Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik kaleng dari mataram

Grup musik "pads group" dari yogyakarta yang menggabungkan musik dengan slide, mengadakan pertunjukkan di teater arena tim dengan nama "yogyharmonik 78". (ms)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK tidak suka lagi berdiri sendiri Selama 2 malam serombongan anak muda Yogya yang menamakan diri Pads Group sempat menggabungkan musik dengan slide tengah September yang lalu. Mereka menamakan pertunjukan yang berlangsung di Teater Arena TIM itu 'Yogyharmonik 78'. Dengan pimpinan Sapto Rahardjo (23 tahun), 15 anak muda di bawah 23 tahun tampak menabuh gitar, perkusi, biola, dram, block flute, elekton, organ, gong kayu, synthesizer dan kaleng. Mereka mempersembahkan 10 buah komposisi yang kedengaran aneh. Seperti bunyi karawitan Jawa yang jalin-menjalin dengan nada-nada diatonis. Sementara itu berbagai slide muncul mendukung bunyi. Dimulai dengan lagu bernama Talu, berturut-turut diperdengarkan sembilan buah lagu lainnya. Setiap kali lagu hendak dimainkan, salah seorang menguraikan tema dari komposisi dengan bahasa Indonesia yang medok Jawa. Demikianlah misalnya dalam nomor Pesarean (makam) Imogiri. Diuraikan dulu bukit tempat raja-raja Yogya dan Surakarta dimakamkan. Baru terdengar suara syntlesizer dari tangan Sapto yang merupakan tulang punggung penampilan. Meski masih terasa main-main, dihadiri penonton yang cukupan banyaknya anak muda dari "kerajaan Mataram" ini sudah meninggalkan kesan. Dalam nomor Prajurit Keraton Di Sekaten misalnya mereka terasa berhasil. Seluruh perlengkapan yang mereka bawa berbunyi. Dengan pukulan dram Eko Suryo, tiupan blockflute Nining, suasana Yogya tergambar. Gambar dan musik ada dalam paduan yang baik. Apalagi di tengah musik muncul hiruk-pikuk suara sekaten dan celoteh para pedagang. Lalu jadilah sebuah sketsa dengan niat yang serius. "Media visuil dan media auditif saling mendukung, tidak ada yang lebih penting antara keduanya. Kurang lengkap rasanya saya bermain tanpa gambar," kata Sapto. Sapto sendiri mengaku tak punya konsep bagus kecuali "untuk mengembalikan bunyi pada sifatnya yang semula." Ide yang keluar dari kepala Sapto, dituangkan ke dalam kertas partitur notasinya seperti sering dijumpai pada partitur komposisi kontemporer -- lebih merupakan kesan bunyi dari setiap instrumen. Ide ini kemudian dikembangkan bersama. Sayang sekali kemampuan teman-temannya tidak merata sehingga ada banyak hal terlepas. "Permainan sering berubah dari hari ke hari, dan sering tidak bersih sampai ke telinga penonton," ungkap Sapto sendiri. Nama Pads berasal dari lambang padmanaba (bunga teratai) dari sekolah mereka, SMA III Yogya. Meski Sapto sendiri bukan anak sekolah lagi, ia mulai dengan musik biasa di tahun 1973. Karena jenuh, ia mulai bereksperimen. Demikianlah sehingga menonton pergelarannya harus disertai pengertian untuk menerima sesuatu yang eksperimentil. Ia belum selesai, masih dalam proses pematangan. Namun kalau saja intensitasnya tetap serta kegigihannya terus menggebu, Pads Group memang dapat diharapkan. Sampai saat ini kecuali Jakarta, baru Bandung dan Surabaya yang memberi andil dalam percaturan musik mutakhir Pads memiliki Yogya sebagai latar belakang yang unik. Di samping semangat, mereka ada kecerdasam sehingga kesegaran tidak berhenti sebagai kenakalan tetapi memiliki bobot tertentu. Kadang ada usaha menyindir, memancing asosia si dan imajinasi. Dalam lagu Gajah Mada misalnya, setelah intro, Sapto langsung melompat ke lagu Padamu Negeri. Kombinasi ini dimungkinkan karena bagi Sapto tema kesetiaan dalam Sumpah Gajah Mada dirasakannya pula ada dalam lagu yang kedua itu. Dalam lagu Siklus 5 terlihat gambar Soekarno-Hatta membaca teks Proklamasi. Kemudian disusul pidato Presiden Soeharto di DPR. "Siklus 5 berbicara tentang hal-hal yang seharusnya selalu berulang pada tiap angka 5," tulis mereka dalam folder. "Bila sampai tidak berulang, buyarlah suasana. Kita lihat saja! " Lebih dari sekedar usaha bermain musik dengan cara yang lebih ekspresif, bagi kita ulah seperti yang dilakukan 'Pads' ini menggalakkan beberapa hal. Anak-anak muda mencoba mencari identitasnya dengan menggali warna lokal. Enerji mereka yang berlebihan disalurkan dalam disiplin artistik dengan kesadaran berkomunikasi dengan pendengarnya Praktis gejala ini dapat dianggap penyegaran dalam perjalanan musik Indonesia yang hidup di tengah masyarakat. 'Pads' hanya sebagian kecil dari arus remaja yang sedang mencoba "mengganggu" suasana ayem dan mapan yang tegak terlalu lama dalam pasaran. Arus ini seyogyanya diperhitungkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus