PENGHUNI kamar kelas satu ini sedang duduk-duduk di kursi di
depan kamarnya di lambung kiri kapal. Matanya mulai berat
meminta istirahat. Tapi rupanya ia sedang menikmati
kesendiriannya sambil merenungi laut yang pekat malam itu.
Pukul 22.20 -- ia sempat melirik ke arloji tangannya. Tiba-tiba
seorang yang dikenalnya selama pelayaran itu, seorang mahasiswa
STIAN Ujungpandang, muncul tergopoh-gopoh di sampingnya. "Lihat
ke bawah, ada asap," teriak si mahasiswa. Hidayat Siradjuddin,
penumpang kelas I Kapal Tampomas II itu, berdiri dengan setengah
terkejut. Betul juga. Di bagian bawah kapal, lewat lubang
ventilasi, ia melihat asap mengepul.
Hidayat, pemuda kelahiran Ujungpandang 24 tahun yang lalu, cepat
mengambil kesimpulan ada kebakaran di kapal itu. Ia segera
menyebarkan berita itu kepada teman sekamarnya, terus ke
orang-orang di sekitarnya. Kemudian bersama kawan sekamarnya
tadi, dia turun ke bawah, menyusuri arah asap.
Tak lama kemudian terdengar pengumuman menyuruh para penumpang
mengambil pelampung. Teman sekamarnya, seorang pelaut yang
sedang cuti, sempat mengemasi uang simpanannya selama bertugas
berbulan-bulan -- jutaan rupiah jumlahnya. Ketika pengumuman
berikutnya menyuruh penumpang naik ke atas, asap hitam telah
memenuhi sekitar pemuda itu. Ia mencoba mencapai sekoci, tapi
sudah padat penumpang. Tak ada pilihan lain ia meloncat ke laut.
Gelombang segera mengombang-ambingkan Hidayat, karyawan sebuah
perusahaan swasta di Jakarta itu. Namun ia selalu menyadari
keadaan. Ia sempat memperbaiki pelampung dan membiarkan dirinya
terkatung-katung untuk menghemat tenaga. "Karena saya pikir
tenaga saya masih akan saya butuhkan, entah untuk berapa lama,"
tutur anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Sekitar sejam di tengah gelombang, ia terkejut. Ada sesuatu yang
mengganduli punggungnya. "Ketika saya berbalik, ternyata seorang
wanita yang sedang merankul anaknya yang telah meninggal,"
tambah Hidayat lagi. "Tolong saya, jangan lepaskan, saya takut,"
pinta wanita itu seperti dituturkan Hidayat. Ia pun harus
mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelamatkan wanita itu.
Tolong Anak Saya
Waktu matahari mulai menerangi lautan, samar-samar Hidayat
melihat perahu karet terapung-apung. Dengan sekuat tenaga ia
membawa wanita bersama anaknya tadi mendekati perahu itu.
Berkali-kali dicoba. Tenaga sudah hampir habis, ketika perahu
karet itu akhirnya tercapai juga. "Tolong anak saya dulu," kata
perempuan itu setelah Hidayat berhasil naik ke atas perahu. Di
perahu itu ternyata sudah ada beberapa penumpang yang sedang
pingsan. Hidayat dan wanita tadi juga kemudian tak sadarkan
diri.
Setelah siuman, Hidayat melihat perahu karet itu sudah bertambah
penumpang. Semua 9 orang. "Dalam perjalanan, kami mencoba
membujuk wanita tadi agar merelakan anaknya dikubur di laut,"
tutur Hidayat pula, "tapi wanita itu cuma membisu dan menangis."
Baru setelah mayat anak itu mulai membusuk, beberapa hari
kemudian, wanita itu rela menguburkan anaknya di laut setelah
disembahyangkan.
Haus dan lapar mulai mengganggu para penumpang perahu karet itu.
Seseorang, yang kemudian diketahuinya bernama Muin, meraba-raba
bagian bawah perahu. Tak disangka, Muin menemukan biskuit, air
minum, alat-alat P3K, 2 buah dayung, senter dan kaca pantul --
yang rupanya memang disediakan di tiap perahu karet cadangan.
"Mujur selera makan kami hilang, sehingga makanan dapat
dihemat," cerita Hidayat.
Suatu malam perahu karet itu mengempes. Hidayat mencoba mengeja
petunjuk-petunjuk dalam bahasa Inggris yang ada di perahu.
Dengan begitu mereka berhasil menemukan pompa dan memompa perahu
sehingga keras dan dapat berjalan lebih cepat.
"Saya tak pernah buang air besar -- cuma kencing. Itu pun sempat
ditampung dalam karet busa yang kemudian diperas," ungkap
Hidayat lagi. Tidur juga hampir tak pernah mereka lakukan. "Jika
terpaksa kami tidur sambil duduk," tambahnya. Perahu itu sekali
waktu sempat bocor. Semua penumpang sibuk menimba air. Untung
mereka menemukan plester dan berhasil menambalnya.
Berkali-kali penumpang perahu itu melihat bayangan kapal di
kejauhan. Tapi ternyata hanya fatamorgana. Karena itu mereka tak
begitu gembira ketika suatu waktu melihat bayangan kapal sebesar
kotak korek api. Hanya karena bayangan itu tak mau hilang-hilang
juga dan makin lama tampak mengepulkan asap, akhirnya mereka
sadar: ada kapal. Semua berteriak. Cermin pantul dipakai.
Bendera dari kertas biskuit dikibarkan. Tapi baru setelah
berjarak sekitar 300 meter, kapal itu memberi reaksi.
Itulah kapal Korea yang sedang dalam pelayaran dari Australia
menuju Singapura. Penumpang perahu berhasil dikerek ke atas
kapal setelah dimasukkan dalam kerangkeng tali. Hidayat
bertindak sebagai juru bahasa untuk berkomunikasi dengan para
awak kapal.
"Satu malam lagi kita akan tiba di Balikpapan," kata kapten
kapal itu kepada Hidayal seperti dituturkannya kembali kepada
Syahrir Mahkuradde dari TEMPO di Ujungpandang "terserah kalian,
mau ke Balikpapan atau ke Ujungpandang." Tentu saja Hidayat
memilih Ujungpandang -- tujuan semua penumpang perahu eks
Tampomas II itu. Tapi kapten kapal sempat bingung. Sebab di
dalam peta tak tertera nama kota itu, yang ada Makasar.
"Ujungpandang dan Makasar sama saja," Hidayat menjelaskan.
"Kamis subuh, 29 Januari kami mendarat di Pelabuhan
Ujungpandang," Hidayat menutup kisahnya. Ia pulang ke kota
kelahirannya, Ujungpandang, untuk menghadiri perkawinan adiknya.
Semua barang yang dibawanya untuk perkawinan itu, tentu saja
terkubur bersama kapal yang tenggelam itu, termasuk bunga-bunga
anggrek yang diminta sang adik. Untung ia masih sempat
menghadiri pesta perkawinan tu.
Muchtar Amir, 30 tahun, sudah hampir lelap di kamar II A/11
waktu asap sudah mengepung sekitarnya. Ia segera berlari ke arah
sekoci yang sedang diturunkan di lambung kanan haluan. Tapi alat
penyelamat darurat itu sudah sesak oleh manusia yang berebut.
Dan tumpah. Akhirnya melalui tali sekoci ia langsung turun ke
laut. Ia jadi mainan ombak.
Pegawai kantor Gubernur Sulawesi Tenggara yang sedang tugas
belajar di STIAN Ujungpandang itu, akhirnya melihat sebuah
sekoci meluncur. Ia mengejar. Sekoci sempat terbalik,
menumpahkan semua isinya. Untung setelah ditelentangkan lagi, ia
berhasil menaikinya bersama tak kurang dari 100 penumpang
lainnya. Karena terlalu padat, banyak penumpang yang terpaksa
berjejal di bagian bawah. Mereka ini kemudian banyak yang
meninggal, karena terlalu sesak.
Ternyata di sekoci itu terdapat juga Mualim II, Markonis dan 2
awak Tampomas II lainnya. Karena itu para penumpang agak tenang,
sebab merasa ada yang membimbing perjalanan itu. Dan memang
benar. Mualim II segera mengajak penumpang membuat layar.
Seorang penumpang rela menyerahkan sarung batiknya. Lalu tas
echolac milik seorang penumpang yang telah tewas dibuka paksa.
Isinya beberapa lembar kain batik, cangkir dan pisau silet.
Setelah berkali-kali dicoba, layar akhirnya jadi juga, meskipun
ujung-ujungnya harus dipegang secara bergantian.
Hujan gerimis selalu menjadi rebutan untuk membasahi
kerongkongan. Akhirnya Mualim II bertindak sebagai pembagi air,
meskipun ia sendiri sering tak kebagian. Makanan sama sekali tak
ada. Satu kali saya makan pembungkus silet," ungkap Muchtar
Amir. Yang lainnya kebanyakan mengisi perut dengan lumut dan
tumbuhan laut. Meskipun SOS terus dikirim tak pernah mendapat
sahutan, mungkini karena antene radio yang ada rusak. Senter
yang memang ada di sekoci juga macet.
Dalam keadaan nasib tak menentu macam-macam kelakuan penumpang
sekoci itu. Muchtar mengungkapkan, ada penumpang yang tiba-tiba
kesurupan dan mengaku sebagai penjaga lautan, minta telur dan
malahan berkata ia melihat pulau. "Ternyata bukan pulau yang
kami lihat, tapi mayat salah seorang penumpang," tutur Muchtar.
Seorang lainnya, Amiruddin, dari Sidrap (Sul-Sel), mengigau
minta nasi "seperti yang dijanjikan di bawah laci." Orang itu
juga suka mencubit orang-orang sekitarnya. "Setelah disuruh
membaca surat Yassin dan dua kalimah syahadat tujuh kali,
Amiruddin tertidur," kata Muchtar lagi.
Ketika Mualim II meneriakkan ada pulau (Pulau Doang Doangan),
Amiruddin terkejut bangun. Ia langsung meloncat ke laut dan
hilang. Sekoci berpenumpang 63 orang (yang hidup) itu sampai di
Pulau Doang Doangan subuh Jumat 30 Januari.
Setelah berhimpit-himpitan dengan penumpang lainnya, 27 Januari
siang, dan memakai pelampung, Zondang Simanjuntak dilemparkan
ayahnya ke laut dari atas Tampomas II yang sudah miring. Sang
ayah kemudian melemparkan juga ke-5 anaknya yang lebih kecil.
Akhirnya istrinya. Dan si ayah sendiri, W. Simanjuntak,
karyawan PNP XXVIII di Ujungpandang, terjun ke laut.
Di atas laut, rombongan anak-beranak itu saling terpisah.
Zondang, anak tertua, tak dapat melihat adik-adiknya maupun
kedua orang tuanya. Tapi ia mencari terus. Untung tak lama
kemudian ia melihat Nita dan Ucok (adik pertama dan ketiganya).
Langsung ia menarik keduanya ke arah sekoci yang terayun-ayun
penuh manusia, tak jauh dari tempat itu.
Tapi sebelum mencapai sekoci, Zondang tiba-tiba mendengar lolong
Guntur, 3 tahun, adiknya yang keempat. Sambil mendorong Nita dan
Ucok, ia mencapai (runtur dan langsung menarik tangannya.
"Selama itu saya terus-terusan berdoa, agar adik-adik ya
selamat," ungkap Zondang kepada Dharma Dewangga dari TEMPO
di Surabaya.
Sementara terus membawa Guntur, Zondang juga menggandeng Nita
dan Ucok mendekati tali sekoci. Tapi begitu tali berhasil diraih
kedua anak itu, tali terlepas lagi karena direbut orang lain.
Zondang terpisah lagi dari kedua adiknya itu. Sekilas ia masih
sempat melihat ibunya bersama adiknya terkecil diayun-ayun
gelombang.
Ia tak berdaya lagi menolong karena terus dinaikkan orang ke
atas sekoci dan selanjutnya dipindahkan ke Kapal Istana VI. Di
sini kemudian Zondang dan Guntur bertemu kembali dengan ayah
mereka. Beberapa hari kemudian, setelah tiba di Ujungpandang, ia
mengetahui Nita dan Ucok selamat. Tapi ibu dan adiknya yang
paling bungsu ternyata tak tertolong.
Ir. Hardiprasetio, 31 tahun, pegawai Pusat Penelitian &
Pengembangan Geologi (P3G) Departemen Pertambangan di Bandung,
adalah orang pertama yang mengenal mayat Nakoda Kapal Tampomas
II, Kapten A. Rivai. Waktu itu Hardi sedang bertugas di kapal
riset Jerman Barat, Sonne, bersama 2 orang rekannya Ir. Herry
Haryono dari LIPI dan Mayor Budi Sarwono dari Puserta ABRI -- di
samping 28 ilmiawan Jerman Barat lainnya. Hardiprasetio
menuturkan pengalamannya berikut ini.
Waktu itu Kapal Sonne sedang mengadakan penelitian di Selat
Makasar. Belum selesai, tapi sudah mencapai 90% target.
Tiba-tiba pukul 19.00 Selasa 27 Januari tertangkap berita dari
Kapal Sangihe: Tampomas II telah tenggelam. Mengharap bantuan
untuk mencari korban-korban.
Nakoda Sonne, Kapten Andresen, berunding dengan para ilmuwan
peserta riset geologi maritim itu. Berkali-kali.
Pertimbangannya adalah sudah cukup banyak kapal yang membantu di
sekitar lokasi kecelakaan, sementara Sonne adalah kapal yang
dicarter Lembaga Ilmu kebumian dan Sumber Alam Jer-Bar dengan
tarif US$ 35.000 sehari. Tapi setelah ditanyakan ke Ujungpandang
dan mendapat jawaban "bantuan masih diperlukan," akhirnya Sonne
menuju lokasi kecelakaan.
Segala sesuatu dipersiapkan. Seorang dokter yang ada di kapal
itu diperintahkan membuat rumah sakit darurat. Alat-alat survei
disingkirkan. Peralatan Sonne yang serba modern dicek, sambil
selalu berhubungan dengan Kapal Thamrin yang waktu itu memimpin
operasi peyelamatan.
Pukul 06.00 28 Januari, Sonne berada 50 mil dari tempat musibah.
Atas saran Kapal Thamrin, Sonne mulai mengadakan pencarian
korban. Tak terlihat apa-apa. Pukul 09.00 pesawat Fokler 27 dari
SAR memberitahu di kanan Sonne terlihat banyak pelampung.
Setelah didekati, ternyata pelampung-pelampung dan perahu karet
yang terapung-apung itu kosong.
Mayat pertama yang ditemukan adalah pada pukul 09.30. Kapten
Andresen segera memerintahkan Mualim I turun ke perahu karet
bersama juru mudi dan pengambil mayat. Setiap mendapat mayat
perahu itu kembali ke Sonne, langsung dibuatkan dokumentasinya
berdasarkan pemeriksaan dokter, dibungkus dalam karung dan
plastik dan diberi penning. Mayat-mayat itu disimpan di ruang
pendingin di bagian bawah kapal eks trawler itu.
Tak lama kemudian ditemukan mayat kedua -- selama ikut operasi
penyelamatan Sonne berhasil menemukan 24 mayat dan langsung
didaratkan di Ujungpandang.
Tapi kemudian mayat kedua tadi ternyata adalah Kapten A. Rivai.
Ia ditemukan terapung-apung di tengah gelombang. Semula tak
seorang pun menduga, siapa dia. Waktu sampai di atas Sonne,
identitasnya adalah: memakai celana pendek, berkemeja uniform
lengan pendek dengan dua kantung. Di sakunya ini ditemukan
kunci kamar kapal, satu cincin kawin dengan nama yang dikenali
waktu itu Kasanah -- waktu dicek lagi kemudian ternyata
Hasanah. Isi kantung yang lain: pulpen merah, sejumlah uang,
amplop berisi surat, dan biskuit kecil khusus untuk rescue.
Koran Jakarta
Kecurigaan tentang siapa-siapa mayat yang ditemukan itu, belum
juga timbul, ketika Kamis pagi Sonne merapat dan menyerahkan
mayat-mayat bawaannya kepada pejabat-pejabut pemerintahan
setempat. Jumat pagi Sonne meninggalkan Pelabuhan Ujungpandang,
sekaligus meninggalkan ke-3 ilmuwan Indonesia yang pernah
menyertainya. "Tapi pada Jumat sore kami membeli koran
Jakarta," Hardiprasetio melanjutkan ceritanya.
Di koran itulah terpampang foto Kapten A. Rivai ketika masih
hidup. Kecurigaan timbul. Ketiga ilmuwan Indonesia tadi yakin
mayat kedua yang mereka temukan, mirip benar dengan foto itu.
Apalagi disebutkan nama istri almarhum adalah Hasanah. "Sabtu
pagi-pagi saya pergi ke Pelabuhan Ujungpandang untuk mengecek
barang-barang identitas yang pernah kami temukan," ungkap Hardi
pula.
Dan ternyata benar. Surat dalam amplop yang sudah kabur, setelah
diteliti herbunyi: Kepada Ananda A. Rivai. Di dalam amplop itu
terdapat kalimat-kalimat Al Quran dan sehelai daun.
Tak lama kemudian datang lewat salah seorang famili Kapten Rivai
yang tinggal di Ujungpandang. Orang ini segera mengenali
tulisan di surat tadi sebagai tulisannya: "Saya memang pernah
mencarikan pegangan untuk Rivai berupa jimat," kata Lewa.
Tulisan itu dibuatnya 2 bulan lalu dan jimat itu, menurut Lewa,
berkhasiat agar tetap terapung bila tenggelam. "Kalau perlu saya
panggilkan orang yang membuat jimat itu, dia tinggal di
Ujungpandang," tambah Lewa.
Setelah semua identitas meyakinkan pihak Pelni mengirim teleks
ke Jakarta agar keluarga Rivai dibawa ke Ujungpandang.
Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut, Habibie, memerintahkan agar
kuburan almarhum dibongkar.
Di televisi, setelah sampai di Jakarta, Hardiprasetio
menyaksikan bahwa mayat kedua yang ditemukan Kapal Sonne memang
benar-benar mayat almarhum Kapten Abul Rivai. "Saya kagum pada
keberanian orang-orang Jerman ketika mengambil mayat-mayat itu.
Di tengah gelombang besar mereka mengangkat mayat tanpa penutup
hidung, hanya mengenakan sarung tangan," ujar Hardi menutup
ceritanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini