Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mayat Nomor Dua Itu Berjimat

Kisah beberapa penumpang km tampomas ii yang selamat. dan kisah tragis mereka yang hilang. antara lain kisah hidayat yang terombang-ambing di laut dan ditemukannya mayat nakoda a.rivai.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGHUNI kamar kelas satu ini sedang duduk-duduk di kursi di depan kamarnya di lambung kiri kapal. Matanya mulai berat meminta istirahat. Tapi rupanya ia sedang menikmati kesendiriannya sambil merenungi laut yang pekat malam itu. Pukul 22.20 -- ia sempat melirik ke arloji tangannya. Tiba-tiba seorang yang dikenalnya selama pelayaran itu, seorang mahasiswa STIAN Ujungpandang, muncul tergopoh-gopoh di sampingnya. "Lihat ke bawah, ada asap," teriak si mahasiswa. Hidayat Siradjuddin, penumpang kelas I Kapal Tampomas II itu, berdiri dengan setengah terkejut. Betul juga. Di bagian bawah kapal, lewat lubang ventilasi, ia melihat asap mengepul. Hidayat, pemuda kelahiran Ujungpandang 24 tahun yang lalu, cepat mengambil kesimpulan ada kebakaran di kapal itu. Ia segera menyebarkan berita itu kepada teman sekamarnya, terus ke orang-orang di sekitarnya. Kemudian bersama kawan sekamarnya tadi, dia turun ke bawah, menyusuri arah asap. Tak lama kemudian terdengar pengumuman menyuruh para penumpang mengambil pelampung. Teman sekamarnya, seorang pelaut yang sedang cuti, sempat mengemasi uang simpanannya selama bertugas berbulan-bulan -- jutaan rupiah jumlahnya. Ketika pengumuman berikutnya menyuruh penumpang naik ke atas, asap hitam telah memenuhi sekitar pemuda itu. Ia mencoba mencapai sekoci, tapi sudah padat penumpang. Tak ada pilihan lain ia meloncat ke laut. Gelombang segera mengombang-ambingkan Hidayat, karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu. Namun ia selalu menyadari keadaan. Ia sempat memperbaiki pelampung dan membiarkan dirinya terkatung-katung untuk menghemat tenaga. "Karena saya pikir tenaga saya masih akan saya butuhkan, entah untuk berapa lama," tutur anak kedua dari tiga bersaudara itu. Sekitar sejam di tengah gelombang, ia terkejut. Ada sesuatu yang mengganduli punggungnya. "Ketika saya berbalik, ternyata seorang wanita yang sedang merankul anaknya yang telah meninggal," tambah Hidayat lagi. "Tolong saya, jangan lepaskan, saya takut," pinta wanita itu seperti dituturkan Hidayat. Ia pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelamatkan wanita itu. Tolong Anak Saya Waktu matahari mulai menerangi lautan, samar-samar Hidayat melihat perahu karet terapung-apung. Dengan sekuat tenaga ia membawa wanita bersama anaknya tadi mendekati perahu itu. Berkali-kali dicoba. Tenaga sudah hampir habis, ketika perahu karet itu akhirnya tercapai juga. "Tolong anak saya dulu," kata perempuan itu setelah Hidayat berhasil naik ke atas perahu. Di perahu itu ternyata sudah ada beberapa penumpang yang sedang pingsan. Hidayat dan wanita tadi juga kemudian tak sadarkan diri. Setelah siuman, Hidayat melihat perahu karet itu sudah bertambah penumpang. Semua 9 orang. "Dalam perjalanan, kami mencoba membujuk wanita tadi agar merelakan anaknya dikubur di laut," tutur Hidayat pula, "tapi wanita itu cuma membisu dan menangis." Baru setelah mayat anak itu mulai membusuk, beberapa hari kemudian, wanita itu rela menguburkan anaknya di laut setelah disembahyangkan. Haus dan lapar mulai mengganggu para penumpang perahu karet itu. Seseorang, yang kemudian diketahuinya bernama Muin, meraba-raba bagian bawah perahu. Tak disangka, Muin menemukan biskuit, air minum, alat-alat P3K, 2 buah dayung, senter dan kaca pantul -- yang rupanya memang disediakan di tiap perahu karet cadangan. "Mujur selera makan kami hilang, sehingga makanan dapat dihemat," cerita Hidayat. Suatu malam perahu karet itu mengempes. Hidayat mencoba mengeja petunjuk-petunjuk dalam bahasa Inggris yang ada di perahu. Dengan begitu mereka berhasil menemukan pompa dan memompa perahu sehingga keras dan dapat berjalan lebih cepat. "Saya tak pernah buang air besar -- cuma kencing. Itu pun sempat ditampung dalam karet busa yang kemudian diperas," ungkap Hidayat lagi. Tidur juga hampir tak pernah mereka lakukan. "Jika terpaksa kami tidur sambil duduk," tambahnya. Perahu itu sekali waktu sempat bocor. Semua penumpang sibuk menimba air. Untung mereka menemukan plester dan berhasil menambalnya. Berkali-kali penumpang perahu itu melihat bayangan kapal di kejauhan. Tapi ternyata hanya fatamorgana. Karena itu mereka tak begitu gembira ketika suatu waktu melihat bayangan kapal sebesar kotak korek api. Hanya karena bayangan itu tak mau hilang-hilang juga dan makin lama tampak mengepulkan asap, akhirnya mereka sadar: ada kapal. Semua berteriak. Cermin pantul dipakai. Bendera dari kertas biskuit dikibarkan. Tapi baru setelah berjarak sekitar 300 meter, kapal itu memberi reaksi. Itulah kapal Korea yang sedang dalam pelayaran dari Australia menuju Singapura. Penumpang perahu berhasil dikerek ke atas kapal setelah dimasukkan dalam kerangkeng tali. Hidayat bertindak sebagai juru bahasa untuk berkomunikasi dengan para awak kapal. "Satu malam lagi kita akan tiba di Balikpapan," kata kapten kapal itu kepada Hidayal seperti dituturkannya kembali kepada Syahrir Mahkuradde dari TEMPO di Ujungpandang "terserah kalian, mau ke Balikpapan atau ke Ujungpandang." Tentu saja Hidayat memilih Ujungpandang -- tujuan semua penumpang perahu eks Tampomas II itu. Tapi kapten kapal sempat bingung. Sebab di dalam peta tak tertera nama kota itu, yang ada Makasar. "Ujungpandang dan Makasar sama saja," Hidayat menjelaskan. "Kamis subuh, 29 Januari kami mendarat di Pelabuhan Ujungpandang," Hidayat menutup kisahnya. Ia pulang ke kota kelahirannya, Ujungpandang, untuk menghadiri perkawinan adiknya. Semua barang yang dibawanya untuk perkawinan itu, tentu saja terkubur bersama kapal yang tenggelam itu, termasuk bunga-bunga anggrek yang diminta sang adik. Untung ia masih sempat menghadiri pesta perkawinan tu. Muchtar Amir, 30 tahun, sudah hampir lelap di kamar II A/11 waktu asap sudah mengepung sekitarnya. Ia segera berlari ke arah sekoci yang sedang diturunkan di lambung kanan haluan. Tapi alat penyelamat darurat itu sudah sesak oleh manusia yang berebut. Dan tumpah. Akhirnya melalui tali sekoci ia langsung turun ke laut. Ia jadi mainan ombak. Pegawai kantor Gubernur Sulawesi Tenggara yang sedang tugas belajar di STIAN Ujungpandang itu, akhirnya melihat sebuah sekoci meluncur. Ia mengejar. Sekoci sempat terbalik, menumpahkan semua isinya. Untung setelah ditelentangkan lagi, ia berhasil menaikinya bersama tak kurang dari 100 penumpang lainnya. Karena terlalu padat, banyak penumpang yang terpaksa berjejal di bagian bawah. Mereka ini kemudian banyak yang meninggal, karena terlalu sesak. Ternyata di sekoci itu terdapat juga Mualim II, Markonis dan 2 awak Tampomas II lainnya. Karena itu para penumpang agak tenang, sebab merasa ada yang membimbing perjalanan itu. Dan memang benar. Mualim II segera mengajak penumpang membuat layar. Seorang penumpang rela menyerahkan sarung batiknya. Lalu tas echolac milik seorang penumpang yang telah tewas dibuka paksa. Isinya beberapa lembar kain batik, cangkir dan pisau silet. Setelah berkali-kali dicoba, layar akhirnya jadi juga, meskipun ujung-ujungnya harus dipegang secara bergantian. Hujan gerimis selalu menjadi rebutan untuk membasahi kerongkongan. Akhirnya Mualim II bertindak sebagai pembagi air, meskipun ia sendiri sering tak kebagian. Makanan sama sekali tak ada. Satu kali saya makan pembungkus silet," ungkap Muchtar Amir. Yang lainnya kebanyakan mengisi perut dengan lumut dan tumbuhan laut. Meskipun SOS terus dikirim tak pernah mendapat sahutan, mungkini karena antene radio yang ada rusak. Senter yang memang ada di sekoci juga macet. Dalam keadaan nasib tak menentu macam-macam kelakuan penumpang sekoci itu. Muchtar mengungkapkan, ada penumpang yang tiba-tiba kesurupan dan mengaku sebagai penjaga lautan, minta telur dan malahan berkata ia melihat pulau. "Ternyata bukan pulau yang kami lihat, tapi mayat salah seorang penumpang," tutur Muchtar. Seorang lainnya, Amiruddin, dari Sidrap (Sul-Sel), mengigau minta nasi "seperti yang dijanjikan di bawah laci." Orang itu juga suka mencubit orang-orang sekitarnya. "Setelah disuruh membaca surat Yassin dan dua kalimah syahadat tujuh kali, Amiruddin tertidur," kata Muchtar lagi. Ketika Mualim II meneriakkan ada pulau (Pulau Doang Doangan), Amiruddin terkejut bangun. Ia langsung meloncat ke laut dan hilang. Sekoci berpenumpang 63 orang (yang hidup) itu sampai di Pulau Doang Doangan subuh Jumat 30 Januari. Setelah berhimpit-himpitan dengan penumpang lainnya, 27 Januari siang, dan memakai pelampung, Zondang Simanjuntak dilemparkan ayahnya ke laut dari atas Tampomas II yang sudah miring. Sang ayah kemudian melemparkan juga ke-5 anaknya yang lebih kecil. Akhirnya istrinya. Dan si ayah sendiri, W. Simanjuntak, karyawan PNP XXVIII di Ujungpandang, terjun ke laut. Di atas laut, rombongan anak-beranak itu saling terpisah. Zondang, anak tertua, tak dapat melihat adik-adiknya maupun kedua orang tuanya. Tapi ia mencari terus. Untung tak lama kemudian ia melihat Nita dan Ucok (adik pertama dan ketiganya). Langsung ia menarik keduanya ke arah sekoci yang terayun-ayun penuh manusia, tak jauh dari tempat itu. Tapi sebelum mencapai sekoci, Zondang tiba-tiba mendengar lolong Guntur, 3 tahun, adiknya yang keempat. Sambil mendorong Nita dan Ucok, ia mencapai (runtur dan langsung menarik tangannya. "Selama itu saya terus-terusan berdoa, agar adik-adik ya selamat," ungkap Zondang kepada Dharma Dewangga dari TEMPO di Surabaya. Sementara terus membawa Guntur, Zondang juga menggandeng Nita dan Ucok mendekati tali sekoci. Tapi begitu tali berhasil diraih kedua anak itu, tali terlepas lagi karena direbut orang lain. Zondang terpisah lagi dari kedua adiknya itu. Sekilas ia masih sempat melihat ibunya bersama adiknya terkecil diayun-ayun gelombang. Ia tak berdaya lagi menolong karena terus dinaikkan orang ke atas sekoci dan selanjutnya dipindahkan ke Kapal Istana VI. Di sini kemudian Zondang dan Guntur bertemu kembali dengan ayah mereka. Beberapa hari kemudian, setelah tiba di Ujungpandang, ia mengetahui Nita dan Ucok selamat. Tapi ibu dan adiknya yang paling bungsu ternyata tak tertolong. Ir. Hardiprasetio, 31 tahun, pegawai Pusat Penelitian & Pengembangan Geologi (P3G) Departemen Pertambangan di Bandung, adalah orang pertama yang mengenal mayat Nakoda Kapal Tampomas II, Kapten A. Rivai. Waktu itu Hardi sedang bertugas di kapal riset Jerman Barat, Sonne, bersama 2 orang rekannya Ir. Herry Haryono dari LIPI dan Mayor Budi Sarwono dari Puserta ABRI -- di samping 28 ilmiawan Jerman Barat lainnya. Hardiprasetio menuturkan pengalamannya berikut ini. Waktu itu Kapal Sonne sedang mengadakan penelitian di Selat Makasar. Belum selesai, tapi sudah mencapai 90% target. Tiba-tiba pukul 19.00 Selasa 27 Januari tertangkap berita dari Kapal Sangihe: Tampomas II telah tenggelam. Mengharap bantuan untuk mencari korban-korban. Nakoda Sonne, Kapten Andresen, berunding dengan para ilmuwan peserta riset geologi maritim itu. Berkali-kali. Pertimbangannya adalah sudah cukup banyak kapal yang membantu di sekitar lokasi kecelakaan, sementara Sonne adalah kapal yang dicarter Lembaga Ilmu kebumian dan Sumber Alam Jer-Bar dengan tarif US$ 35.000 sehari. Tapi setelah ditanyakan ke Ujungpandang dan mendapat jawaban "bantuan masih diperlukan," akhirnya Sonne menuju lokasi kecelakaan. Segala sesuatu dipersiapkan. Seorang dokter yang ada di kapal itu diperintahkan membuat rumah sakit darurat. Alat-alat survei disingkirkan. Peralatan Sonne yang serba modern dicek, sambil selalu berhubungan dengan Kapal Thamrin yang waktu itu memimpin operasi peyelamatan. Pukul 06.00 28 Januari, Sonne berada 50 mil dari tempat musibah. Atas saran Kapal Thamrin, Sonne mulai mengadakan pencarian korban. Tak terlihat apa-apa. Pukul 09.00 pesawat Fokler 27 dari SAR memberitahu di kanan Sonne terlihat banyak pelampung. Setelah didekati, ternyata pelampung-pelampung dan perahu karet yang terapung-apung itu kosong. Mayat pertama yang ditemukan adalah pada pukul 09.30. Kapten Andresen segera memerintahkan Mualim I turun ke perahu karet bersama juru mudi dan pengambil mayat. Setiap mendapat mayat perahu itu kembali ke Sonne, langsung dibuatkan dokumentasinya berdasarkan pemeriksaan dokter, dibungkus dalam karung dan plastik dan diberi penning. Mayat-mayat itu disimpan di ruang pendingin di bagian bawah kapal eks trawler itu. Tak lama kemudian ditemukan mayat kedua -- selama ikut operasi penyelamatan Sonne berhasil menemukan 24 mayat dan langsung didaratkan di Ujungpandang. Tapi kemudian mayat kedua tadi ternyata adalah Kapten A. Rivai. Ia ditemukan terapung-apung di tengah gelombang. Semula tak seorang pun menduga, siapa dia. Waktu sampai di atas Sonne, identitasnya adalah: memakai celana pendek, berkemeja uniform lengan pendek dengan dua kantung. Di sakunya ini ditemukan kunci kamar kapal, satu cincin kawin dengan nama yang dikenali waktu itu Kasanah -- waktu dicek lagi kemudian ternyata Hasanah. Isi kantung yang lain: pulpen merah, sejumlah uang, amplop berisi surat, dan biskuit kecil khusus untuk rescue. Koran Jakarta Kecurigaan tentang siapa-siapa mayat yang ditemukan itu, belum juga timbul, ketika Kamis pagi Sonne merapat dan menyerahkan mayat-mayat bawaannya kepada pejabat-pejabut pemerintahan setempat. Jumat pagi Sonne meninggalkan Pelabuhan Ujungpandang, sekaligus meninggalkan ke-3 ilmuwan Indonesia yang pernah menyertainya. "Tapi pada Jumat sore kami membeli koran Jakarta," Hardiprasetio melanjutkan ceritanya. Di koran itulah terpampang foto Kapten A. Rivai ketika masih hidup. Kecurigaan timbul. Ketiga ilmuwan Indonesia tadi yakin mayat kedua yang mereka temukan, mirip benar dengan foto itu. Apalagi disebutkan nama istri almarhum adalah Hasanah. "Sabtu pagi-pagi saya pergi ke Pelabuhan Ujungpandang untuk mengecek barang-barang identitas yang pernah kami temukan," ungkap Hardi pula. Dan ternyata benar. Surat dalam amplop yang sudah kabur, setelah diteliti herbunyi: Kepada Ananda A. Rivai. Di dalam amplop itu terdapat kalimat-kalimat Al Quran dan sehelai daun. Tak lama kemudian datang lewat salah seorang famili Kapten Rivai yang tinggal di Ujungpandang. Orang ini segera mengenali tulisan di surat tadi sebagai tulisannya: "Saya memang pernah mencarikan pegangan untuk Rivai berupa jimat," kata Lewa. Tulisan itu dibuatnya 2 bulan lalu dan jimat itu, menurut Lewa, berkhasiat agar tetap terapung bila tenggelam. "Kalau perlu saya panggilkan orang yang membuat jimat itu, dia tinggal di Ujungpandang," tambah Lewa. Setelah semua identitas meyakinkan pihak Pelni mengirim teleks ke Jakarta agar keluarga Rivai dibawa ke Ujungpandang. Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut, Habibie, memerintahkan agar kuburan almarhum dibongkar. Di televisi, setelah sampai di Jakarta, Hardiprasetio menyaksikan bahwa mayat kedua yang ditemukan Kapal Sonne memang benar-benar mayat almarhum Kapten Abul Rivai. "Saya kagum pada keberanian orang-orang Jerman ketika mengambil mayat-mayat itu. Di tengah gelombang besar mereka mengangkat mayat tanpa penutup hidung, hanya mengenakan sarung tangan," ujar Hardi menutup ceritanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus