Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Marina Yang Dibakar

Masyarakat simalungun, sum-ut, percaya bahwa penyakit lepra disebabkan perbuatan setan, maka pembakaran & pengasingan bagi penderita sering dilakukan. di simalungun terdaftar 274 penderita lepra. (ksh)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Marina. Anak sulung dari 5 bersaudara. Sejak ayahnya meninggal, gadis anak Mahalim Saragih ini tingal bersama ibunya Teken boru Purba dan empat saudara kandungnya di Kampung Bangun Raya, Kecamatan Raya Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sebagai anak petani Marina berparas lumayan, lagi pula cerdas. Ia jadi biji mata keluarga. Tapi ketika duduk di kelas 2 SMP Sinar Raya, dan umurnya baru 13, hinggaplah nasib malang pada dirinya. Di kulitnya tumbuh bercak-bercak. Akhirnya ia diketahui terserang lepra, yang disebutkan orang di sana sebagai gadam. Ia jadi terasing karena penyakitnya itu. Sebab orang sekeliling menganggap penyakit itu bikinan setan. Waktu itu tahun 1965. Penyakit lepra itu membikin setengah penjara bagi Marina. Ia tak pernah muncul di depan umum. Paling banter ia hanya ke ladang membantu saudara-saudaranya. Sesudah itu ia terus mengurung diri di rumah. Meskipun agak terlambat, Teken boru Purba sang ibu, sudah berusaha ke sana ke mari mencari dukun untuk menolong anaknya. Puluhan dukun sudah didatanginya, tapi Marina tetap merana. Malahan pada tahun 1966 seisi Kampung Bangun Raya sempat bergotongroyong mengumpul uang untuk pengobatan Marina. Sudah 12 tahun lewat tak ada lagi yang ingat berapa jumlah uang yang terkumpul ketika itu. Tapi yang jelas cukup untuk mengongkosi Marina selama dia terbaring di Rumahsakit Umum Pematang Siantar, satu bulan lamanya. Kembali dari Siantar penyakitnya itu tak berkurang juga. Diasingkan Dua tahun setelah pengobatan di kota Siantar itu, penyakit Marina tambah menjadi-jadi. Semua dukun sudah didatangi. Pengobatan moderen pun sudah dicoba di Pematang Siantar tempo hari. Suatu hari dalam bulan Juli 1978 Marina dibawa dari Bangun Raya, kampungnya, menuju Sinder Raya sejauh 1 km. Dia dimasukkan ke Puskesmas yang sudah dibangun di situ. Para pemuka dari Kampung Bangun Raya ikut mengantarkan Marina sampai gadis ini berada di tangan dr Ali Mardan, yang memimpin puskesmas. Melihat penyakit Marina, dokter lantas memberikan tablet DDS, yang dianggap ampuh melawan lepra. Tapi cuma tiga kali ia berkunjung ke puskesmas itu. Tak jelas apa alasannya. "Kepada petugas puskesmas, dia mengatakan malu untuk datang ke mari," begitu cerita dr Ali Mardan. Marina hanya berkurung di rumah. 17 Agustus 1978 yang lalu ke rumahnya datang Jamanta Purba yang berjabatan Gamot (kepala lingkungan). Melihat keadaan Marina yang semakin memburuk -- tangan dan kakinya sudah kehilangan jari dan kaku -- sang Gamot menyarankan agar Marina diasingkan saja dari rumah. Permintaan itu dikabulkan dan seisi kampung menyetujui. Dan Marina pun dipapah ke tengah perladangan keluarga, sekitar 1,5 km di luar kampung Bangun Raya. Di sebuah gubuk dikelilingi pagar, di situlah Marina yang jadi buruk karena lepra itu, ditinggalkan seorang diri. 3 kali sehari makanannya diantarkan keluarganya melalui galah sepanjang 10 meter yang dijulurkan dari luar gubuk. Tapi 21 Agustus 1978 sore, makanan yang diulurkan lewat galah itu tak diambil oleh Marina sebagai mana biasa. Konon ada satu jam lamanya pengantar makanan itu memanggil-manggil namanya, tapi tak ada sahutan. Sampai akhirnya seluruh keluarga menganggap Marina, yang berusia 25 itu, sudah meninggal. Sepanjang malam keluarga Saragih yang ditimpa kemalangan itu terjaga terus. Jam 3.30 dinihari tanggal 22 Agustus 1978 ibu Marina, beserta adik-adiknya Kanten Saragih, Lamsudin Saragih, Ramli Saragih dan Niar boru Saragih mengambil keputusan untuk membakar Marina dan gubuknya. Mereka menyiramkan minyak lantas membakar gubuk tempat tinggal Marina. Di tengah ladang itu kini tinggal arang dan abu. Cerita Marina adalah contoh satu kepercayaan yang masih kuat di daerah Simalungun: bahwa bila korban penyakit gadam meninggal, setan penyebab penyakit akan keluar dari jasad si korban, dan luntang-lantung mencari korban baru. Karena itu, sebelum setan tadi (konon berbentuk ulat yang kecil-kecil) sempat menjalar mencari orang lain, maka jasad si korban beserta gubuk tempat tinggalnya harus segera dibasmi. Pemuda Daluwarsa Marina sudah tentu bukan korban yang pertama. Menurut Aman Purba, 45 tahun, pemuka masyarakat Bangun Raya, sekitar tahun 1968, di Kampung Lao Baru 20 km dari kampung Marina, seorang penderita gadam bernama Jonas Simarmata juga dibakar oleh keluarganya. Semasa hidupnya Jonas Simarmata mengalami nasib sama seperti Marina. Terpencil dari pergaulan masyarakat dan menjadi pemuda daluwarsa. Belum beristeri, meskipun sudah berumur 50. Walaupun membakar korban lepra sudah jadi semacam kewajiban di kampung terpencil 60 km dari Pematang Siantar, namun pihak kepolisian di sana masih terpanggil untuk menyelidik. "Bagi polisi belum jelas apakah perempuan itu dibakar ketika masih hidup atau sudah mati," ujar Letkol Otto Simanjuntak, Komandan Resort 205 Simalungun Untuk keperluan penyelidikan tadi seluruh keluarga almarhumah Marina, ibunya Teken boru Purba dan adiknya Kanten, Lamsudin, Ramli dan Niar Saragil terpaksa menginap 4 hari di kantor polisi. Sementara polisi berusaha mengungkapkan kasus pembakaran itu, penduduk dan para kepala kampung cenderung untuk membenarkan tindakan sang ibu dan empat saudara Marina. "Mereka hanya melaksanakan apa yang sudah jadi kebiasaan," kata mereka. Ditilik dari segi pendidikan, keluarga Saragih yang kemalangan itu tak tergolong ketinggalan. Ramli Saragih, 17, anak paling bungsu, sekarang duduk di bangku kelas 3 SMA. Masyarakat sekeliling nampaknya juga tak terlalu terbelakang, meskipun sarana perhubungan yang sulit membuat daerah tersebut agak terpencil. Sekolah dasar sampai SMP dan SMA ada di sana. Tapi mungkin karena sudah menjadi semacam kepercayaan bahwa lepra disebabkan oleh perbuatan setan dan "hanya Tuhan Jesus" yang bisa menyembuhkannya, maka pembakaran dan pengasingan bagi penderitanya masih banyak terjadi di Simalungun dan daerah Karo. Dua daerah di Sumatera Utara yang menonjol penderita lepranya. Para petugas kesehatan di sana memang memberikan penerangan tentang sudah bisa disembuhkannya penyakit ini. Penularannya pun tidaklah gampang, sebab harus melalui hubungan yang lama. Tapi usaha itu nampaknya belum juga berhasil. Dikirim ke Medan Menurut penjelasan dr K. Sipayung, Kepala Bagian Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit menular, di Simalungun terdaftar 274 penderita lepra. Tapi ia tak menjamin kalau jumlah itu hanya demikian, karena para penderita -- terutama keluarganya -- cenderung menyembunyikan keadaan kesehatannya kepada umum. Juga dr Ali Mardan, pimpinan Puskesmas Sindar Raya, tak dapat memberikan data-data yang pasti tentang jumlah penderita lepra di daerahnya. "Yang kami tahu hanya yang satu orang," katanya menunjuk kasus Marina. "Mungkin masih ada tapi disembunyikan oleh familinya," katanya pula. Marina sendiri bukanlah hasil penemuan langsung petugas puskesmas. Si penderita sendiri yang datang minta pertolongan, sayang gagal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus