Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT itu mestinya tak boleh keluar dari ruang kerja para petinggi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Isinya sensitif: penolakan kepala perwakilan badan tersebut di Jakarta, Anwar Muhammad, menandatangani kontrak pencetakan buku. Dikirimkan pertengahan Juli lalu, surat itu ditujukan kepada pejabat sementara Kuasa Pengguna Anggaran Badan Rehabilitasi, Achyarmansyah Lubis.
Dalam surat dua halaman itu, Anwar mencantumkan alasan penolakannya: harga tiga judul proyek buku Badan Rehabilitasi terlampau tinggi. Buku Membangun Tanah Harapan, misalnya, yang dicetak 600 eksemplar, harganya Rp 627 ribu per buku. Padahal, setelah Anwar membandingkan dengan percetakan lain, harganya tak lebih dari Rp 250 ribu. ”Harga telah ditentukan tanpa sepengetahuan kami,” demikian ia menulis. ”Kami hanya diminta menandatangani kontrak.”
Entah bagaimana, surat itu menyelinap dari kantor Badan Rehabilitasi di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh, dan ”disambar” beberapa lembaga swadaya masyarakat di Aceh. ”Kami lalu melakukan investigasi,” kata Koordinator Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh, Akhiruddin Mahyuddin. Anwar terkaget-kaget suratnya bocor. ”Saya tidak tahu siapa yang menyebarkannya,” kata dosen Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti, Jakarta, itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Di lapangan, Gerak menemukan fakta mengejutkan. Lembaga itu mengendus aroma penyelewengan. Buku-buku yang berjudul, antara lain, Meletakkan Pondasi Membangun Harapan, Satu Tahun Tsunami, dan Satu Tahun BRR itu diorder tanpa tender alias tunjuk langsung. Total nilai kontrak buku yang diberikan kepada sembilan percetakan itu Rp 3,2 miliar. ”Harganya juga jauh di atas normal,” ujar Akhiruddin.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga turun tangan menelusuri kasus ini. Menurut Asisten Monitoring Aceh ICW, Firdaus Ilyas, untuk mencetak 500 eksemplar Meletakkan Pondasi Membangun Harapan, misalnya, Badan Rehabilitasi membayar PT Wahana Multiguna Mandiri Rp 264 juta atau Rp 500 ribu per eksemplar. Untuk mencetak 600 eksemplar Membangun Tanah Harapan, nilai kontraknya Rp 376 juta atau sekitar Rp 600 ribu per eksemplar. ”Terlalu mahal dibandingkan dengan harga di pasaran,” kata Firdaus.
Tim ICW, yang mencari harga normal untuk buku semacam ini di percetakan Jakarta dan Yogyakarta, juga menemukan selisih angka yang jauh. Harga cetak buku semacam Meletakkan Pondasi Membangun Harapan, misalnya, cuma sekitar Rp 170 ribu per eksemplar. Menurut hitung-hitungan ICW, terjadi penyelewengan sekitar Rp 1 miliar di balik pengadaan buku ini.
Lembaga pemerhati kasus korupsi ini juga menengarai penyelewengan lain di Badan Rehabilitasi, seperti pada pengadaan barang inventaris kantor, penunjukan konsultan media, dan pemusnahan obat. Nilainya diduga sekitar Rp 20 miliar. ”Tapi, di proyek buku ini yang terlihat jelas indikasi korupsinya,” kata Firdaus.
Sejumlah percetakan yang mendapat order dari Badan Rehabilitasi tak mau buka mulut tentang harga buku itu. Ketika Tempo mendatangi PT Wahana Multiguna di Jalan Pahlawan Revolusi, Jakarta Timur, misalnya, bagian pemasaran perusahaan itu menolak diwawancarai. Pemilik Wahana ternyata juga salah satu pemilik PT Patriot, pencetak Membangun Tanah Harapan. ”Semua tanyakan ke BRR, termasuk harganya,” ujar staf pemasaran itu.
KASUS buku ini kini bergulir kencang dan menjadi ”bola panas” di Aceh. Pada akhir Juli lalu, Gerak melaporkan dugaan korupsi pengadaan buku ini ke Kepolisian Daerah Aceh Nanggroe Darussalam. Di Jakarta, ICW membawa kasus ini ke Kejaksaan Agung dan menyerahkan dokumen kasus tersebut ke Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution. ”Kami sudah menerima kasus ini, dan biar ditangani kejaksaan Aceh,” ujar seorang pejabat Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Tinggi Aceh sudah memanggil sekitar lima staf Badan Rehabilitasi untuk dimintai keterangan. Rabu dua pekan lalu, misalnya, Kejaksaan memeriksa ketua tim perumus buku tersebut, Widjajanto. ”Kami hanya meminta klarifikasi,” ujar juru bicara Kejaksaan Tinggi Aceh, Mukhlis. ”Jadi, statusnya bukan saksi atau tersangka.”
Selama tujuh jam, bekas Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Rehabilitasi yang kini menjabat kepala sekretariat badan tersebut menjawab 20 pertanyaan yang diajukan jaksa. Mulai dari ide penerbitan buku, proses penunjukan percetakan, hingga penentuan oplah serta harganya.
Menurut Widjajanto, jumlah buku yang dicetak lembaganya 2.050 eksemplar, meliputi edisi bahasa Indonesia dan Inggris. Karena jadwal penerbitannya mendesak, semua buku itu dicetak dengan pencetakan digital. Total nilainya Rp 1,24 miliar. ”Satu buku sekitar Rp 500 ribu dan tidak ada penyelewengan di sini,” ujarnya. Menurut Widjajanto, penggunaan anggaran itu pun sudah dipertanggungjawabkan. ”Setiap enam bulan kami memberi laporan keuangan.”
Sebelum Widjajanto, sekitar tiga pekan sebelumnya, Kejaksaan juga memeriksa Achyarmansyah. Jaksa memberondong kuasa pengguna anggaran Badan Rehabilitasi ini dengan pertanyaan di seputar proses pengeluaran dan sistem pembayaran buku. Menurut sumber Tempo, Achyarmansyah ikut berperan menunjuk percetakan. Dihubungi Tempo, Kamis pekan lalu, Achyarmansyah menampik diwawancarai. ”Silakan tanya sekretaris,” ujarnya.
Kepada Tempo, Sekretaris Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Teungku Kamaruzaman, mengakui sejumlah staf lembaganya diperiksa kejaksaan. ”Ini baru klarifikasi, kami menghormati proses itu,” katanya. Kamaruzaman menolak tudingan penyelewengan pada proyek buku lembaganya. Kendati demikian, ia mengakui perusahaan yang mencetak buku itu ditunjuk tanpa tender. ”Mungkin ada kesalahan prosedur, tapi waktu itu kami terdesak waktu,” katanya.
Kepala Badan Rehabilitasi, Kuntoro Mangkusubroto, juga mengajukan alasan sempitnya waktu sehingga buku itu dicetak tanpa tender. Ia menyatakan secara pribadi tak mengenal perusahaan yang ditunjuk mencetak buku-buku itu. Tapi, Gerak dan ICW menolak alasan ”kondisi darurat” yang disodorkan Badan Rehabilitasi. Menurut Firdaus, penerbitan buku dilakukan setelah setahun badan itu berdiri, saat kondisi darurat sudah lewat. ”Jadi, alasan ketergesaan sehingga tanpa tender itu mengada-ada,” ujarnya.
Firdaus dan Akhiruddin menolak jika tingginya harga buku dikatakan karena dicetak lewat pencetakan digital. ”Harga yang kami dapatkan itu juga harga digital printing,” kata Akhiruddin. ”Mutu dan spesifikasinya sama dengan buku BRR itu.” Menurut Firdaus, jika kasus ini tak diungkap tuntas, citra Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh bakal rusak. ”Apalagi, ketuanya sejak awal berjanji menjadikan badan ini contoh lembaga bebas korupsi.”
L.R. Baskoro, Poernomo Gontha Rido
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo