Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak gampang bagi Aryo menjalani hari, bahkan untuk sekadar menyantap semangkuk mi. Berulang kali sendokannya salah sasaran. Meleset. Tak ada seutas pun mi yang terangkut. ”Susah jadi orang buta dadakan,” kata lajang 25 tahun ini.
Aryo, mahasiswa tingkat akhir perguruan swasta di Jakarta ini, enggan disebut jati diri sebenarnya. Dua pekan lalu dia ditemui Tempo di ruang kunjung Rumah Sakit Intan Gleneagles, Kuala Lumpur, Malaysia. Dia sedang menjalani terapi oksigen hiperbarik, oksigen tekanan tinggi, untuk membenahi saraf mata yang rusak. ”Gara-gara bir pletok, mata gue jadi kotok,” kata Aryo. Kotok adalah kosakata Betawi yang bermakna ”buta”.
Penasaran? Ayo kita simak pengalaman Aryo.
Larut malam, sebulan lalu, Aryo bersama seorang kawan sedang melepas penat di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Tenda-tenda penjual makanan dan minuman memeriahkan malam.
Seorang pedagang menawarkan minuman keras oplosan sendiri. ”Bir pletok” atau ”pletokan” istilahnya. Harap dicatat, yang dimaksud di sini bukanlah minuman tradisional Betawi yang terbikin dari jahe ditambah puluhan bumbu dan rempah—yang ini dijamin tidak bikin mabuk.
Harga bir oplosan yang dibeli Aryo lumayan murah, Rp 40 ribu untuk sekantong plastik isi 1,5 liter. Si penjual meramu macam-macam material sesuai kemauan konsumen. Persis bartender di bar atau diskotek, cuma yang satu ini beraksi di jalanan dengan peralatan dan bahan alakadarnya. Aryo memesan campuran vodka, bir, minuman ringan bersoda, plus salah satu merek minuman berenergi. Konsumen lain ada yang memesan ekstra tambahan jeruk nipis dan sari buah.
Malam itu bukan kali pertama Aryo minum bir pletokan. ”Biasanya aman-aman saja. Tapi, malam itu rasanya lain,” katanya.
Tuntas menenggak bir pletokan, mata Aryo terasa sangat letih. Cahaya monitor komputer terasa tajam dan seperti menusuk mata. ”Badan juga capek sekali,” kata dia. Bahkan, sampai dua hari kemudian, pengaruh alkohol masih menguasai dirinya. Bumi seakan dilanda gempa hebat. Aryo berkali-kali muntah. Pandangannya kabur.
Khawatir dengan kondisi Aryo, keluarganya membawa pemuda itu ke Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo, Jakarta. Dari hasil pemindaian di sekitar kepala, dokter menduga Aryo terserang tumor.
Keluarga Aryo tidak percaya begitu saja dengan diagnosis tumor tadi. Mereka kemudian meminta pendapat dari dokter di rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. ”Dokter di sana bilang itu bukan tumor tapi peradangan saraf otak,” kata salah seorang kakak Aryo. Sepuluh hari Aryo diminta menjalani rawat inap di rumah sakit ini.
Sayangnya, setelah 10 hari dirawat, kondisi kesehatan Aryo belum juga membaik. Rasa mual memang sudah tidak ada lagi, namun indra penglihatan Aryo menurun drastis. Tidak ada satu warna pun yang bisa dia lihat selain warna hitam. Gelap.
Mengikuti saran seorang kerabat, Aryo kemudian diboyong berobat ke Rumah Sakit Intan Gleneagles, Kuala Lumpur, Malaysia. Kabar yang beredar, rumah sakit ini sudah beberapa kali mengobati pasien dari Indonesia dengan gejala penyakit seperti yang dialami Aryo.
Duduk perkara permasalahan Aryo mulai sedikit terang. Menurut dokter Cheong Fook, yang menangani pengobatan Aryo di RS Intan Gleneagles, bola mata Aryo masih normal. ”Tapi, saraf matanya terbakar metanol,” kata dokter Fook. Dia menduga, metanol itu berasal dari bir pletokan yang ditenggak Aryo. ”Metanol ini sangat berbahaya bagi tubuh,” kata Fook.
Sesungguhnya, metanol atau metil alkohol—sering disebut alkohol teknis—sama sekali bukan jenis alkohol yang layak diminum manusia. Sifatnya yang tidak mudah larut dalam air membuat zat kimia ini biasa digunakan untuk keperluan industri, misalnya spiritus, pelarut cat, pembersih kuteks, dan minyak wangi. Metanol berbeda dengan etanol, kerabatnya sesama alkohol yang mudah larut dalam air sehingga sering digunakan untuk campuran beberapa merek minuman beralkohol.
Kasus keracunan metanol pun sudah banyak dilaporkan. Menghirup gas metanol dengan kadar 0,1 ml/kg saja sudah sanggup menyebabkan kebutaan total dan bahkan kematian. Asosiasi Pusat Pengendalian Racun (AACP) di Amerika Serikat menyebutkan adanya 2.610 kasus keracunan metanol sepanjang 2002. Sebagian kasus tergolong parah, 18 kasus berujung kematian dan 55 kasus menimbulkan kerusakan fatal.
Lalu, apa hubungan metanol yang berbahaya dengan bir pletok yang diminum Aryo?
Pokok yang satu ini memang membutuhkan penelitian laboratorium lebih lanjut. Tempo berbincang dengan beberapa pedagang bir pletok di Jakarta. Mereka menginformasikan bahwa vodka yang digunakan untuk bahan campuran pletok dibeli di pasar lokal dengan harga Rp 20 ribu per botol. Sebuah harga yang janggal. Berbagai merek vodka asli, hasil fermentasi gandum dan kentang, produksi Swedia atau Rusia, harganya terentang dari Rp 200-300 ribu. Vodka kualitas premium malah sampai Rp 500 ribu per botol. Walhasil, patut diduga bahwa vodka bahan pletok ini kemungkinan dicampur metanol yang berbahaya.
Penggunaan campuran metanol pun bukan hal yang asing di masyarakat kita. Tahun lalu, Sulawesi Utara sempat geger lantaran minuman keras lokal cap Tikus. Tiga belas warga tewas, enam belas orang mengalami kebutaan, dan sekitar 400 orang terpaksa dirawat di rumah sakit setelah berpesta menenggak minuman keras khas Minahasa itu. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui bahwa minuman itu mengandung metanol sebanyak 30 ppm (part per million).
Kasus yang serupa Aryo pun bisa dipastikan banyak terjadi. Terlebih karena bir pletokan memang mudah dijumpai di berbagai sudut kota, antara lain di Kebayoran Baru, Cikini, dan Tebet Raya. Konon, menurut seorang penggemar, ramuan yang rasanya paling pas bisa didapat di Tebet. ”Rasanya sensasional,” kata Dodim (bukan nama sebenarnya), pelanggan bir pletokan yang kini mulai sering mengeluh sakit kepala. Dodi sama sekali tidak menduga bahwa bir pletok bisa memberi tamparan begitu kuat hingga menyebabkan kebutaan, bahkan kematian.
Muhammad Sidik, dokter ahli mata, membenarkan bahwa masyarakat belum menyadari betapa bahaya alkohol, terlebih yang berkualitas rendah. ”Setiap bulan ada saja pasien dengan gejala kebutaan karena alkohol yang datang berobat ke RSCM,” kata Sidik, Kepala Departemen Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. ”Saya pernah menangani pasien yang hampir sekarat. Rupanya dia minum bir yang dioplos dengan spiritus,” kata Sidik.
Pada kasus kebutaan seperti Aryo, menurut Sidik, tak banyak yang bisa dilakukan. ”Saraf matanya sudah telanjur rusak,” katanya. Yang bisa dilakukan hanya mencegah kerusakan saraf yang lebih parah dengan menyuntikkan etanol. Zat kimia ini akan membantu tubuh untuk mengurai metanol dalam darah. Tapi, Sidik mengingatkan, langkah ini hanya bisa dilakukan pada masa akut, satu atau dua hari setelah keracunan metanol. Ketika itu, bagian saraf yang dirusak metanol barulah myelin (selubung saraf) dan bukan keseluruhan persarafan.
Terapi oksigen hiperbarik, seperti yang dijalani Aryo di Malaysia, memang bisa juga dilakukan. Namun, terapi ini pun tak berfungsi secara langsung memperbaiki jaringan saraf mata. Fungsinya hanya menetralisir racun metanol yang telanjur menyebar dalam darah pasien.
Jadi, Sidik menegaskan, memang, tak ada pilihan lain selain menghindar sejauh mungkin dari jerat alkohol.
Suseno, Taufiq Salengke (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo