona—adalah bukti akulturasi antara pribumi dan pendatang Cina. Saya menyusuri perkampungan ini dengan menumpang becak. Ciri khas becak di sini adalah full music. Sepanjang jalan, Marzuki, si tukang becak, memutar lagu-lagu dengan volume kencang. Jangan keliru, lagu yang dia pilih bukanlah milik Siti Nurhaliza, tetapi lagu-lagu Rhoma Irama tahun 70-an. "Ini kaset asli, kiriman kawan lama dari Surabaya," kata Marzuki. Becak pun melaju diiringi senandung sember Marzuki: "Begadang jangan begadang...!"

Puas dengan Malaka, perjalanan bersambung ke Kuala Kedah, negara bagian Malaysia yang menerapkan syariat Islam. Turun dari bus, saya naik taksi untuk berkeliling kota. Di tengah jalan, radio taksi menjerit: "Attention, please. Harap jemput Encik Zainal di apartemen A, di jalan B." Lalu, dengan sopan, Abdullah, sopir taksi itu, meminta izin saya untuk menjemput Encik Zainal. "Dia tu orang buta. Mesti kita tolong," katanya. Wah, boleh juga semangat tolong-menolong mereka. Okelah. Taksi pun meluncur ke apartemen Encik Zainal. Beres dengan urusan penumpang dadakan, Abdullah kembali ke urusan semula: mengantar saya keliling kota. Rupanya ini salah satu bentuk penerapan syariat Islam.

Tapi, jangan keliru. Kuala Kedah tidak 100 persen Islami. Malam hari di jalan-jalan terlihat orang antre mencocokkan empat nomor ekor (nomor buntut) yang diundi sekali seminggu. "Mana tahu kena, bisa kaya," kata Ramlee. Lelaki 40 tahun ini rutin tiap pekan membeli nomor ekor seharga 2 ringgit, sambil bermimpi menggaet rezeki ribuan ringgit.

Dua hari di Kuala Lumpur, perjalanan saya teruskan ke Pulau Langkawi. Inilah pusat pariwisata yang iklan-iklannya di biro perjalanan begitu memukau. Wilayah ini turut andil menjadikan Malaysia sebagai salah satu tujuan wisata favorit dunia. Feri menuju Langkawi tersedia setiap jam di dermaga di Kuala Perlis. Ongkosnya 12 ringgit sekali menyeberang.

Ternyata Langkawi tidaklah seindah di brosur. Bahkan Pantai Anyer di Tanah Air yang mulai kotor itu pun masih jauh lebih menawan. Resor dan penginapannya juga kalah mewah.

Brosur-brosur promosi Kampung Buku Langkawi yang menyebut inilah satu-satunya kampung buku di Asia Tenggara juga menipu. Tak ada tumpukan buku menggairahkan di sini. Yang ada hanyalah taman luas diselingi gedung-gedung berisi buku yang sebagian besar adalah biografi Mahathir Mohamad dalam beragam versi. Novel kontemporer, Mak Cik? "Tak ada. Di sini semua orang suka meneladani Doktor M," kata seorang penjaja.

Tak terasa delapan hari sudah Malaysia saya jelajah. Isi dompet, Rp 3,5 juta, jatah untuk transportasi dan akomodasi perjalanan, sudah tandas. Lagi pula, waktu cuti sudah usai. Saatnya mengakhiri petualangan dan kembali ke alam nyata. Target menjelajah Thailand dalam satu paket perjalanan terpaksa tak kesampaian.

Untunglah, utang ke Thailand itu tak lama kemudian bisa ditebus Bernarda Rurit, juga wartawan TEMPO, yang bertualang ke tiga negara dengan rute yang kurang lebih sama. Setelah menikmati Singapura, lalu Malaysia, dia meloncat ke Thailand, menjelajah Hadyai, Bangkok, dan Phuket. Dia bahkan sempat menikmati keindahan Pulau Kho Phi Phi, seting film The Beach yang dibintangi Leonardo Di Carpio. "Saya ingin membuktikan, apa betul Rp 3 juta bisa nyampe ke tiga negara itu," katanya. Usai perjalanan enam hari, Rurit menghitung, uang yang dia habiskan untuk transportasi dan akomodasi adalah Rp 3,6 juta.

Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus