Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Harga Darurat Berubah Gawat

Sejumlah staf Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh diperiksa kejaksaan. Terkait penerbitan buku beraroma korupsi.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT itu mestinya tak boleh ke­luar dari ruang kerja para pe­tinggi Badan Rehabilitasi dan ­Re­konstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Isi­nya sensitif: penolakan kepala perwakil­an badan tersebut di Jakarta, Anwar Muhammad, menandatangani kontrak pencetakan buku. Dikirimkan perte­ngahan Juli lalu, surat itu ditujukan kepada pejabat sementara Kuasa Pengguna Anggaran Badan Rehabilitasi, Achyarmansyah Lubis.

Dalam surat dua halaman itu, Anwar mencantumkan alasan penolakannya: harga tiga judul proyek buku Badan Rehabilitasi terlampau tinggi. Buku Membangun Tanah Harapan, misalnya, yang dicetak 600 eksemplar, harganya Rp 627 ribu per buku. Padahal, setelah Anwar membandingkan dengan percetakan lain, harganya tak lebih dari Rp 250 ribu. ”Harga telah ditentukan tanpa sepengetahuan kami,” demikian ia me­nulis. ”Kami hanya diminta menandatangani kontrak.”

Entah bagaimana, surat itu menye­li­nap dari kantor Badan Rehabilitasi di ka­wasan Lueng Bata, Banda Aceh, dan ”disambar” beberapa lembaga s­wa­daya masyarakat di Aceh. ”Kami lalu melakukan investigasi,” kata Koordinator Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh, Akhiruddin Mahyuddin. Anwar terka­get-kaget suratnya bocor. ”Saya tidak tahu siapa yang menyebarkannya,” kata dosen Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti, Jakarta, itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Di lapangan, Gerak menemukan fakta mengejutkan. Lembaga itu mengendus aroma penyelewengan. Buku-buku yang berjudul, antara lain, Meletakkan Pondasi Membangun Harapan, Satu Tahun Tsunami, dan Satu Tahun BRR itu dior­der tanpa tender alias tunjuk langsung. Total nilai kontrak buku yang diberikan kepada sembilan percetakan itu Rp 3,2 miliar. ”Harganya juga jauh di atas normal,” ujar Akhiruddin.

Indonesia Corruption Watch (ICW) ju­ga turun tangan menelusuri kasus ini. Menurut Asisten Monitoring Aceh ICW, Firdaus Ilyas, untuk mencetak 500 eksem­plar Meletakkan Pondasi Membangun Harapan, misalnya, Badan Rehabilitasi membayar PT Wahana Multiguna Mandiri Rp 264 juta atau Rp 500 ribu per eksemplar. Untuk mencetak 600 eksemplar Membangun Tanah Harapan, nilai kontraknya Rp 376 juta atau sekitar Rp 600 ribu per eksemplar. ”Ter­lalu mahal dibandingkan dengan harga di pasaran,” kata Firdaus.

Tim ICW, yang mencari harga normal untuk buku semacam ini di percetakan Jakarta dan Yogyakarta, juga menemukan selisih angka yang jauh. Harga cetak buku semacam Meletakkan Pondasi Membangun Harapan, misalnya, cuma sekitar Rp 170 ribu per eksemplar. Menurut hitung-hitungan ICW, terjadi penyelewengan sekitar Rp 1 miliar di balik pengadaan buku ini.

Lembaga pemerhati kasus ko­rupsi ini juga menengarai penyelewengan lain di Badan Rehabilitasi, seperti pada pengadaan barang inventaris kantor, penunjukan konsultan media, dan pemusnahan obat. Nilainya diduga sekitar Rp 20 miliar. ”Tapi, di proyek buku ini yang terlihat jelas indikasi korupsinya,” kata Firdaus.

Sejumlah percetakan yang mendapat order dari Badan Rehabilitasi tak mau buka mulut tentang harga buku itu. Ketika Tempo mendatangi PT Wahana Multiguna di Jalan Pahlawan Revolusi, Jakarta Timur, misalnya, bagian pemasaran perusahaan itu menolak diwawan­ca­rai. Pemilik Wahana ternyata juga salah satu pemilik PT Patriot, pencetak Membangun Tanah Harapan. ”Semua tanyakan ke BRR, termasuk harganya,” ujar staf pemasaran itu.

l l l

KASUS buku ini kini bergulir kencang dan menjadi ”bola panas” di Aceh. Pada akhir Juli lalu, Gerak melaporkan dugaan korupsi pengadaan buku ini ke Kepolisian Daerah Aceh Nanggroe Darussalam. Di Jakarta, ICW membawa kasus ini ke Kejaksaan Agung dan menyerahkan dokumen kasus tersebut ke Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution. ”Kami sudah menerima kasus ini, dan biar ditangani kejaksaan Aceh,” ujar seorang pejabat Kejaksaan Agung.

Kejaksaan Tinggi Aceh sudah m­e­mang­gil sekitar lima staf Badan Reha­bilitasi untuk dimintai keterangan. Rabu dua pekan lalu, misalnya, Kejak­saan memeriksa ketua tim perumus bu­ku tersebut, Widjajanto. ”Kami ha­nya meminta klarifikasi,” ujar juru bicara Kejaksaan Tinggi Aceh, Mukhlis. ”Jadi, statusnya bukan saksi atau tersangka.”

Selama tujuh jam, bekas Di­rektur ­Ko­munikasi dan Informasi Badan Re­habi­litasi yang kini menjabat kepala sekre­tariat badan tersebut men­jawab 20 pertanyaan yang diajukan jaksa. Mulai dari ide penerbitan buku, pro­ses penunjuk­an percetakan, hingga penen­tuan oplah serta harganya.

Menurut Widjajanto, jumlah buku yang dicetak lembaganya 2.050 eksemplar, meliputi edisi bahasa Indonesia dan Inggris. Karena jadwal penerbitannya mendesak, semua buku itu dicetak dengan pencetakan digital. Total nilai­nya Rp 1,24 miliar. ”Satu buku sekitar Rp 500 ribu dan tidak ada penyeleweng­an di sini,” ujarnya. Menurut Widjajanto, penggunaan anggaran itu pun sudah di­­pertanggungjawabkan. ”Setiap enam bu­lan kami memberi laporan keuang­an.”

Sebelum Widjajanto, sekitar tiga pekan sebelumnya, Kejaksaan juga memeriksa Achyarmansyah. Jaksa memberondong kuasa pengguna anggaran Badan Rehabilitasi ini dengan pertanyaan di seputar proses pengeluaran dan sistem pembayaran buku. Menurut sumber Tempo, Achyarmansyah ikut berperan menunjuk percetakan. Dihubungi Tempo, Kamis pekan lalu, Achyarmansyah menampik diwawancarai. ”Silakan tanya sekretaris,” ujarnya.

Kepada Tempo, Sekretaris Badan Re­habilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Teungku Kamaruzaman, mengakui sejumlah staf lembaganya diperiksa kejaksaan. ”Ini baru klarifikasi, kami meng­­hormati proses itu,” katanya. Ka­ma­ruzaman menolak tudingan penye­lewengan pada proyek buku lembaga­nya. Kendati demikian, ia mengakui per­usahaan yang mencetak buku itu ditunjuk tanpa tender. ”Mungkin ada kesalahan prosedur, tapi waktu itu kami terdesak waktu,” katanya.

Kepala Badan Rehabilitasi, Kuntoro Mangkusubroto, juga mengajukan alas­an sempitnya waktu sehingga buku itu dicetak tanpa tender. Ia menyatakan secara pribadi tak mengenal perusahaan yang ditunjuk mencetak buku-buku itu. Tapi, Gerak dan ICW menolak alas­an ”kondisi darurat” yang disodorkan Badan Rehabilitasi. Menurut Firdaus, penerbitan buku dilakukan setelah setahun badan itu berdiri, saat kon­disi darurat sudah lewat. ”Jadi, alasan ke­tergesaan sehingga tanpa tender itu meng­ada-ada,” ujarnya.

Firdaus dan Akhiruddin menolak jika tingginya harga buku dikatakan karena dicetak lewat pencetakan digital. ”Harga yang kami dapatkan itu juga harga digital printing,” kata Akhiruddin. ”Mutu dan spesifikasinya sama de­ngan buku BRR itu.” Menurut Firdaus, jika kasus ini tak diungkap tuntas, citra Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh bakal rusak. ”Apalagi, ketuanya sejak awal berjanji menjadikan badan ini contoh lembaga bebas korupsi.”

L.R. Baskoro, Poernomo Gontha Rido

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus