Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Riwayat Sebuah Komisi

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil yang diajukan KPKPN. Mau tak mau lembaga ini mesti dibubarkan.

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERETAN anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang berpakaian serba merah itu bagaikan malaikat maut. Sekali putusan mereka dibacakan Selasa sore pekan lalu, tamatlah riwayat Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Tiada pilihan lain. "KPKPN harus bubar," ujar Jusuf Syakir, ketua lembaga ini.

Dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie (yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi), majelis konstitusi menolak permohonan judicial review terhadap Undang-Undang No. 20/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang diajukan para anggota KPKPN. Sejumlah pasal dalam undang-undang itu, antara lain pasal 69 (1) dan (2), dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Di situ diatur soal pembubaran KPKPN karena fungsinya telah dialihkan ke KPTPK. Hanya, majelis konstitusi menampik untuk mengoreksi pasal ini karena dinilai tidak bertabrakan dengan undang-undang dasar.

Putusan ini sudah harga mati. Berbeda dengan proses hukum di pengadilan biasa, KPKPN tak bisa mengajukan banding, kasasi, atau mengajukan upaya hukum lainnya. "Itu upaya hukum yang pertama dan terakhir, sudah final," kata Syakir.

Sebelumnya posisi lembaga KPKPN mengambang. Direktur Jenderal Badan Pembinaan Hukum Nasional, Romli Atmasasmita, yang turut menyusun sebagian Undang-Undang KPTPK, menyatakan, "Sebenarnya KPKPN bubar secara otomatis dengan berdirinya KPTPK." Hanya, secara administratif pembubaran ini mesti dilakukan lewat keputusan presiden. Selain itu, menurut Wakil Ketua KPTPK, Sjahruddin Rosul, pihaknya juga tidak bisa begitu saja mengambil alih fungsi KPKPN karena lembaga ini melakukan permohonan uji materiil.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, kendala itu tidak ada lagi. Kini semua fungsi KPKPN akan menjadi tanggung jawab KPTPK. Di lembaga pemberantas korupsi itu akan dibentuk Direktorat Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara.

Sejatinya, sejak akhir Desember 2003, anggota KPKPN sudah tidak lagi bekerja penuh. Mereka juga tidak lagi melakukan pemeriksaan khusus terhadap pejabat negara yang laporannya dinilai kurang wajar. "Kami hanya menyelesaikan sisa pekerjaan yang belum beres," kata Syakir. Meski begitu, ia tetap akan memberikan laporan rutin tahunan kepada Presiden dan DPR, yang biasa disampaikannya saban April atau Mei.

Satu hal yang membebani pikiran Jusuf Syakir saat ini: bagaimana nasib para pegawai negeri di KPKPN setelah lembaga ini dibubarkan. Ia khawatir para pegawai KPKPN yang jumlahnya sekitar 100 orang tidak mendapat pekerjaan. Namun Romli menjelaskan bahwa para pegawai itu akan menjadi tanggung jawab Sekretariat Negara dan Kementerian Aparatur Negara. Dua kementerian inilah yang akan mengaturnya.

Pihak KPTPK sendiri telah bersedia menampung mereka sebagai tenaga bantuan sementara. Sesuai dengan amanat undang-undang, menurut Erry Riyana Hardjapamekas (salah seorang pengurus KPTPK), lembaganya berkewajiban menerima peleburan fungsi KPKPN. Konsekuensinya, "Kami berkewajiban menampung karyawan KPKPN untuk sementara," katanya.

Rencananya, kata Erry, KPTPK akan menyeleksi kembali bekas pegawai KPKPN sebelum menerimanya sebagai pegawai tetap. Penentuan kriteria dan seleksi sumber daya manusia akan dilakukan sekitar pertengahan April oleh konsultan independen. Mereka yang memenuhi kualifikasi akan direkrut, sedangkan yang tidak akan dikembalikan ke Sekretariat Negara.

Itulah yang dicemaskan oleh Jusuf Syakir. Ia khawatir KPTPK mematok persyaratan tinggi untuk proses perekrutan itu. Mereka juga sulit dikembalikan lagi ke tempat mereka bekerja sebelumnya. Soalnya, banyak pegawai itu berasal dari departemen atau lembaga yang telah dilikuidasi seperti Departemen Penerangan, Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Kantor Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Nasib para anggota KPKPN yang jumlahnya 31 orang malah lebih suram. Karena sama-sama dipilih oleh DPR, menurut Syakir, kedudukan anggota KPKPN sama persis dengan anggota KPTPK. Jadi, "Anggota KPKPN tidak bisa melebur ke KPTPK dan menjadi bawahan atau anggota komisi itu," katanya.

Kemungkinan seperti itu telah diperkirakan oleh para anggota KPKPN jauh sebelumnya. Begitu pemerintah mengumumkan dan membuka proses seleksi pimpinan KPTPK, Oktober tahun lalu, delapan anggota KPKPN mendaftar menjadi calon anggota KPTPK. Tapi tak satu pun yang lolos seleksi.

Setelah KPKPN dibubarkan, sebagian besar anggota KPKPN berancang-ancang kembali ke dunianya semula. Yang pegawai negeri seperti Soekotjo Soeparto, misalnya, akan melapor lagi ke kantor yang dulu. Ada juga yang akan bekerja sebagai pengacara seperti dilakukan oleh Petrus Selestinus. Langkah yang diambil Lili Asdjudiredja dan Muchayat lain lagi. Mereka akan menekuni kembali dunia usaha yang pernah digelutinya. Hanya, tak semuanya punya tempat kembali. Ada di antara mereka yang sebelumnya pegawai negeri dan telah memasuki masa pensiun. Kini terpaksa mereka meminta rekan sesama anggota KPKPN untuk mencarikan pekerjaan.

Endri Kurniawati, Poernomo G. Ridho, Sunariah (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus