NAMANYA Marina. Anak sulung dari 5 bersaudara. Sejak ayahnya
meninggal, gadis anak Mahalim Saragih ini tingal bersama ibunya
Teken boru Purba dan empat saudara kandungnya di Kampung Bangun
Raya, Kecamatan Raya Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera
Utara.
Sebagai anak petani Marina berparas lumayan, lagi pula cerdas.
Ia jadi biji mata keluarga. Tapi ketika duduk di kelas 2 SMP
Sinar Raya, dan umurnya baru 13, hinggaplah nasib malang pada
dirinya. Di kulitnya tumbuh bercak-bercak. Akhirnya ia diketahui
terserang lepra, yang disebutkan orang di sana sebagai gadam. Ia
jadi terasing karena penyakitnya itu. Sebab orang sekeliling
menganggap penyakit itu bikinan setan. Waktu itu tahun 1965.
Penyakit lepra itu membikin setengah penjara bagi Marina. Ia tak
pernah muncul di depan umum. Paling banter ia hanya ke ladang
membantu saudara-saudaranya. Sesudah itu ia terus mengurung diri
di rumah.
Meskipun agak terlambat, Teken boru Purba sang ibu, sudah
berusaha ke sana ke mari mencari dukun untuk menolong anaknya.
Puluhan dukun sudah didatanginya, tapi Marina tetap merana.
Malahan pada tahun 1966 seisi Kampung Bangun Raya sempat
bergotongroyong mengumpul uang untuk pengobatan Marina. Sudah 12
tahun lewat tak ada lagi yang ingat berapa jumlah uang yang
terkumpul ketika itu. Tapi yang jelas cukup untuk mengongkosi
Marina selama dia terbaring di Rumahsakit Umum Pematang Siantar,
satu bulan lamanya. Kembali dari Siantar penyakitnya itu tak
berkurang juga.
Diasingkan
Dua tahun setelah pengobatan di kota Siantar itu, penyakit
Marina tambah menjadi-jadi. Semua dukun sudah didatangi.
Pengobatan moderen pun sudah dicoba di Pematang Siantar tempo
hari.
Suatu hari dalam bulan Juli 1978 Marina dibawa dari Bangun Raya,
kampungnya, menuju Sinder Raya sejauh 1 km. Dia dimasukkan ke
Puskesmas yang sudah dibangun di situ. Para pemuka dari Kampung
Bangun Raya ikut mengantarkan Marina sampai gadis ini berada di
tangan dr Ali Mardan, yang memimpin puskesmas. Melihat penyakit
Marina, dokter lantas memberikan tablet DDS, yang dianggap ampuh
melawan lepra.
Tapi cuma tiga kali ia berkunjung ke puskesmas itu. Tak jelas
apa alasannya. "Kepada petugas puskesmas, dia mengatakan malu
untuk datang ke mari," begitu cerita dr Ali Mardan. Marina hanya
berkurung di rumah.
17 Agustus 1978 yang lalu ke rumahnya datang Jamanta Purba yang
berjabatan Gamot (kepala lingkungan). Melihat keadaan Marina
yang semakin memburuk -- tangan dan kakinya sudah kehilangan
jari dan kaku -- sang Gamot menyarankan agar Marina diasingkan
saja dari rumah. Permintaan itu dikabulkan dan seisi kampung
menyetujui. Dan Marina pun dipapah ke tengah perladangan
keluarga, sekitar 1,5 km di luar kampung Bangun Raya. Di sebuah
gubuk dikelilingi pagar, di situlah Marina yang jadi buruk
karena lepra itu, ditinggalkan seorang diri.
3 kali sehari makanannya diantarkan keluarganya melalui galah
sepanjang 10 meter yang dijulurkan dari luar gubuk. Tapi 21
Agustus 1978 sore, makanan yang diulurkan lewat galah itu tak
diambil oleh Marina sebagai mana biasa. Konon ada satu jam
lamanya pengantar makanan itu memanggil-manggil namanya, tapi
tak ada sahutan. Sampai akhirnya seluruh keluarga menganggap
Marina, yang berusia 25 itu, sudah meninggal.
Sepanjang malam keluarga Saragih yang ditimpa kemalangan itu
terjaga terus. Jam 3.30 dinihari tanggal 22 Agustus 1978 ibu
Marina, beserta adik-adiknya Kanten Saragih, Lamsudin Saragih,
Ramli Saragih dan Niar boru Saragih mengambil keputusan untuk
membakar Marina dan gubuknya. Mereka menyiramkan minyak lantas
membakar gubuk tempat tinggal Marina. Di tengah ladang itu kini
tinggal arang dan abu.
Cerita Marina adalah contoh satu kepercayaan yang masih kuat di
daerah Simalungun: bahwa bila korban penyakit gadam meninggal,
setan penyebab penyakit akan keluar dari jasad si korban, dan
luntang-lantung mencari korban baru. Karena itu, sebelum setan
tadi (konon berbentuk ulat yang kecil-kecil) sempat menjalar
mencari orang lain, maka jasad si korban beserta gubuk tempat
tinggalnya harus segera dibasmi.
Pemuda Daluwarsa
Marina sudah tentu bukan korban yang pertama. Menurut Aman
Purba, 45 tahun, pemuka masyarakat Bangun Raya, sekitar tahun
1968, di Kampung Lao Baru 20 km dari kampung Marina, seorang
penderita gadam bernama Jonas Simarmata juga dibakar oleh
keluarganya. Semasa hidupnya Jonas Simarmata mengalami nasib
sama seperti Marina. Terpencil dari pergaulan masyarakat dan
menjadi pemuda daluwarsa. Belum beristeri, meskipun sudah
berumur 50.
Walaupun membakar korban lepra sudah jadi semacam kewajiban di
kampung terpencil 60 km dari Pematang Siantar, namun pihak
kepolisian di sana masih terpanggil untuk menyelidik. "Bagi
polisi belum jelas apakah perempuan itu dibakar ketika masih
hidup atau sudah mati," ujar Letkol Otto Simanjuntak, Komandan
Resort 205 Simalungun Untuk keperluan penyelidikan tadi seluruh
keluarga almarhumah Marina, ibunya Teken boru Purba dan adiknya
Kanten, Lamsudin, Ramli dan Niar Saragil terpaksa menginap 4
hari di kantor polisi.
Sementara polisi berusaha mengungkapkan kasus pembakaran itu,
penduduk dan para kepala kampung cenderung untuk membenarkan
tindakan sang ibu dan empat saudara Marina. "Mereka hanya
melaksanakan apa yang sudah jadi kebiasaan," kata mereka.
Ditilik dari segi pendidikan, keluarga Saragih yang kemalangan
itu tak tergolong ketinggalan. Ramli Saragih, 17, anak paling
bungsu, sekarang duduk di bangku kelas 3 SMA. Masyarakat
sekeliling nampaknya juga tak terlalu terbelakang, meskipun
sarana perhubungan yang sulit membuat daerah tersebut agak
terpencil. Sekolah dasar sampai SMP dan SMA ada di sana. Tapi
mungkin karena sudah menjadi semacam kepercayaan bahwa lepra
disebabkan oleh perbuatan setan dan "hanya Tuhan Jesus" yang
bisa menyembuhkannya, maka pembakaran dan pengasingan bagi
penderitanya masih banyak terjadi di Simalungun dan daerah Karo.
Dua daerah di Sumatera Utara yang menonjol penderita lepranya.
Para petugas kesehatan di sana memang memberikan penerangan
tentang sudah bisa disembuhkannya penyakit ini. Penularannya pun
tidaklah gampang, sebab harus melalui hubungan yang lama. Tapi
usaha itu nampaknya belum juga berhasil.
Dikirim ke Medan
Menurut penjelasan dr K. Sipayung, Kepala Bagian Pemberantasan
dan Pencegahan Penyakit menular, di Simalungun terdaftar 274
penderita lepra. Tapi ia tak menjamin kalau jumlah itu hanya
demikian, karena para penderita -- terutama keluarganya --
cenderung menyembunyikan keadaan kesehatannya kepada umum. Juga
dr Ali Mardan, pimpinan Puskesmas Sindar Raya, tak dapat
memberikan data-data yang pasti tentang jumlah penderita lepra
di daerahnya. "Yang kami tahu hanya yang satu orang," katanya
menunjuk kasus Marina. "Mungkin masih ada tapi disembunyikan
oleh familinya," katanya pula.
Marina sendiri bukanlah hasil penemuan langsung petugas
puskesmas. Si penderita sendiri yang datang minta pertolongan,
sayang gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini